kompas.com - 01/09/2016, 21:35 WIB
JAKARTA, KOMPAS -
Konsep Indonesia sebagai poros maritim dunia tidak berjalan lancar
karena tidak ada strategi yang menyeluruh. Instansi terkait membuat
interpretasi masing-masing tentang poros maritim dunia karena tidak ada
referensi tertulis yang menjadi acuan.
Cita-cita mewujudkan poros maritim dunia
sebenarnya keinginan agar bangsa Indonesia mengembalikan visi
maritimnya. Selain itu, dari sisi strategi, poros maritim dunia adalah
jawaban Indonesia akan tantangan global. Sebagai sebuah bangsa dengan
kondisi geografis dan politik kawasan di mana pada situasi terkini
diwarnai, antara lain, dengan dilema hubungan Amerika Serikat dan
Tiongkok, Indonesia harus memiliki strategi khusus.
Dalam diskusi peluncuran buku Arungi Samudra Bersama Sang Naga: Sinergi Poros Maritim Dunia dan Jalur Sutra Maritim Abad Ke-21 di
Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas), Rabu (31/8), terungkap bahwa
keinginan mewujudkan poros maritim dunia sebagai salah satu strategi
Indonesia menghadapi tantangan global ternyata belum diturunkan dalam
bentuk cetak biru. Buku Arungi Samudra Bersama Sang Naga ditulis
oleh Tenaga Pengkaji Lemhannas Laksmana Muda TNI Untung Suropati, dosen
Universitas Achmad Yani yang juga Direktur Institute for Defense and
Strategic Research (IDSR) Yohanes Sulaiman, dan peneliti IDSR Ian
Montratama.
Menurut Untung, akibat belum adanya cetak biru
Indonesia sebagai poros maritim dunia, timbul banyak perbedaan
interpretasi. Setiap instansi pemerintah menerjemahkan pelaksanaan dari
konsep poros maritim dunia dengan sudut pandang masing- masing.
Akibatnya, implementasi poros maritim dunia tidak maksimal karena tidak
merujuk pada sebuah strategi induk.
”Kalau poros maritim dunia cuma dilihat dari membangun pelabuhan dan nembakin kapal pencuri ikan itu menyedihkan,” kata Untung.
Amerika dan Tiongkok
Ia mengatakan, Indonesia harus bisa menempatkan
kepentingannya dalam konteks yang lebih besar, terkait dengan kondisi
geopolitik saat ini. Sementara Tiongkok memiliki Jalur Sutra Maritim,
Indonesia harus mencari titik temunya dengan konsep poros maritim dunia
serta potensi benturan baik secara militer dan ekonomi. ”Perumusan
kepentingan ini sangat penting, sesuai dengan perkembangan di kawasan
sehingga Indonesia bisa menjadi penyeimbang strategis antara AS dan
Tiongkok,” kata Untung.
Panelis yang membahas buku, Guru Besar
Universitas Padjadjaran Yanyan M Yani, Kepala Pengembangan Kebijakan
(BPPK) Kementerian Luar Negeri Siswo Pramono, dan Direktur Eksekutif
Centre for Strategic and International Studies Philips Vermonte, sepakat
poros maritim dunia belum bisa maksimal karena semua instansi tidak
punya referensi induk yang tertulis. Perbedaan pendapat terletak pada
persepsi tentang kaitan erat poros maritim dunia dengan jalur sutra
maritim Tiongkok.
Philips mengatakan, poros maritim dunia adalah
program Joko Widodo-Jusuf Kalla yang disampaikan pada saat kampanye
pemilihan presiden dan menjadi visi pemerintah yang telah diwujudkan
dalam lima pilar. Lima pilar tersebut terdiri dari membangun budaya
maritim, sumber daya laut, infrastruktur dan konektivitas antarpulau,
diplomasi maritim, dan pertahanan maritim.
Secara terpisah, mantan Ketua Mahkamah
Konstitusi Mahfud MD dalam seminar nasional tentang Format Sistem
Pembangunan Nasional, di Jakarta, kemarin, mengatakan, sejak merdeka
Indonesia sebenarnya sudah memiliki sistem pembangunan nasional. Namun,
sistem tersebut tidak dijalankan dengan konsisten sehingga seakan-akan
Indonesia tidak memiliki panduan pembangunan nasional.
”Persoalan kita sebenarnya adalah tidak adanya
konsistenasi dalam pelaksanaan atas haluan negara karena selalu terjadi
gangguan politik terhadap haluan yang ada. Masalahnya saat ini hanyalah
teknis pelaksanaan di lapangan saja, bukan membutuhkan UU baru,” kata
Mahfud. (EDN/C09)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar