Jumat, 09 Maret 2018

Mayjen Sudrajat: Manuver Radikal Prabowo di Jabar

Mayjen Sudrajat: Manuver Radikal Prabowo di Jabar
Mayjen (Purn) Sudrajat (Sumber: Kompas.com)
Selain nasib tragis Ridwan Kamil (Emil) yang sudah terbaca sejak awal Agustus 2017, Pilkada Serentak Jawa Barat 2018 dipenuhi dengan serangkaian kejutan.

Dan yang paling mengejutkan adalah jatuhnya pilihan Ketua Umum Partai Gerindra, Prabowo Subianto, pada Mayjen Purnawirawan Sudrajat.
Bagaimana tidak, setelah Dedi Mizwar (Demiz) memproklamirkan dirinya akan bergabung dengan anggota Partai Demokrat menyusul keputusan partai besutan Susilo Bambang Yudhoyono itu yang akan menjagokannya, tidak ada lagi tokoh yang layak diturunkan untuk memenangi Pilgub Jabar 2018.
Masalahnya, Prabowo tidak mungkin mendukung pencalonan Demiz yang sama artinya dengan menjadikan dirinya sebagai follower dari SBY. Dan, jika berkaca dari serentetan pemberitaan sebelumnya, sangat kecil kemungkinan bagi Prabowo untuk bersekutu dengan SBY, apalagi menjadi pendukungnya.

Ternyata, untuk "meja" Jabar, Prabowo memiliki kartu as yang begitu "dibanting di atas meja" langsung menggetarkan syaraf-syaraf lawan-lawannya.
Menariknya, nama jagoan Prabowo tersebut sama sekali tidak pernah disebutkan dalam setiap hasil survei yang dirilis. Bahkan, media luar ruangan, seperti baliho, poster, spanduk, dll yang memampang foto Sudrajat belum pernah ditemukan. Lebih dari itu, bahkan, nama Mayjen Sudrajat pun sudah dilupakan.
Keterkejutan atas munculnya Sudrajat dalam Pilgub Jabar 2018 sedikit banyak mengingatkan pada kemunculan Anies Baswedan dalam Pilgub DKI 2017.
Dalam Pilgub DKI 2017, Prabowo sangat tidak mungkin mendorong Sandiaga Uno yang juga kadernya untuk terjun dalam perebutan suara pemilih di ibu kota. Karenanya sangat tidak mungkin bagi Prabowo untuk memenangkan DKI jika Sandi yang dicalongubernurkan.
Barulah ketika waktu pendaftaran bakal calon gubernur-wakil gubernur ditutup, Prabowo mengumumkan Anies Baswedan sebagai calon gubernur, sementara Sandi dipasangkan sebagai calon DKI 2.
Tetapi, jatuhnya pilihan Prabowo pada Anies bukanlah tanpa dasar. Setidaknya, nama Anies muncul dalam survei yang dirilis oleh Poltracking pada 16 September 2016 atau kurang lebih seminggu sebelum pencalonan Anies-Sandi dideklarasikan. Dan, menurut Poltracking elektabilitas Anies-Sandi (36,4 %) hanya kalah tipis dari Ahok-Djarot 37,9 %)
Dalam Pilgub DKI 2017, Prabowo tinggal menghitung kekuatan pasangan calon yang dimajukan poros Cikeas. Sebab dengan sistem 50 % plus 1, siapa pun lawannya dan bagaimana pun hitung-hitungannya, Ahok dan pasangannya dipastikan kalah.
Dengan Hitung-hitungan Ini, Sjafrie Sjamsoeddin Bakal Menangi Pilgub DKI 2017
Bisa dikatakan, Mayjen Sudrajat merupakan manuver radikal yang dilakukan  Prabowo untuk memenangi peperangan Pemilu 2019.
Lantas bagaimana peluang Sudrajat di Pilgub Jabar 2018 dengan sistem dan peta yang sangat berbeda dengan Pilgub DKI 2017?
Karena dalam pilgub di Jabar tidak mengenal 50 % plus 1, maka peraih suara terbanyak akan langsung ditetapkan sebagai pemenag. Artinya, tidak ada putaran kedua yang mendorong lahirnya koalisi baru.
Di Jawa Barat, peta persaingan nyaris serupa dengan Pilgub DKI 2017 dan Pilpres 2014, di mana terjadi polarisasi antara pendukung Jokowi dengan pendukung Prabowo-SBY.
Dengan adanya polarisasi tersebut, Sudrajat dan pasangannya akan berebut suara dengan Demiz-Dedi Mulyadi. Sementara Emil akan bersaing dengan TB Hasanudin-Anton Charliyan yang rencananya bakal dimajukan oleh PDIP.
Sekalipun didukung oleh PDIP, di mana Jokowi dosebut-sebut sebagai petugas partanya, TB dan Anton tidak akan mendapat banyak suara pendukung Jokowi yang lebih cenderung memilih Emil.
Pertanyaannya, berapa banyak suara pemilih Emil yang bisa direbut oleh TB-Anton?
Sementara, Sudrajat dengan membawa panji-panji Prabowo akan ber-head to head melawan pasangan 2D (bukan duet Dedi Dhukung dan Dian Pramana Putra yang populer di era 90-an) yang menjadi bayang-bayang SBY.
Sudrajat bukanlah Demiz dan Demul, bukan pula Emil. Jika Demiz, Demul, dan Emil merupakan tiga tokoh yang menduduki tiga tangga teratas dalam lektabilitas dan popularitas pada klasemen sementara Pilgub Jabar 2018, nasib Sudrajat sebelas dua belas dengan TB. Jangankan berelektabilitas tinggi, dikenal pun tidak.
Tetapi, keberhasilan dalam pemilu tidak lepas dari pemanfaatan setiap momen. Pendaftaran balon guberur dan wakilnya di KPUD harus bisa dimanfaatkan untuk mendongkrak popularitas. Karenanya, tidak mengherankan jika banyak pasangan calon yang bertingkah "aneh" saat mendaftarkan dirinya ke KPU/KPUD.
"Ledakan" popularitas yang terjadi pada saat mendaftar ke KPUD harus menggema ke seantero tanah Jabar. Semakin besar ledakannya semakin kuat gemanya.
Sayangnya, meningkatnya popularitas belum tentu diikuti oleh tingkat elektabilitas. Elektabilitas akan meningkat seiring dengan peningkatan popularitas jika sentimen positif lebih besar dari ketimbang negatif. Sebaliknya, jika sentimen negatif yang melebihi sentimen positif justru akan menggerus elektabilitas.
Kekuatan Emil saat ini tidaklah sebesar sebelum Nasdem mendeklarasikan pencalonannya. Emil yang sebelumnya digadang-gadang, bahkan disebut-sebut sanggup mengalahkan Ahok, terus melemah. Keputusannya yang mau menerima dukungan Nasdem menjadi blunder yang tidak akan mampu diperbaiki.
Guncangnya Emil yang dikaitkan dengan dukungan Nasdem merupakan "kata kunci' yang harus benar-benar dimanfaatkan oleh lawan-lawannya.
Menyerang Emil dengan mengaitkan sikap antipati rakyat Jabar pada Nasdem dan MetroTV sebagai corong politik Nasdem bukanlah kampanye hitam yang dilarang. Tetapi, merupakan kampanye negatf yang justru dibutuhkan dalam membangun proses demokrasi.
Serangan terhadap Emil tersebut tidak ubahnya seperti mengaitkan Ahok dengan (dugaan) tindakan penistaan agama. Atau, menyebarkan foto syur kader PDIP Abdullah Azwar Anas (tentu saja jika foto itu bukan hasil manipulasi).  
Menariknya, serangan pada Emil dengan mengaitkannya dengan Nasdem dan MetroTV tersebut bisa juga di-custom untuk merontokkan tingkat keterpilihan pasangan-pasangan lainnya di sejumlah daerah yang didukung Nasdem.
Sudrajat bukanlah Emil, Demiz, ataupun Demul. Purnawirawan perpangkat Mayjen ini terjun ke dalam kancah persaingan dengan penuh "kepolosan". Sebelum namanya disebut secagai jagoan Gerindra, nama Sudrajat nyaris tidak terdengar. Tetapi, justru di sinilah keuntungan Sudrajat.
Dengan popularitas Sudrajat pastinya akan terus meningkat seiring dengan waktu sosialisasi dan kampanye. Seharusnya dengan "kepolosannya" itu meningkatnya popularitas akan diikuti dengan menanjaknya tingkat elektabilitas.
Pertanyaannya, seberapa "poloskah" Sudrajat? Inilah yang belum diketahui oleh calon pemilih.  
Tetapi, "kepolosan" yang dimiliki calon bukan berarti akan meniadakan serangan terhadapnya. Karena serangan yang ditujukan untuk menambah sentmen negatif bisa dilontarkan ke arah para pendukungnya.
Di Jabar, kelompok yang terpolarisasi semakin menguat. Tetapi, di luar kelompok tersebut ada kelompok pemilih lain yang sebut saja sebagai kelompok non-blok. Bukan undecided voter dan juga bukan kelompok swing voter.
Belum diketahui besar jumlah calon pemilih pada kelompok non-blok tersebut. Tetapi, dengan adanya polarisasi, pemilih dari kelompok inilah yang pastinya bakal diperebutkan.
Di area kelompok non-blok inilah perang sesungguhnya akan berkobar. Segala macam kampanye, positif, negatif, dan htam akan disuguhkan keada kedua kelompok ini. Termasuk juga propaganda yang dilancarkan lewat sejumlah rilis survei.
Rilis survei SMRC yang juga dipublikasikan lewat akun Twitter @saifulmujani Ini adalah salah satu indikasi di mana lembaga survei berupaya menggiring opini pemilih dengan cara menyampaikan pertanyaan kepada responden yang tidak sesuai dengan fakta.
Sila dicermati, di mana hoax dalam rilis survei SMRC di atas.
Contoh di atas hanya satu dari sekian banyak contoh kesemrawutan hasil survei yang banyak di antaranya sudah dtuliskan di Kompasiana ini. (Dan, kekacauan survei bukan hanya itu. Masih ada rilis lainnya yang rencananya akan dituliskan secara khusus).
Jabar bakal menjadi fron terpanas di 2018. Istana, Cikeas, dan Hambalang pastinya akan mengeluarkan segala macam jurus-jurus saktinya. Tidak mengherankan bila banyak lembaga survai yang telah beroperasi untuk mempropagandakan kemenangan kelompok yang membayarnya.
Karenanya, singkirkan publikasi dari lembaga survei yang terindikasi pernah melakukan penyesatan dan pembodohan.
Emil, masih disebut sebagai calon dengan elektabiliyas tertinggi. Faktanya, dengan tingkat elektabilitasnya yang tertinggi itu, Emil justru ditinggal oleh partai-partai besar pendukungnya.
Emil ditinggal oleh Golkar dan PDIP pastimya karena kondisinya yang sudah melemah dan akan terus melemah. Hanya kelompok terpolarisasi dan terperdaya oleh pembodohan lembaga survai sajalah yang masih mendukung Emil.
Sedangkan TB-Anton hanya dapat berharap dari militansi pemilih tradisional PDIP. TB tidaklah seberuntung Rieke Dyah Pitaloka yang ketika turun dalam Pilgub Jabar 2013 dapat mengandalkan efek Jokowi. Dan, jumlah 20 % kursi DPRD yang diraih PDIP saat Pilleg 2014 pun tidak lepas dari efek Jokowi yang ketika itu masih bersinar terang.
Dalam Pilgub Jabar 2016, majunya duo 2D sangat unik mengingat keduanya memiliki tingkat elektabilitas yang jika dijumlahkan dapat mengalahkan para pesaingnya.
Di samping itu, kader Golkar Jabar tengah dalam kondisi solid selepas kisruh pencalonan Demul beberapa bulan yang lalu. Bahkan, di saat tiket Jabar 1 lepas dari tangan Demul. Kader Golkar pendukung Demul masih terus bergerilya blusukan ke kampung-kampung.
Sementara, dari sisi Demiz, popularitas Demiz yang berlatarbelakangkan aktor layar lebar dan layar kaca di samping tentu saja Wagub Jabar sudah tidak perlu diragukan lagi, Demikian juga dengan elektabilitasnya. Tidak salah jika nantinya SBY akan memanfaatkan populartas Demiz untuk mendongkrak popularitas AHY.
Berbeda dengan para pesaingnya, Mayjen Sudrajat memulai langkahnya di Jabar dari nol (Mayjen TB sekitar 2 tahun yang lalu sempat menyosialisasikan pencalonannya lewat sejumlah baliho).
Namun demikian bukan berarti peluang Sudrajat juga nol. Sudrajat sudah memiliki modal soliditas kader dan simpatisan parpol pendukungnya. Lebih dari itu, euforia kemenangan Anies-Sandi pastinya akan melecut semangat pendukung Prabowo di Jabar untuk mengulangi kesuksesan rekan-rekannya di DKI. .
Pilgub Jabar 2018 merupakan kelanjutan dari Pilgub DKI 2017, karenanya, sebagaimana kemenangan Anies-Sandi, kemenangan Sudrajat pastinya akan melapangkan jalan bagi lawan-lawan Jokowi (Tidak harus Prabowo) untuk memenangi Pilpres 2019.
Salam #KamiRadikal

Tidak ada komentar: