Sabtu, 29 November 2014

Fakta terbaru Mayang Prasetyo, korban mutilasi transgender di Australia

TRIBUNNEWS.COM, JOGJA - Iwan Agus Prasetyo yang ditangkap Tim Resmob Polrestabes Semarang, Jumat (28/11/2014) pagi mengaku tahu banyak hal tentang Mayang Prasetyo, mantan pacarnya. Prasetyo nama di belakang itu adalah nama diambil dari Iwan Agus Prasetyo.
Prasetyo juga mengaku tahu kalau Mayang merupakan PSK yang menjalankan "bisnisnya" lewat internet. Satu di antaranya melalui sebuah situs prostitusi online jaringan internasional yang khusus memasarkan waria atau transgender.
Mayang juga memakai akun facebook Patricia Caramoi. Selama di Bali, Prasetyo dan Mayang tinggal seatap di sebuah rumah kontrakan di Jalan Imam Bonjol, Legian Kaje, Kuta Bali.
"Tetapi kami juga sering ke Singapura, tinggal di hotel daerah Bughis, atau ke Hongkong. Kami bepergian kalau Mayang dapat booking dari pelanggan di luar negeri. Sekali ke luar negeri kami bisa tiga minggu," ujar Prasetyo seraya meringis menahan sakit kaki kanannya yang ditembak polisi.
Pria berbadan kekar dan dipenuhi tato itu mengaku tahu persis detail tarif Mayang sebagai PSK. Menurutnya, tarif selama 30 menit sebesar 300 dolar AS, 60 menit sebesar 500 dolar AS, dan sehari sebesar 1.500 dolar AS.
Namun kisah cinta Prasetyo dan Mayang akhirnya terhenti pada 2011 lalu. Prasetyo menilai Mayang terlalu overprotectif dan bertemperamen tinggi.
"Saya mau main sama teman saja harus seizin Mayang. Dia juga sering marah tanpa sebab. Selain itu, dia selingkuh dengan pelanggannya yang kemudian kini jadi suaminya," ungkap pria kelahiran Semarang, 8 Oktober 1983 ini.
Selepas putus, Prasetyo tahu bila mantan kekasihnya hijrah ke Australia. Sedangkan Prasetyo memilih mudik ke kampung halamannya di Semarang lalu setahun kemudian dia menikah dengan perempuan asal Boyolali dan kini sudah memiliki satu anak.
"Saya tahu Mayang dimutilasi dari tv. Saya sempat sedih mendengar kabar itu," kata Prasetyo yang matanya berkaca-kaca dan nyaris menangis saat ditanya kabar mantan kekasihnya itu. (Adi Prianggoro)

Transgender Rentan Jadi Korban Kekerasan

Jumat, 17 Oktober 2014 15:56 WIB

Transgender Rentan Jadi Korban Kekerasan
ABC
TRIBUNNEWS.COM, BRISBANE - Organisasi transgender di Brisbane (Australia) mengatakan tingkat kematian transgender, yang disebabkan kekerasan, telah mencapai 1.509 kasus.
Jumlah ini terhitung sejak enam tahun. Menjadi bukti, kaum transgender masih rentan jadi korban akibat kekerasan.
Menurut Cory Alexander dari Komunitas Transgender Brisbane , kaum transgender yang memiliki kulit 'berwarna' bahkan lebih beresiko jadi korban kekerasan.
Menurutnya, sepanjang tahun 2014 saja tercatat ada 62 transgender yang meninggal karena kasus kekerasan.
"Sebuah studi terbaru di Australia menunjukkan bahwa 69 persen kaum transgender setidaknya pernah mengalami kekerasan sekali seumur hidup," ujar Cory.
Menurutnya masalah dari kekerasan ini adalah masih tidak diakuinya identitas seksual kaum transgender.
"Misalnya sejak kita hidup, jenis kelamin yang ada hanya pria dan wanita, lantas kita masuk kategori mana? Dari sinilah kekerasan akibat gender dimulai," ujar Corey kepada Erwin Renaldi dari ABC International.
"Tragisnya, kaum transgender yang memiliki kulit berwarna [bukan putih] lebih rentan dibandingkan pria yang menjadi wanita."
Menurut Corey, ditemukan juga beberapa kasus dimana transgender dengan kulit berwarna yang mendapat perlakukan berbeda, baik di tempat kerja ataupun untuk mendapatkan fasilitas kesehatan.
Sementara itu, masalah kekerasan juga rentan terjadi bagi kaum transgender yang memiliki profesi sebagai pekerja seks komersil (PSK).
"Bagi kebanyakan, menjadi PSK adalah pilihan dan menjadi karir, dan perlu diingat ini adalah karena keterbatasan kesempatan untuk belajar dan bekerja untuk kaum transgender, terutama mereka yang memiliki kulit berwarna," tegas Corey.
Warga Menolak Shalatkan Jenazah Mayang Prasetyo
Sementara itu, dalam sebuah jumpa pers, ibu dari Mayang Prasetyo mengaku jika warga sekitar rumahnya menolak menshalatkan jasad Mayang, setelah tiba di Indonesia.
Mayang Prasetyo meninggal, diduga menjadi korban kekerasan dari pasangannya sendiri, Marcus Volke, yang dilakukan di apartemennya sendiri di Brisbane.
"Beberapa hari lalu, RT setempat datang ke rumah. Mereka katakan kepada saya, masjid sekitar rumah enggan menyolatkan anak saya. Saya sendiri tidak tahu alasannya," ujar Nining, di Kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandar Lampung, hari Rabu (15/10), seperti yang dikutip dari Kompas.com.
Kompas melaporkan, kuasa hukum Nining, Wahrul Fauzi Silalahi mengatakan negara harus adil memperlakukan hak dan kewajiban semua warganya.
"Kami mengecam aparat pemerintah dan membatasi peribadatan seseorang, apalagi Mayang adalah korban pembunuhan," ujar Fauzi.

Tidak ada komentar: