Sabtu, 05 Juli 2014

Apa akar dari isu kudeta? saura sebangsa dan setanah air! anda tidak perlu panik, percayalah bulan puasa penuh berkah! yakinlah TNI tidak senista itu!

Jum at, 28 Februari 2014

Peluang Kudeta Konstitusional Pemilu 2014

 Soleman B. Ponto,
Kepala Badan Intelijen Strategis (Bais) TNI 2011-2013


Pada 23 Januari 2014, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan bahwa Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 serta tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Namun, aneh tapi nyata, undang-undang yang telah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat itu oleh MK dinyatakan masih dapat dipakai dalam pelaksanaan Pemilu 2014.

Dengan demikian, secara jelas masyarakat Indonesia dapat melihat bahwa pelaksanaan Pemilu 2014, apabila masih menggunakan Undang-Undang Nomor 42/2008, hasilnya inkonstitusional atau tidak berdasarkan UUD 1945. Pihak-pihak yang menang, baik Presiden, Wakil Presiden, maupun anggota DPR, semuanya tidak sah karena menggunakan produk hukum yang bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.

Akibat inkonstitusional Pemilu 2014, sangat mungkin pihak terkait, baik para pendukung status quo maupun yang kalah, memiliki dasar hukum yang kuat untuk menggugat para pemenang. Dalam kondisi demikian ini, dapat dipastikan akan terjadi dua kubu yang saling klaim kemenangan dan kebenaran. Dua kubu ini berada pada jumlah, wilayah, dan kekuatan politik yang hampir seimbang. Maka yang akan terjadi adalah keadaan chaos, yakni sebuah kondisi yang mengarah ke pemberontakan bersenjata. Chaos bisa terjadi karena alamiah atau bisa pula rekayasa oleh pihak yang mau mengambil atau mendapat keuntungan oleh kondisi ini.


Dalam kondisi chaos inilah, apalagi kalau sudah menjurus ke arah pemberontakan bersenjata, posisi TNI menjadi sangat penting. Dalam sumpah prajurit di hadapan Tuhan, dinyatakan bahwa setiap anggota TNI akan setia kepada pemerintah yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 serta tunduk kepada hukum. Pasal 7 ayat 2 UU Nomor 34/2004 tentang TNI menyebutkan, "Tugas pokok TNI adalah menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara."


Sudah sangat jelas positioning TNI. Pertama, TNI akan dan harus berpihak kepada pihak yang mendukung pelaksanaan UUD45. Kedua, TNI harus tunduk kepada hukum, sehingga ia harus menjaga keutuhan bangsa. Bila keutuhan bangsa Indonesia terancam oleh chaos, TNI wajib melaksanakan Operasi Militer Selain Perang untuk mengatasi pemberontakan bersenjata, seperti yang tertulis pada pasal 7 ayat 2 titik 2 Undang-Undang No. 34/2004.


Di sisi lain, dari aspek hukum humaniter, pemberontakan bersenjata atau chaos yang mengarah ke perang saudara, karena menggunakan berbagai jenis senjata, masuk kategori konflik bersenjata internal, di mana rezim hukum yang berlaku adalah rezim hukum humaniter. Ini artinya, kekuasaan penuh berada di tangan militer. Dengan demikian, bila hal ini terjadi di Indonesia, kewenangan dan kewajiban untuk bertindak mengatasi chaos berada di tangan TNI.


Bila TNI tidak bertindak, pemimpin TNI (dalam hal ini Panglima) dapat dituntut sebagai pelanggar HAM karena melakukan pembiaran yang dapat mengakibatkan jatuhnya korban. Masih hangat dalam ingatan kita bagaimana para perwira TNI yang bertugas di Timor-Timur dituduh sebagai pelanggar HAM karena melakukan pembiaran sehingga menyebabkan perang saudara setelah jajak pendapat. Apalagi saat ini sangat jelas perintah undang-undang kepada TNI agar menegakkan kedaulatan negara yang berdasarkan UUD 1945 serta menjaga keutuhan bangsa. Dan, yang tidak kalah penting, setiap anggota TNI akan dikutuk Tuhan apabila tidak melaksanakan sumpahnya.


Memang, dalam UU TNI Pasal 17 ayat (1) disebutkan, "(1) Kewenangan dan tanggung jawab pengerahan kekuatan TNI berada pada Presiden." Juga dalam Pasal 7 ayat 3 disebutkan bahwa ketentuan tentang operasi militer untuk perang maupun selain perang dilaksanakan berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara. Pertanyaan besarnya, bagaimana TNI harus tunduk ketika posisi presiden maupun DPR dianggap tidak berdasarkan UUD 1945?


Dengan demikian, sangatlah jelas keputusan MK--yang membenarkan penggunaan undang-undang yang bertentangan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dalam Pemilu 2014--akan mengakibatkan chaos, baik terjadi secara alamiah maupun memang dengan sengaja direkayasa oleh pihak-pihak yang diuntungkan. Bila chaos terjadi, terbuka peluang TNI melakukan "kudeta" konstitusional atau kudeta yang di perintah oleh undang-undang.

Nah, supaya hal ini tidak terjadi, pelaksanaan pemilu serentak harus dilaksanakan pada Pemilu 2014 ini. Karena itulah yang konstitusional. Lebih baik tertunda daripada tidak legitimated.
 
Kalau Mau Kudeta, TNI Tak Perlu UU
[Politik dan Keamanan] edi sabtu, 05 Juli 2014
Jakarta, Pelita, Kalau TNI mau melakukan kudeta terhadap pemerintahan yang sah, maka tidak harus menunggu adanya Undang-Undang (UU). Sekarang pun kalau mau kudeta, TNI bisa melakukannya. Tapi hal itu tidak akan dilakukan oleh TNI, karena TNI punya kewajiban menjaga kedaulatan dan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Penegasan itu dikemukakan Panglima TNI Jenderal TNI Endriartono Sutarto di Balai Wartawan Mabes TNI, Cilangkap, Jakarta Timur, Kamis (27/2) siang menanggapi pertanyaan pers atas pemberitaan yang berkembang kemarin, berkait dengan Pasal 19 RUU TNI.

Dalam jumpa pers itu Panglima TNI menjelaskan mengenai situasi Aceh sejak penandatanganan penghentian permusuhan, masalah Papua dan Timika, serta pernyataan minta maaf dari The Washington Post. Jumpa pers dihadiri Kasum TNI, Kepala Bais TNI, Irjen TNI, Kapuspen TNI, Komandan Puspom, dan sejumlah pejabat Mabes TNI lainnya.

Kepada pers, Panglima TNI menegaskan, pemberlakuan RUU TNI yang sekarang sedang digodok kembali di Departemen Pertahanan bukan untuk memungkinkan TNI melancarkan kudeta. "Sebaliknya, untuk melindungi keberadaan Tanah-Air dari segenap kemungkinan yang mengancam kelangsungan Republik Indonesia, sekaligus mencegah negara dari kerugian yang lebih besar," ucapnya.

Pernyataan Jenderal TNI Endriartono itu sekaligus menanggapi kekhawatiran dan kecurigaan sejumlah kalangan, terkait RUU TNI yang diajukan Mabes TNI, terutama menyangkut kewenangan Panglima TNI mengerahkan pasukan tanpa persetujuan Presiden.

Keberadaan pasal tersebut dikhawatirkan memberi peluang pada TNI untuk melakukan pengambil alihan kekuasaan melalui kudeta.

Menurut Panglima TNI, aturan itu hanya dimaksudkan agar TNI dapat bertindak lebih awal untuk mengurangi kerugian negara jika terjadi keadaan mendesak, seperti adanya serangan dari negara asing, bencana alam, atau terjadi kerusuhan massal, baru kemudian melapor ke Presiden dalam waktu 1 x 24 jam.

Di dalam Pasal 19 Ayat 1 RUU TNI itu, disebutkan bahwa "dalam keadaan mendesak dimana kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan keamanan segenap bangsa terancam, maka Panglima TNI bisa memakai kekuatan TNI untuk mencegah kerugian yang lebih besar."

Selain itu, di dalam Rancangan UU TNI itu juga dijelaskan pengertian "pemakaian kekuatan TNI dalam keadaan mendesak", yaitu

keadaan yang mendorong pelaksanaan tindakan awal dalam situasi dimana keputusan harus segera diambil berdasarkan pertimbangan ruang dan waktu dengan mempertimbangkan ruang dan waktu.

Dipertimbangkan pula risiko yang akan dihadapi dengan memperhatikan perundangan yang berlaku dan kode etik TNI.

Sedangkan yang dimaksud dengan "kerugian negara secara moril dan materiil" adalah kerugian yang diakibatkan karena terjadi satu pelanggaran serta gangguan wilayah, kedaulatan bangsa, kerusuhan massal, dan lain-lain.

"Jadi, tidak benar jika melalui Pasal 19 Ayat 1 RUU TNI itu TNI lalu berniat melakukan kudeta. Kalau mau kudeta, ngapain menunggu UU berlaku, sekarang juga bisa. Toh 300.000 prajurit TNI ada di seluruh wilayah Indonesia, dari Sabang sampai Merauke," ujar jenderal bintang empat itu.

Dia mencontohkan, bila ada serangan dari negara luar yang mengancam kedaulatan Indonesia, sementara Presiden Indonesia sedang di luar negeri dan tidak bisa dihubungi, maka TNI tidak akan membiarkan serangan itu terjadi sampai menunggu perintah Kepala Negara.

"Itu kan tidak betul, ya harus kita hadapi dulu," katanya. Jadi intinya jika kita diberi wewenang, maka kita ingin diberi senjata untuk menjalankan wewenang itu. Hanya saja, agar penggunaan wewenang itu tidak disalahgunakan, maka perlu dibuat rambu-rambu," kata Panglima TNI.

Menjawab pertanyaan apakah dengan adanya RUU TNI itu, ada kemungkinan TNI kembali ke kancah politik, Jenderal TNI Endriartono Sutarto tidak melihat ada nuansa politik dalam RUU tersebut. "Nuansa politiknya di mana? Saya nggak paham," ucapnya sembari membacakan RUU tersebut.

Panglima TNI optimis RUU itu bisa disahkan menjadi UU tahun 2003 ini.(be)

Mantan KABAIS: Pencapresan Prabowo Disandera Masalah HAM

“Pak Prabowo masih tetap tersandera, tertuduh sebagai dalang penghilangan ke 13 orang ini disebabkan masyarakat hanya melihat bahwa ada orang-orang yang ditangkap dan pelakunya adalah anggota Kopassus,” kata Laksda (Purn) TNI Soleman B. Ponto.
JAKARTA, Jaringnews.com – Langkah pencapresan Letjen (Purn) TNI, Prabowo Subianto, tidak dapat menghindari tersandera oleh masalah Hak Asasi Manusia (HAM) apabila mantan bawahannya, Mayjen (Purn) TNI, Kivlan Zen, tidak mau mengungkap informasi penculikan 13 aktivis yang ia klaim  dimilikinya secara lengkap.
Kendati anak buahnya mengatakan isu pelanggaran HAM capres dari Partai Gerindra itu selalu diungkit seperti didaur ulang, Prabowo tak dapat berkelit sepanjang pelanggaran tersebut tidak dijelaskan secara tuntas, apalagi berbagai informasi baru terungkap sejak pengakuan Kivlan Zen mencuat menjadi wacana publik.
Hal ini dikatakan oleh Mantan Kepala Badan Intelijen Strategis (BAIS), Laksda Soleman B. Ponto, menanggapi pengakuan Kivlan Zen dalam acara debat di TV One pada 28 April lalu, yang telah memunculkan reaksi luas, terutama dari kalangan keluarga korban penculikan.
Kivlan Zen dalam debat yang disiarkan secara langsung itu membela mantan atasannya yang kini dicalonkan oleh Partai Gerindra sebagai presiden pada Pilpres mendatang, dengan mengatakan bahwa selain penculikan yang dilakukan oleh Tim Mawar, ada operasi penculikan lain yang dilakukan oleh tim yang merupakan pesaing Prabowo.
Kivlan Zen menegaskan Tim Mawar yang beranggotakan personil Kopassus, kesatuan yang kala itu dipimpin Prabowo, melakukan penculikan dalam rangka pengamanan menjelang Sidang Umum MPR. Dalam perjalanannya, sejuamlah korban yang diculik sudah dilepaskan, diantaranya Desmon dan Pius.
Namun, kata Kivlan, ada operasi penculikan lain yang menyebabkan 13 aktivis hilang, dibunuh dan dikuburkan. Kivlan Zen mengklaim mengetahui siapa saja 13 korban itu, mengetahui dimana dibunuh dan juga mengetahui dikuburkan. Kivlan mengatakan bersedia memberikan keterangan apabila Pemerintah membentuk panitia untuk mengungkap hal itu.
Soleman B. Ponto berpendapat pengakuan Kivlan membawa dimensi baru dalam kasus penculikan tersebut. Prabowo memang telah dihukum dan  karier militernya diakhiri  karena kasus penculikan yang dilakukan Tim Mawar.  Namun, tutur Ponto yang rajin menuangkan gagasan-gagasannya dalam berbagai tulisan di media massa, Prabowo tetap disandera masalah HAM apabila kasus penculikan dengan dimensi baru itu tidak dituntaskan.
“Pak Prabowo masih tetap tersandera, tertuduh sebagai dalang penghilangan ke 13 orang ini disebabkan masyarakat hanya melihat bahwa ada orang-orang yang ditangkap (Tim Mawar), kemudian sembilan  orang sudah dilepaskan kembali, pelakunya adalah anggota Kopassus dimana Pak Prabowo sebagai komandan tertinggi di Kopasus saat itu,” tutur Ponto.
Penulis buku TNI dan Perdamaian di Aceh, ini menambahkan, banyak hal dari pernyataan Kivlan yang membawa implikasi baru. Dalam persidangan yang sudah berjalan, Tim Mawar mengaku bahwa kegiatan itu merupakan inisiatif sendiri dan Prabowo sama sekali tidak mengetahui dan tidak ada perintah atasan. “Dengan adanya pernyataan Pak Kivlan, maka situasinya jadi berbeda.   Dari pernyataan ini tersirat adanya operasi yang dilakukan oleh  Pak Prabowo, yang kemudian beberapa tangkapannya dilepaskan antara lain Desmond dan Pius. Dan, ternyata ada rencana operasi, berarti ada perintah atasan. Hanya belum jelas dari mana perintah operasi itu dikeluarkan atau siapa yang menandatangani perintah operasi itu,” tutur Ponto.
Ponto berpendapat selama masalah ini tidak dijelaskan secara tuntas, atau dilakukan investigasi dan pengadilan yang terbuka, masalah HAM akan terus membuntuti langkah Prabowo. “Kasus hilangnya 13 orang ini akan terus menerus didengungkan, seperti didaur ulang, sebagaimana dikatakan oleh  Pak Fadli Zon (Wakil Ketum Partai Gerindra),” kata Ponto lagi.
Idealnya, kata Ponto, masalah ini dituntaskan melalui pengadilan HAM. Sebab,  satu-satunya pengadilan di Indonesia yang dapat mengadili kasus pelanggaran HAM adalah Pengadilan HAM. “Apalagi,  penculikan termasuk dalam katagori Pelanggaran HAM yang berat,” kata dia.
Hanya saja, ia berpendapat dalam waktu dekat ini sangat sulit untuk melaksanakan Pengadilan HAM. Dengan demikian, selama tidak ada pengadilan tersebut, Prabowo tidak mungkin menghindar dari tersandera oleh masalah HAM yang akan terus disuarakan oleh para keluarga korban.
Ponto meminta Kivlan menolong mantan atasannya itu untuk membersihkan namanya yang sudah terlanjur dicap pelanggar HAM. “Untuk menghadapi Pilpres, Pak Prabowo akan sedikit tertolong apabila pak Kivlan berani mengungkapkan di media massa apa yang dia ketahui sesuai pernyatannya itu,” tutur Ponto.
(Hal/Ben)

Tidak ada komentar: