Keluarga |
|
---|
Sriwijaya Post
Titiek Soeharto
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Siti Hediati Hariyadi
atau yang akrab disapa Mbak Titiek ternyata ikut maju sebagai calon
anggota legislatif (Caleg) DPR dari Partai Golkar. Dari daftar bakal
calon anggota DPR yang dikutip Tribunnews.com, Rabu (25/4/2013), dari
situs KPU memperlihatkan nama Titiek terpampang di nomor urut 1 caleg
dari DI Yogyakarta.Titiek Soeharto merupakan anak keempat Soeharto. Dia
pernah menikah dengan Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra Prabowo Subianto
pada Mei 1983. Pasangan ini dikaruniai seorang anak, Didiet Prabowo.
Didiet menghabiskan sebagian masa sekolahnya di Boston, AS. Perkawinan
pasangan ini dulu ramai diberitakan berakhir dengan perceraian.
Waktu Gunung Merapi Yogyakarta meletus tahun 2006 lalu, Titiek tampil memberikan bantuan bagi korban bencana.
Di Dapil Yogyakarta, Titiek akan menghadapi Roy Suryo yang dijagokan sebagai kandidat caleg DPR dari Partai Demokrat. Sebutir ‘Air Mata’ di Pipi Jenderal
Setelah
Magrib. Usai bertemu dengan Wapres Habibie, Prabowo datang ke Cendana.
Di ruangan dalam, ia melihat Presiden Soeharto duduk bersama
anak-anaknya dan Menhankam/Pangab Jenderal Wiranto. Semula Prabowo ingin
bergabung, namun putri bungsu pak Harto, Sri Hutami Endang Adiningsih
(Mamiek) menghampirinya dengan marah dan mengatakan, “Kamu penghianat,
penghianat. Jangan injakkan kakimu di rumah saya lagi.” Akhirnya Prabowo
tidak jadi bergabung dan pulang ke rumahnya.
Sebuah peristiwa haru yang terjadi di
hari Rabu 20 Mei 1998, sehari sebelum Pak Pak Harto mundur yang saya
baca dari buku berjudul ‘Hari-Hari Terpanjang Menjelang Mundurnya
Presiden Soeharto’ yang ditulis James Luhulima. Saya tergetar membaca
tulisan itu dan seolah merasakan ‘magnet waktu’ yang menempatkan saya
hadir di sana, di masa silam 13 tahun lalu, saat yang seharusnya Pak
Prabowo menikmati kejayaannya sebagai Pangkostrad dan juga sebagai mantu
Pak Harto.
Namun bentakan Mamiek, (dalam benak saya)
seolah meruntuhkan segalanya. Ungkapan ‘penghianat’ di tengah kegalauan
Pak Harto di penghujung kekuasaannya, bagi seorang kesatria dan bagian
keluarga besar cendana kala itu tentu adalah ‘aib’, yang mungkin bagi
orang lain tak bisa menahan lelehan sebutir air mata, tanda kesedihan
dan kegalauan mendalam. Apalagi di sana ada Jenderal Wiranto, yang
secara emosional bukan keluarga Pak Harto.
Deshh…. Saya hanya membayang apa
yang ada dalam pikiran beliau kala itu. Membayang reaksi dari martabat
seorang lelaki yang dipermalukan adiknya sendiri. di tengah kehadiran
orang lain. Membayang adanya keputus-asaan. Membayang masa depan
hubungan Pak Prabowo dengan keluarga Cendana. Membayang tentang apa yang
akan diceritakannya pada ‘mata cinta’ buah hati semata wayangnya,
Ragowo Hedi Prasetyo kelak dikemudian hari. Saya amat meyakini bila Pak
Prabowo kala itu hatinya dilanda kegalauan besar, kemana ia harus
menempatkan dirinya.
(**)
12 tahun kemudian, tepatnya 21 Oktober
2010, dalam sebuah acara pelantikan pengurus HKTI di Jakarta, Pak
Prabowo menyatakannya dukungannya agar mantan Presiden Soeharto layak
ditetapkan menjadi Pahlawan Nasional, karena kontribusi Pak Harto dalam
membangun negara. Sebuah pernyataan yang dianggap kontradiktif bagi
orang-orang yang tidak mengingkan gelar itu pada Pak Harto. Di tengah ia
tak lagi menjadi keluarga Cendana, setelah perceraiannya dengan Ibu
Titiek Soeharto.
Pernyataann dan dukungan ini seolah
memberi gambaran, jika Pak Prabowo masih tetap melindungi harkat dan
martabat keluarga Cendana. Masih tetap menunjukkan kesetiaannya, meski
ia tak lagi sebagai ‘putra-putri’ Pak Harto. Pernyataan yang menunjukkan
ke-profesional-an Pak Prabowo dalam menegakkan nilai-nilai penghormatan
terhadap sosok-sosok yang pernah berjasa di negeri ini. pernyataan yang
meneguhkan bahwa tak ada lagi ‘sebutir air mata bening’ di pipi seorang
mantu dan ayah dari cucu penguasa Indonesia 32 tahun itu. Pernyataan
dari seorang tokoh yang layak menyandang status sebagai Presiden
Republik Indonesia di tahun 2014 mendatang. Insya Allah.
Namun demikian, jutaan rakyat Indonesia
yang hidup miskin masih menunggu harapan dan asa dari seorang pemilik
‘sebutir air mata bening di pipi jendral’. Mereka tak hanya merasa lapar
di tengah kekayaan negeri, tetapi telah merintih dalam himpitan hidup
diantara kepongahan gedung-gedung pencakar langit Jakarta dan pongahnya
para koruptor mendulang harta. Merintih dalam raungan mesin-mesin
tambang emas Papua, dan merintih dalam kesemuan ke-Bhinneka-an.
Sebutir ‘air mata bening’ itu masih kami harapkan Jenderal!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar