Rabu, 30 Mei 2018 07:04
Reporter : Randy Ferdi Firdau
Jokowi. ©2017 Merdeka.com/Istimewa
Merdeka.com - Presiden Joko Widodo (Jokowi) akhirnya bersikap tentang polemik larangan mantan narapidana korupsi jadi calon anggota legislatif (Caleg) di Pemilu Legislatif 2019 mendatang.
KPU saat ini tengah menyusun rancangan Peraturan KPU (PKPU). Dimana
salah satu pasalnya, melarang mantan napi korupsi jadi caleg.
Jokowi menilai, nyalon tidaknya seseorang merupakan hak pribadi. Politikus PDIP itu memberikan solusi, KPU sebaiknya memberikan tanda bahwa caleg tersebut mantan narapidana korupsi, ketimbang melarang hak orang nyaleg.
"Kalau saya, itu hak. Hak seseorang untuk berpolitik. Tapi KPU bisa saja mungkin membuat aturan. Misalnya boleh ikut tapi diberi tanda 'mantan koruptor'," kata Jokowi di Universitas Uhamka, Jakarta Timur, Selasa (29/5).
Sikap Jokowi ini menuai reaksi di masyarakat. Khususnya para pegiat pemilu dan aktivis pemberantasan korupsi.
Perkumpulan pemilu untuk Demokrasi (Perludem) salah satu yang mendukung penuh KPU tegas. Melarang mantan koruptor maju lagi di Pemilu 2019. Sikap Jokowi ini pun amat disayangkan.
"Tentu kami menyayangkan pandangan Presiden yang seperti itu. Mestinya Presiden membiarkan saja KPU melaksanakan kewenangannya dengan mandiri. Meski para pihak punya pandangan berbeda. Namun KPU secara kelembagaan harus tetap menjaga dan mempertahankan kemandirian institusi KPU agar untuk memperkuat kepercayaan publik atas proses pemilu yang berjalan," kata Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggraeni saat berbincang dengan merdeka.com, Selasa (29/5) malam.
Dalam rapat konsultasi antara KPU bersama Komisi II DPR, Kemendagri dan Bawaslu, tak ada satu pun yang mendukung komitmen lembaga pelaksana pemilu tersebut. KPU dinilai menghalangi hak asasi orang untuk dipilih dan memilih dalam politik.
Di satu sisi, KPU juga dinilai tak layak 'mencabut' hak politik seseorang seperti layaknya hakim di pengadilan Tipikor. Tak hanya itu, para pihak yang berseberangan dengan KPU juga menilai, aturan larangan nyaleg harusnya diatur dalam UU, bukan setingkat PKPU.
Titi merasa tak kaget dengan statement yang disampaikan Jokowi. Sebab, dalam pengamatannya, pemerintah saat rapat dengan KPU dan DPR memang tegas menolak usulan KPU tersebut.
Titi menjelaskan, pendapat Jokowi bukan sesuatu yang baru dan mengejutkan. Sejak awal, kata dia, Pemerintah menyatakan ketidaksetujuanya dengan langkah yang akan diambil KPU.
"Tentu pandangan Pemerintah itu mencerminkan bagaimana pandangan Presiden. Kan tidak mungkin wakil Pemerintah berpendapat berbeda dengan opini Presidennya," terang Titi.
Independensi KPU diuji
Perludem tetap mendukung aturan larangan mantan koruptor nyaleg itu diterapkan. Terkait polemik harus melalui UU atau cukup PKPU, Titi mempersilakan orang yang tak setuju menggugat ke Mahkamah Agung (MA).
Menurut dia, kepercayaan publik pada KPU dan juga kualitas rekam jejak calon merupakan sesuatu yang sangat penting bagi suksesnya Pemilu 2019. Dia yakin, KPU akan tetap keluarkan aturan tersebut.
"Saya kira KPU tetap konsisten dan mengatur sesuai dengan keyakinan yang mereka miliki. Justru di sinilah kemandirian KPU diuji. Apakah akan konsisten atau goyah. Pihak-pihak yang berkeberatan bisa menempuh upaya hukum uji materi ke MA sesuai ketentuan Pasal 76 UU 7/2017 tentang pemilu," tegas Titi lagi.
urgensi larangan mantan narapidana kasus korupsi memasuki arena kontestasi elektoral juga berangkat dari adanya fenomena residivis korupsi atau orang yang pernah dijatuhi hukuman dalam perkara korupsi lalu kembali melakukan korupsi setelah selesai menjalani hukuman.
Dalam catatan Indonesia Corruption Watch (ICW), sedikitnya terdapat tiga orang yang diketahui menjadi residivis korupsi.
1. Abdul Latif (Bupati Hulu Sungai Tengah)
Abdul Latif pada 4 Januari 2017 terjaring Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas kasus suap proyek pembangunan RSUD Damanhuri. Ia diduga menerima suap Rp 3,6 miliar. Jumlah itu merupakan 7,5 persen dari total nilai proyek pembangunan ruang rawat kelas I, II, VIP, dan Super VIP RSUD Damanhuri. Uang suap ini diberikan oleh Direktur Utama PT Menara Agung Donny Winoto, selaku kontraktor proyek.
Sebelumnya, Abdul Latif saat menjabat sebagai pengusaha, pada tahun 2005-2006 pernah tersangkut kasus korupsi pembangunan Unit Sekolah Baru (USB) Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Labuan Amas Utara dengan anggaran Rp 711 juta. Pada 8 Juni 2008, Pengadilan Negeri Barabai menjatuhkan vonis terhadap Abdul Latif 1 tahun 6 bulan penjara dan denda Rp 50 juta subsider 2 bulan kurungan serta membayar uang pengganti sebesar Rp 37.636.500. Di tingkat banding dan kasasi, putusan tersebut diperkuat.
2. Mochammad Basuki (Ketua DPRD Jawa Timur)
KPK pada 6 Juni 2017 menetapkan Ketua Komisi B DPRD Jawa Timur Fraksi Partai Gerindra Mochamad Basuki dalam kasus suap pengawasan kegiatan anggaran dan revisi peraturan daerah di Provinsi Jawa Timur tahun 2017. Basuki disebut menerima suap dari beberapa Kepala Dinas Pemerintah Provinsi Jawa Timur. Proses hukum terhadap M. Basuki masih berlanjut di KPK.
Sebelumnya pada tahun 2002, Basuki saat menjabat sebagai Ketua DPRD Surabaya pernah terlibat dalam kasus korupsi tunjangan kesehatan dan biaya operasional DPRD Surabaya yang merugikan negara senilai Rp 1,2 miliar pada tahun 2002.
Anggaran yang semestinya digunakan untuk membayar premi asuransi kesehatan, dibagi-bagi kepada 45 anggota DPRD Surabaya. Pengadilan Negeri Surabaya menjatuhkan hukuman pada Basuki 1 tahun 5 bulan penjara dan denda Rp 20 juta subsider 1 bulan kuruangan serta membayar uang pengganti Rp 200 juta. Namun hukumannya dikurangi menjadi 1 tahun penjara dan denda Rp 50 juta subsider 1 bulan kurungan setelah mengajukan banding. Basuki keluar dari penjara pada 4 Februari 2004.
3. Aidil Fitra (Ketua KONI Samarinda)
Aidil Fitri, Ketua KONI Samarinda, pada tahun 2016 telah ditetapkan oleh Kejaksaan Agung sebagai tersangka kasus penyelewengan dana Pekan Olahraga Provinsi V/2014 Samarinda.
Pada 5 Mei 2017, Pengadilan Tipikor Banjarmasin menjatuhkan vonis 1 tahun penjara dan uang pengganti Rp 772 juta. Tidak puas atas vonis ringan, Jaksa mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Kaltim dan dikabulkan oleh majelis hakim dengan menambah vonis Aidil menjadi 5 tahun penjara.
Sebelumnya pada 2010, Aidil Fitri saat menjabat sebagai anggota DPRD Samarinda pernah terlibat korupsi dana bantuan sosial dari APBD Samarinda ke klub sepak bola Persisam Putra pada 20072008 yang merugikan keuangan negara hingga Rp 1,78 miliar. Aidil juga dicopot dari jabatan general manager Persisam Putra. Oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Samarinda pada tahun 2010, Aidil divonis setahun penjara ditambah denda Rp 50 juta, serta mengembalikan kerugian keuangan negara Rp 1,78 miliar. [rnd]
Jokowi menilai, nyalon tidaknya seseorang merupakan hak pribadi. Politikus PDIP itu memberikan solusi, KPU sebaiknya memberikan tanda bahwa caleg tersebut mantan narapidana korupsi, ketimbang melarang hak orang nyaleg.
"Kalau saya, itu hak. Hak seseorang untuk berpolitik. Tapi KPU bisa saja mungkin membuat aturan. Misalnya boleh ikut tapi diberi tanda 'mantan koruptor'," kata Jokowi di Universitas Uhamka, Jakarta Timur, Selasa (29/5).
Sikap Jokowi ini menuai reaksi di masyarakat. Khususnya para pegiat pemilu dan aktivis pemberantasan korupsi.
Perkumpulan pemilu untuk Demokrasi (Perludem) salah satu yang mendukung penuh KPU tegas. Melarang mantan koruptor maju lagi di Pemilu 2019. Sikap Jokowi ini pun amat disayangkan.
"Tentu kami menyayangkan pandangan Presiden yang seperti itu. Mestinya Presiden membiarkan saja KPU melaksanakan kewenangannya dengan mandiri. Meski para pihak punya pandangan berbeda. Namun KPU secara kelembagaan harus tetap menjaga dan mempertahankan kemandirian institusi KPU agar untuk memperkuat kepercayaan publik atas proses pemilu yang berjalan," kata Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggraeni saat berbincang dengan merdeka.com, Selasa (29/5) malam.
Dalam rapat konsultasi antara KPU bersama Komisi II DPR, Kemendagri dan Bawaslu, tak ada satu pun yang mendukung komitmen lembaga pelaksana pemilu tersebut. KPU dinilai menghalangi hak asasi orang untuk dipilih dan memilih dalam politik.
Di satu sisi, KPU juga dinilai tak layak 'mencabut' hak politik seseorang seperti layaknya hakim di pengadilan Tipikor. Tak hanya itu, para pihak yang berseberangan dengan KPU juga menilai, aturan larangan nyaleg harusnya diatur dalam UU, bukan setingkat PKPU.
Titi merasa tak kaget dengan statement yang disampaikan Jokowi. Sebab, dalam pengamatannya, pemerintah saat rapat dengan KPU dan DPR memang tegas menolak usulan KPU tersebut.
Titi menjelaskan, pendapat Jokowi bukan sesuatu yang baru dan mengejutkan. Sejak awal, kata dia, Pemerintah menyatakan ketidaksetujuanya dengan langkah yang akan diambil KPU.
"Tentu pandangan Pemerintah itu mencerminkan bagaimana pandangan Presiden. Kan tidak mungkin wakil Pemerintah berpendapat berbeda dengan opini Presidennya," terang Titi.
Independensi KPU diuji
Perludem tetap mendukung aturan larangan mantan koruptor nyaleg itu diterapkan. Terkait polemik harus melalui UU atau cukup PKPU, Titi mempersilakan orang yang tak setuju menggugat ke Mahkamah Agung (MA).
Menurut dia, kepercayaan publik pada KPU dan juga kualitas rekam jejak calon merupakan sesuatu yang sangat penting bagi suksesnya Pemilu 2019. Dia yakin, KPU akan tetap keluarkan aturan tersebut.
"Saya kira KPU tetap konsisten dan mengatur sesuai dengan keyakinan yang mereka miliki. Justru di sinilah kemandirian KPU diuji. Apakah akan konsisten atau goyah. Pihak-pihak yang berkeberatan bisa menempuh upaya hukum uji materi ke MA sesuai ketentuan Pasal 76 UU 7/2017 tentang pemilu," tegas Titi lagi.
urgensi larangan mantan narapidana kasus korupsi memasuki arena kontestasi elektoral juga berangkat dari adanya fenomena residivis korupsi atau orang yang pernah dijatuhi hukuman dalam perkara korupsi lalu kembali melakukan korupsi setelah selesai menjalani hukuman.
Dalam catatan Indonesia Corruption Watch (ICW), sedikitnya terdapat tiga orang yang diketahui menjadi residivis korupsi.
1. Abdul Latif (Bupati Hulu Sungai Tengah)
Abdul Latif pada 4 Januari 2017 terjaring Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas kasus suap proyek pembangunan RSUD Damanhuri. Ia diduga menerima suap Rp 3,6 miliar. Jumlah itu merupakan 7,5 persen dari total nilai proyek pembangunan ruang rawat kelas I, II, VIP, dan Super VIP RSUD Damanhuri. Uang suap ini diberikan oleh Direktur Utama PT Menara Agung Donny Winoto, selaku kontraktor proyek.
Sebelumnya, Abdul Latif saat menjabat sebagai pengusaha, pada tahun 2005-2006 pernah tersangkut kasus korupsi pembangunan Unit Sekolah Baru (USB) Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Labuan Amas Utara dengan anggaran Rp 711 juta. Pada 8 Juni 2008, Pengadilan Negeri Barabai menjatuhkan vonis terhadap Abdul Latif 1 tahun 6 bulan penjara dan denda Rp 50 juta subsider 2 bulan kurungan serta membayar uang pengganti sebesar Rp 37.636.500. Di tingkat banding dan kasasi, putusan tersebut diperkuat.
2. Mochammad Basuki (Ketua DPRD Jawa Timur)
KPK pada 6 Juni 2017 menetapkan Ketua Komisi B DPRD Jawa Timur Fraksi Partai Gerindra Mochamad Basuki dalam kasus suap pengawasan kegiatan anggaran dan revisi peraturan daerah di Provinsi Jawa Timur tahun 2017. Basuki disebut menerima suap dari beberapa Kepala Dinas Pemerintah Provinsi Jawa Timur. Proses hukum terhadap M. Basuki masih berlanjut di KPK.
Sebelumnya pada tahun 2002, Basuki saat menjabat sebagai Ketua DPRD Surabaya pernah terlibat dalam kasus korupsi tunjangan kesehatan dan biaya operasional DPRD Surabaya yang merugikan negara senilai Rp 1,2 miliar pada tahun 2002.
Anggaran yang semestinya digunakan untuk membayar premi asuransi kesehatan, dibagi-bagi kepada 45 anggota DPRD Surabaya. Pengadilan Negeri Surabaya menjatuhkan hukuman pada Basuki 1 tahun 5 bulan penjara dan denda Rp 20 juta subsider 1 bulan kuruangan serta membayar uang pengganti Rp 200 juta. Namun hukumannya dikurangi menjadi 1 tahun penjara dan denda Rp 50 juta subsider 1 bulan kurungan setelah mengajukan banding. Basuki keluar dari penjara pada 4 Februari 2004.
3. Aidil Fitra (Ketua KONI Samarinda)
Aidil Fitri, Ketua KONI Samarinda, pada tahun 2016 telah ditetapkan oleh Kejaksaan Agung sebagai tersangka kasus penyelewengan dana Pekan Olahraga Provinsi V/2014 Samarinda.
Pada 5 Mei 2017, Pengadilan Tipikor Banjarmasin menjatuhkan vonis 1 tahun penjara dan uang pengganti Rp 772 juta. Tidak puas atas vonis ringan, Jaksa mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Kaltim dan dikabulkan oleh majelis hakim dengan menambah vonis Aidil menjadi 5 tahun penjara.
Sebelumnya pada 2010, Aidil Fitri saat menjabat sebagai anggota DPRD Samarinda pernah terlibat korupsi dana bantuan sosial dari APBD Samarinda ke klub sepak bola Persisam Putra pada 20072008 yang merugikan keuangan negara hingga Rp 1,78 miliar. Aidil juga dicopot dari jabatan general manager Persisam Putra. Oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Samarinda pada tahun 2010, Aidil divonis setahun penjara ditambah denda Rp 50 juta, serta mengembalikan kerugian keuangan negara Rp 1,78 miliar. [rnd]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar