Presiden
SBY baru saja mengadakan kunjungan kenegaraan ke Jepang untuk
menyampaikan rasa simpati bangsa Indonesia atas bencana gempa dan
tsunami yang menimpa Jepang pada bulan Maret lalu.
Dalam kunjungan dua hari tersebut, SBY juga
mengunjungi Kota Kessenuma yang merupakan daerah terparah yang dilanda
gempa dan tsunami di samping meyampaikan bantuan dari bangsa Indonesia
untuk rakyat Jepang.
Selain mengadakan kunjungan ke tempat bencana, SBY
bertemu dengan PM Jepang, Naoto Kan untuk membahas beberapa isu
strategis. Salah satu isu yang dibahas adalah terkait dengan ketegangan
antara Cina dan beberapa negara Asia Tenggara mengenai Laut Cina
Selatan.
Laut Cina Selatan merupakan kawasan laut yang
terletak di kawasan Samudera Pasifik terbentang dari Singapura dan Selat
Malaka di barat daya hingga Selat Taiwan di timur laut. Kawasan ini
meliputi lebih dari 200 pulau kecil, bebatuan, dan karang yang sebagian
besar berada di rangkaian kepulauan Paracel dan Spratly. Rangkaian
kepulauan inilah yang seringkali diperebutkan sehingga menimbulkan
ketegangan politik dari beberapa negara di sekitarnya.
Laut Cina Selatan pada dasarnya merupakan no man’s
island karena kawasan ini pada dasarnya tidak dimiliki oleh siapapun
melainkan digunakan sebagai jalur perdagangan internasional.
Berdasarkan Konvensi PBB dalam Hukum Laut (UNCLOS)
yang telah diadopsi pada tahun 1982, setiap negara berhak untuk
memasukkan wilayah hingga 12 mil laut sebagai bagian dari kedaulatannya
dan 200 mil laut untuk Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE).
Namun, salah satu pasal lain dalam UNCLOS yang
berbunyi bahwa kawasan bebatuan yang tidak dapat menopang habitat
manusia atau kehidupan ekonominya sendiri maka tidak memiliki zona
eksklusif atau batas kontinen, seringkali menjadi alasan dari
negara-negara yang melakukan klaim sepihak atas kepulauan Spartly dan/
atau wilayah Laut Cina Selatan untuk melakukan eksplorasi dan
eksploitasi.
Adapun negara-negara yang seringkali terlibat
dalam konflik karena klaim sepihak adalah Brunei, Filipina, Malaysia,
Taiwan, Vietnam, dan Cina.
Hingga saat ini, Brunei Darussalam mengklaim
Louisa Reef dan Rifleman Bank yang merupakan kawasan terpisah dari
kepulauan Spratly, Filipina mengklaim tidak kurang dari delapan buah
pulau kecil (islet) yang merupakan bagian dari kepulauan Spratly,
Malaysia mengklaim 12 pulau tersebar di Laut Cina Selatan, Taiwan
mengklaim beberapa kelompok pulau utama di Laut Cina Selatan dan
merupakan negara pertama yang menduduki kawasan kepulauan Spratly.
Sedangkan Vietnam dan Cina merupakan negara yang mengklaim paling
banyak, Vietnam mengklaim seluruh kawasan Kepulauan Spratly dan Cina
mengklaim seluruh wilayah Laut Cina Selatan.
Mengapa Laut Cina Selatan? Setidaknya ada beberapa
alasan jika ditinjau dari geopolitik kawasan ini. Laut Cina Selatan
merupakan jalur pengiriman barang lewat laut tersibuk kedua di dunia.
Setiap tahunnya, lebih dari setengah lalu lintas supertanker dunia
melalui jalur Selat Malaka, Sunda, dan Lombok menuju ke Cina, Jepang,
Taiwan, dan Korea Selatan. Selain itu, kawasan ini memiliki potensi
cadangan minyak dalam jumlah besar. Cadangan minyak telah ditemukan di
banyak batas kontinen di sekitar kawasan ini. Hingga saat ini,
diperkiran bahwa kawasan ini mengandung cadangan minyak sebanyak 7
milyar barel dan kapasitas produksi mencapai 2,5 juta barel setiap
harinya.
Ketegangan politik antar negara-negara pengklaim
kawasan ini sebenarnya telah berlangsung sejak lama, tetapi aksi Cina
yang melakukan patroli akhir-akhir ini menimbulkan ketegangan politik di
kawasan Asia.
Pada awal Juni yang lalu, 11 kapal angkatan laut
Cina, termasuk jenis destroyer, berlayar antara pulau Okinawa dan
Sakishima setelah melakukan pengeboran di kawasan Pasifik Barat, bagian
timur Filipina. Cina juga terlihat meningkatkan latihan angkatan lautnya
di kawasan ini dari tahun ke tahun. Aksi Cina ini disinyalir dapat
memicu negara-negara yang bersengketa lainnya melakukan hal serupa, yang
tentunya akan mengganggu keamanan jalur laut internasional.
Meskipun saat ini tidak memiliki kepentingan
kedaulatan atas Laut Cina Selatan, Jepang memiliki kepentingan yang
besar terkait dengan jalur perdagangan internasionalnya. Tank-tank
Jepang mengangkut 70% dari minyak yang diimpor melalui jalur Laut Cina
Selatan karena merupakan jalur yang paling cepat dan murah. Meskipun
secara geografis memiliki jarak yang dekat dengan kawasan yang
disengketakan, Indonesia juga tidak melakukan klaim sebagaimana yang
dilakukan oleh beberapa negara yang telah disebutkan sebelumnya.
Indonesia hanya melakukan klaim ZEE yang mana sama sekali tidak
melanggar hukum laut internasional. Meski demikian, sama halnya dengan
Jepang, Indonesia juga berpotensi untuk tertarik ke dalam konflik
regional karena adanya kemungkinan perluasan klaim Cina dan Taiwan
hingga mencakup ZEE Indonesia, yaitu area Natuna Barat yang kaya akan
cadangan gas bumi.
Atas dasar ini, PM Jepang Naoto akan menyampaikan
keinginannya kepada Presiden SBY untuk bekerjasam dengan Indonesia guna
meredam ketegangan yang terjadi karena aktivitas yang dilakukan oleh
Cina. Salah satu kesepakatan dari pertemuan antara kedua kepala
pemerintahan tersebut adalah untuk meningkatkan kerjasama bilateral
dalam memerangi kejahatan bajak laut di perairan Malaka, Laut Cina
Selatan, dan perairan sekitar.
Perbincangan untuk meredam ketegangan yang sedang
terjadi ini selanjutnya seharusnya tidak hanya menjadi kerjasama
bilateral antara kedua negara, tetapi juga melibatkan pihak-pihak lain
termasuk mengajak pihak-pihak yang bersengkata untuk berunding.
Kerjasama antara Jepang dan Indonesia untuk
meredakan ketegangan ini dapat dibenarkan. Jepang dan Indonesia, dalam
hal ini, dapat dikatakan sebagai pihak netral karena keduanya tidak
melakukan klaim terhadap wilayah sengketa sehingga tidak akan terlibat
dalam konflik kepentingan menyangkut wilayah yang disengketakan.
Di samping itu, Indonesia merupakaan Ketua ASEAN
tahun ini. Hal ini dapat dimanfaatkan oleh Indonesia sebagai momentum
untuk menunjukkan kepemimpinannya dalam tubuh ASEAN sebagaimana pernah
dilakukan pada saat awal pembentukan ASEAN tahun 1967.
Pun, perundingan yang akan dilakukan, jika ada,
hendaknya mampu membuat masing-masing pihak yang bersengketa untuk
angkat bicara tentang kepentingannya masing-masing dan menemukan solusi
bersama dengan kembali kepada kesepakatan awal sesuai dengan UNCLOS. Di
samping itu, juga harus disadari bahwa kawasan Laut Cina Selatan sendiri
merupakan common goods sehingga menuntut adanya kesepakatan bersama
dalam pengelolaannya agar dapat menghindarkan penggunaan kekerasan atau
kontak senjata. (KA-06/24/2011)
PS. Common goods dapat didefinisikan sebagai
kondisi umum yang secara setara memberikan manfaat bagi setiap individu
(dalam hal ini negara). Meski demikian, common goods bukan sesuatu yang
disediakan dan memiliki batas tertentu, sehingga manajemen pemakaiannya
saat mempengaruhi terjadi tidaknya konflik di masa depan.
Referensi:
Jurnal Online
Rowan, J.P. The U.S.-Japan Security Alliance,
ASEAN, and the South China Sea Dispute. Asian Survey, Vol XLV, No. 3,
May/June 2005.
Website
Image:
Sikap Jokowi Soal Konflik Laut Cina Selatan
"Ini adalah urusan negara lain dengan negara yang lain. Tapi kalau kita bisa masuk dan bisa berperan, juga lebih baik. Tapi harus kita amati dan cek, apakah kita masuk ke konflik itu justru membuat kita berhubungan tidak baik dengan Tiongkok, lalu apakah kita bisa kasih solusi," kata Jokowi di Hotel Holiday Inn Kemayoran, Jakarta, Minggu (22/6/2014).
Pasangan cawapres Jusuf Kalla itu mengatakan, jika Indonesia tidak memberikan solusi, sebaiknya Indonesia tidak ikut-ikutan. Ketahanan nasional tetap nomor satu.
"Kalau kita bisa kasih solusi dengan diplomasi, tidak usah ikut-ikutan," kata Jokowi.
Mendengar jawaban Jokowi, Prabowo kemudian kembali melontarkan pertanyaan apakah Indonesia akan abstain atau membela siapa dalam masalah Laut Cina Selatan ini. Sebab, ada masalah wilayah Indonesia yang diklaim negara lain dalam konflik tersebut.
"Masalahnya adalah, sebagian wilayah maritim kita diklaim oleh salah satu negara yang ikut masalah di Laut Cina Selatan. Karena bagian dari Asean, apakah kita abstain sama sekali atau akan membela yang empat (negara) dari itu?" tanya Prabowo.
"Kalau peran kita bisa kasih keuntungan bagi negara lain, kita lakukan. Kita tidak punya konflik dalam area yang ada, kalau dibutuhkan kita masuk, harus ada manfaatnya, harus bisa berikan jalan keluar agar konflik itu tidak memberikan dinamika yang tidak baik di sekitar kawasan itu," ujar Jokowi memberi jawaban.
Jokowi Tak Tahu, Laut Cina Selatan Sangat Penting
Harianterbit.com | Senin, 23 Juni 2014 09:31:00 WIB | Dilihat : 253
Ilustrasi
Jakarta, HanTer - Konflik Laut Cina Selatan menjadi salah topik yang mencuat dalam debat capres, Minggu (22/6) malam. Dalam sesi tanya-jawab, capres nomor urut dua Joko Widodo (Jokowi) tampak gugup lantaran tidak menguasai persoalan yang terjadi di Laut Cina Selatan.
Kegugupan itu, menurut Direktur Eksekutif Polcomm Institute, Henri Budiarto, tampak dari gestur tubuh Jokowi. “Mimik mukanya berubah. Saat ditanya Prabowo soal konflik Laut Cina Selatan, Jokowi terkesan menjawab sekenanya dengan mengatakan jika tidak ada kepentingan, jangan masuk dalam konflik itu,” kata Henri yang dihubungi Minggu (22/6) malam.
Padahal, lanjut Henri, betapa strategisnya Laut Cina Selatan dan betapa kayanya sumber daya alam di Laut Cina Selatan. “Itu sebab, sejumlah negara terus berkonflik di sana. Peran Indonesia dibutuhkan dalam menyelesaikan konflik di Laut Cina Selatan. Tapi Jokowi memberikan jawaban wait and see,” ujar Henri.
Soal Jokowi yang tidak menguasai masalah konflik di Laut Cina Selatan, juga dibenarkan Ketua Dewan Pertimbangan Partai Golkar Akbar Tanjung. "Ya maaf, mungkin Jokowi tidak begitu menguasai banyak isu nasional terkait soal tadi, luar negeri, ketahanan nasional. Misal soal Laut Cina Selatan dia tak memahami betul," kata Akbar Tandjung yang ditemui usai debat capres di Hotel Holiday Inn, Kemayoran, Jakarta, semalam.
Jawaban Jokowi menurut Akbar, menunjukkan seolah Indonesia tidak punya kepentingan dengan konflik Laut Cina Selatan. Padahal peran Indonesia dibutuhkan dalam menyelesaikan hal itu. "Itu kan perebutan kepentingan dari beberapa negara terkait juga sumber daya di situ. Kalau soal kepentingan membutuhkan kemampuan tinggi dan diplomasi, kalau tidak bisa terjadi konflik yang tajam," ujarnya.
"Di sini (Jokowi) kelihatannya seolah-olah tidak ada masalah serius, pokoknya berbaik sangka. Padahal itu kan soal kepentingan di sana sumber daya alam," tambah mantan ketua DPR itu.
Sebelumnya, capres Prabowo Subianto melontarkan pertanyaan soal peran Indonesia dalam permasalahan yang terjadi di Laut Cina Selatan. Jokowi menilai itu urusan negara lain. "Ini adalah urusan negara lain dengan negara yang lain. Tapi kalau kita bisa masuk dan bisa berperan, juga lebih baik. Tapi harus kita amati dan cek, apakah kita masuk ke konflik itu justru membuat kita berhubungan tidak baik dengan Tiongkok, lalu apakah kita bisa kasih solusi," kata Jokowi.
Selain tidak memahami masalah Laut Cina Selatan, capres nomor urut dua Jokowi juga salah data saat menjawab pertanyaan Prabowo mengenai penjualan saham PT Indosat yang dilakukan pemerintah saat Megawati Soekarnoputri menjabat Presiden. "Pada tahun 1998 kita sedang dalam keadaan krisis. Kita membutuhkan anggaran untuk menggerakkan ekonomi dan apa yang kita punyai kita bisa jual barang (Indosat, red) itu," jawab Jokowi.
Atas jawaban Jokowi itu, Waketum Partai Gerindra Fadli Zon menilai Jokowi salah membeberkan data. Menurutnya, penjualan Indosat bukan terjadi pada tahun 1998 dan tidak dilatari krisis ekonomi. "Di zaman Ibu Mega sudah tidak ada krisis, sudah cukup baik. Saya kira Jokowi salah data," tegas Fadli Zon usai menyaksikan debat capres putaran ketiga di Hotel Holiday Inn, Jakarta, Minggu (22/6).
Sekadar mengingatkan, Megawati menjadi presiden pada 2002, menggantikan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang lengser di tahun itu. Sebelumnya Megawati adalah Wapres Gus Dur.
Fadli menyebut pertanyaan Prabowo kepada Jokowi mengenai aset Indosat untuk menegaskan aset penting milik negara tidak boleh dijual ke negara lain. "Untuk mengingatkan jangan sampai terjadi kembali. Ada aset strategis dijual, ini adalah tindakan tidak nasionalis. Jawaban Prabowo jelas tidak akan terjadi penjualan BUMN strategis ke pihak asing," ujarnya.
(Angga/Remmy/Safari)
Senin, 23 Juni 2014 06:48 WIB | 4107 Views
Wakil Sekjen Partai Golkar Nurul Arifin (ANTARA FOTO/Widodo S. Jusuf)
Pernyataan Jokowi yang menyebut bahwa masalah itu bukan konflik kita dan buat apa kita ikut-ikutan, menurut Nurul Arifin, merupakan pernyataan yang tidak relevan sama sekali."Padahal konflik tetangga bisa berimbas ke negara kita. Bukti bahwa Jokowi terlalu teoritis dan tidak bicara strategi. Sementara Prabowo bicara penguatan Ketahanan Nasional itu secara bertahap. Mulai dari penguatan dari dalam negeri dalam bentuk kesejahtraan dan seterusnya," kata Nurul.
Pernyataan Jokowi soal membenahi batas-batas wilayah kita, ungkap mantan anggota Komisi I DPR RI, menjadi bumerang karena dia sendiri tidak memahami wilayah-wilayah perbatasan. "Secara umum debat ketiga ini adalah panggungnya Prabowo," kata Wasekjen Partai Golkar itu menambahkan.
Editor: Suryanto
COPYRIGHT © 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar