Jumat, 08 Maret 2013

ORANG TERKAYA INDONESIA 2012

1. R Budi Hartono (71 tahun).

 Pengusaha yang besar di bisnis  rokok ini berada berada di posisi 146 dunia. Budi Hartono mengantongi kekayaan hingga US$6,5 miliar (Rp58,5 triliun).  dia juga memiliki saham di bank swasta terbesar di Indonesia, PT Bank Central Asia Tbk. Duo Hartono juga memiliki Grand Indonesia, pusat perbelanjaan premium di Jakarta.





 
 2.  Michael Hartono (72 tahun).

Sama seperti saudaranya, Michael juga memperoleh kekayaan dari bisnis perbankan dan rokok dan dengan nilai US$6,3 miliar. Michael berada di posisi ke 157 daftar Forbes 2012.
Michael Bambang Hartono  adalah salah seorang pemilik perusahaan rokok kretek Indonesia, Djarum.
Michael dan adiknya, Robert Budi Hartono, mewarisi Djarum setelah ayah mereka, Oei Wie Gwan, meninggal pada tahun 1963. Oei Wie Gwan meninggal tidak lama setelah pabrik rokok Djarum terbakar habis.
Michael dan Robert bahu membahu mengibarkan bendera Djarum sampai ke luar negeri. Saat ini Djarum mendominasi pasar rokok kretek di Amerika Serikat, jauh melebihi Gudang Garam dan Sampoerna.
Pada 23 November 2011, Forbes merilis daftar orang terkaya di Indonesia, Robert Budi Hartono dan Michael Hartono menduduki peringkat pertama dengan total kekayaan 14 miliar dollar AS.
Selain industri rokok, saat ini Michael dan Robert merupakan pemegang saham terbesar dari Bank Central Asia (BCA). Mereka berdua melalui Farindo Holding Ltd. menguasai 51 persen saham BCA. Selain itu, mereka juga memiliki perkebunan sawit seluas 65.000 hektare di Kalimantan Barat sejak tahun 2008, serta sejumlah properti di antaranya pemilik Grand Indonesia dan perusahaan elektronik.

3. Low Tuck Kwong (63 tahun).

Pengusaha di bisnis pertambangan batu bara ini berada di peringkat 304 dunia dengan total kekayaan mencapai US$3,6 miliar. Satu lagi nama baru asal Indonesia yang mendadak mengejutkan tampil dalam jajaran orang kaya dunia. Dia adalah Low Tuck Kwong. Pria ini terlahir di Singapura serta ikut bisnis konstruksi orangtuanya hingga usia 20 tahun. Namun, kemudian pindah kewarganegaraan jadi warga Indonesia. Dia dikenal sebagai raja batu bara Kalimantan.

Low Tuck Kwong memulai bisnis di Indonesia pada 1973 ketika ia membentuk perusahaan konstruksi yang khusus menangani pekerjaan umum, konstruksi bawah tanah, hingga konstruksi di laut. Dalam perkembangannya, perusahaan konstruksi sipil ini kemudian mendapatkan kontrak batu bara pada 1988.

Lima tahun setelah berganti kewarganegaraan Indonesia, pada November 1997, Low Tuck mengakuisisi PT Gunung Bayan Pratamacoal dan PT Dermaga Perkasapratama yang memiliki tambang dan mengoperasikan terminal batu bara di Balikpapan sejak 1998.

Sejak itu, sejumlah konsesi baru diakuisisinya hingga resmi membentuk perusahaan induk yang dikenal dengan PT Bayan Resources. Sejak 2001, Bayan Group rata-rata menambah satu konsesi dalam portofolio perusahaan. Bahkan, Bayan terus mengevaluasi peluang untuk menambah konsesi batu bara di Indonesia.

Kalimantan dikenal sebagai pulau dengan areal hutan alam yang masih sangat luas. Namun, di wilayah ini pula banyak menyimpan cadangan batu bara. Melalui sejumlah perusahaan, Bayan Group memiliki hak eksklusif melalui lima kontrak pertambangan dan tiga kuasa pertambangan dari pemerintah Indonesia. Total konsesinya mencapai 81.265 hektare.

4. Martua Sitorus (52 tahun),

 pengusaha yang mengandalkan bisnis dari perkebunan kelapa sawit menduduki peringkat 377 Forbes 2012. Total kekayaan pengusaha pemilik bisnis Wilmar  ini mencapai US$3 miliar.
Bila tahun lalu dia menempati peringkat 522 terkaya di dunia dengan jumlah kekayaan US$ 1,4 miliar, kini kekayaan Martua meningkat menjadi US$ 3,0 miliar.
Martua sempat menyandang orang terkaya di Indonesia ke 7 pada 2007 dan ke 14 pada 2006 versi majalah yang sama. Meski berkebangsaan Indonesia, dia saat ini tinggal di Singapura sambil menyetir semua bisnis-bisnisnya.
Martua lahir 49 tahun lalu di Pematang Siantar, Sumatera Utara. Ia sarjana ekonomi dari Universitas HKBP Nommensen, Medan, yang kecilnya dikenal dengan nama Thio Seng Hap dan dikenal juga dengan panggilan A Hok.
Martua memulai karir bisnisnya sebagai pedagang minyak sawit dan kelapa sawit di Indonesia dan Singapura. Bisnisnya berkembang pesat. Pada 1991 Martua mampu memiliki kebun kelapa sawit sendiri seluas 7.100 hektar di Sumatera Utara. Pada tahun yang sama pula Martua bisa membangun pabrik pengolahan minyak kelapa sawit pertamanya.
Warga Batak keturunan Tionghoa kemudian melebarkan sayapnya dengan bendera Wilmar International Limited. Perusahaan agrobisnis terbesar di Asia ini merupakan perusahaan publik yang tercatat di Bursa Efek Singapura. Bahkan, untuk pabrik biodiesel, dia memiliki produksi terbesar di dunia. Meski sebagai pemilik, Martua masih menduduki jabatan direktur eksekutif di Wilmar.
Pembangunan biodiesel dilakukan di Riau pada 2007 dengan membangun tiga pabrik biodiesel, masing-masing memiliki kapasitas produksi 350.000 ton per tahun, sehingga total kapasitasnya 1,050 juta ton per tahun.
Di negeri ini, Wilmar memiliki sekitar 48 perusahaan. Salah satunya adalah PT Multimas Nabati Asahan, yang memproduksi minyak goreng bermerek Sania. Dalam laporan keuangan Wilmar, total aset Wilmar pada 2007 mencapai US$ 15,5 miliar, dengan pendapatan US$ 16,46 miliar. Pada tahun itu Wilmar juga bisa membukukan laba bersih US$ 675 juta

5. Sukanto Tanoto (62 tahun).


Pengusaha yang bergerak di berbagai aneka bisnis ini memiliki kekayaan hingga mencapai US$2,8 miliar. Dia ada di peringkat 418 dunia.
Raja Sawit dan Pulp
Pria kelahiran Belawan, Sumatera Utara, 25 Desember 1949, bernama asli Tan Kang Hoo, ini seorang pengusaha Indonesia Keturunan Tionghoa yang telah sukses berinvestasi di lebih 10 negara. Chairman dan CEO PT Raja Garuda Mas International dan Komisaris Utama PT Inti Indorayon Utama, ini salah satu raja produsen minyak kelapa sawit dan pulp and paper di dunia. Dalam kondisi sulit, saat pemerintah mengambil kebijakan menaikkan harga minyak lebih 100%, Sukanto mengajak semua komponen bangsa bisa bekerjasama dan fokus pada bidang masing-masing, terutama supaya lapangan kerja tetap tertangani. Pengusaha tetap fokus pada bidang usahanya dan pemerintah fakus mengupayakan efisiensi.
Perihal, dia telah lebih sering tinggal di luar negeri, bahkan membuat markas pusatnya di Singapura, Sukanto mengatakan bahwa hal itu bukan berarti pihaknya lari ke luar negeri, melainkan berupaya mengembangkan pasar sampai ke luar negeri.”Kita ingin buktikan bahwa pengusaha Indonedia tidak hanya jago kandang yang dapat fasilitas dari pemerintah. Tapi kami juga bisa menaklukkan dunia, dan kompetitor besar,” kata Sutanto .
Dia memberi contoh, seperti Jepang. Toyota cari pasar di Indonesia dengan assembling mobil. Apakah mereka itu lari ke Indonesia? Tidak, mereka cuma cari pasar di negeri ini.Jadi, katanya, kalau kita ekspansi ke luar negeri, bukan melarikan diri, tapi berupaya meraih yang lebih besar lagi dan siap dalam persaingan.

Tanoto dinyatakan sebagai orang terkaya di Indonesia oleh majalah Forbes pada September 2006.

Sukanto Tanoto mengaku sosoknya mirip ibunya: tegas dan keras. Pernah suatu ketika Sukanto kecil ngeluyur pergi ke tepi laut. Waktu pulang, ditanya oleh ibunya, jawabnya mengarang-ngarang, Sukanto kecil dipukuli pakai rotan. “Saya paling banyak makan rotan,” kenangnya tentang sosok sang ibu. Tapi, dengan sifat keras dan tegas, termasuk dalam hal berbisnis, ia bisa menjadi salah seorang pengusaha papan atas Indonesia, memimpin sejumlah perusahaan di bawah grup Raja Garuda Mas Internasional.
Sebenarnya, sejak kecil, Sukanto—yang pada usia 12 tahun sudah gemar membaca apa saja, termasuk buku tentang revolusi Amerika dan Perang Dunia—bercita-cita jadi dokter. “Kalau dulu saya meneruskan ke fakultas kedokteran, saya jadi dokter,” ujarnya. Karena obsesi itu, sampai 1973-1974, ia masih senang pakai nama dokter Sukanto.
Tapi, saat baru 18 tahun, ayahnya, Amin Tanoto, sakit stroke. Sulung dari tujuh bersaudara ini lalu mengambil alih tanggung jawab keluarga: meneruskan usaha orangtua berjualan minyak, bensin, dan peralatan mobil. Pekerjaan yang tak asing baginya karena sepulang sekolah ia biasa membantu orangtuanya sambil membaca buku. Dan, dari situ Sukanto alias Tan Kang Hoo pertama kali belajar keterampilan bisnis, termasuk menerima kenyataan dan tidak menyerah dalam keadaan apa pun, serta mencari solusi.
Pindah dari kota kelahirannya, Belawan, Sumatra Utara, ke Medan, ia juga berdagang onderdil mobil, lalu mengubah usaha itu menjadi general contractor & supplier. Suatu ketika, datang Sjam, seorang pejabat Pertamina dari Aceh. “Waktu itu saya tidak tahu kalau dia pejabat,” kenang Sukanto. Ditawari kerja sama pekerjaan kontraktor, “Ya, mau-mau saja, wong saya masih muda,” ujarnya. Tak disia-diakan kesempatan itu, di Pangkalan Brandan, Sumatra Utara, Sukanto membangun rumah, memasang AC, pipa, traktor, dan membuat lapangan golf di Prapat. “Itulah technical school saya,” katanya. Untuk mencari bahan bangunan, ia sampai pergi Sumbawa, Lampung, pada usia 20 tahun.
Pandai melihat peluang, waktu impor kayu lapis dari Singapura menghilang di pasaran, di Medan ia mendirikan perusahaan kayu, CV Karya Pelita, 1972. “Negara kita kaya kayu, mengapa kita mengimpor kayu lapis,” ujarnya. “Saya itu pioner,” katanya. Di saat orang lain belum membuat kayu lapis, ia memproduksi kayu lapis dan mengubah nama perusahaannya menjadi PT Raja Garuda Mas (RGM), dengan ia sebagai direktur utama, 1973. Kayu lapis bermerek Polyplex itu diimpor ke berbagai negara Pasaran Bersama Eropa, Inggris, dan Timur Tengah.
“Strategy competition saya itu satu dua step sebelum orang mengerjakannya,” ungkapnya. Ketika belum ada orang membuka perkebunan swasta besar-besaran, walaupun waktu itu sudah ada perkebunan asing, di Sumatra, Sukanto membuka perkebunan kelapa sawit secara besar-besaran.
“Setelah itu baru kita bikin Indorayon,” tuturnya. PT Inti Indorayon Utama (IIU) yang bergerak di bidang reforestation menghasilkan pulp, kertas, dan rayon, serta mampu memasok bibit unggul pohon pembuat pulp di dalam negeri. Kehadiran IIU sempat ditentang masyarakat dan aktivis lingkungan hidup. Karena, ditengarai, Danau Toba tercemar berat oleh limbah pulp. Akibatnya, IIU sempat ditutup.
Tapi, Sukanto memetik hikmahnya: belajar dari kesalahan, agar tidak mengulangi kesalahan yang sama. “Apa yang saya pelajari dari situ (Indorayon), lalu saya pakai di Riau,” ujarnya. Di Riau, ia membuka Hutan Tanaman Industri dan mendirikan pabrik pulp yang konon terbesar di dunia, PT Riau Pulp. Mulai berdiri 1995, karena krisis, baru jadi pada 2001. Di sekitar pabriknya, bersama lembaga swadaya masyarakat, Sukanto membuat program community development untuk penduduk setempat. “Saya tidak kasih ikan, tapi saya ajari mancing, itu yang kita kerjakan,” tuturnya. Antara lain, program community development: penggemukan sapi, pembangunan jalan, dan pertanian. “Mimpi saya, kalau saya dapat seratus pengusaha Riau itu jadi miliader, saya senang,” katanya lagi.
Usaha Sukanto yang lain adalah bank. Ketika United City Bank mengalami kesulitan keuangan, pada 1986-1987, ia mengambil alih mayoritas sahamnya dan bangkit dengan nama baru: Unibank. Di Medan, ia pun merambah bidang properti, dengan membangun Uni Plaza, kemudian Thamrin Plaza. Tidak hanya dalam negeri, ia melebarkan sayap ke luar negeri, dengan ikut memiliki perkebunan kelapa sawit National Development Corporation Guthrie di Mindanao, Filipina, dan electro Magnetic di Singapura, serta pabrik kertas di Cina (yang kini sudah dijual untuk memperbesar PT Riau Pulp). Sejak 1997, Sukanto memilih bermukim di Singapura bersama keluarga dan mengambil kantor pusat di negeri itu. Obsesinya, ingin jadi pengusaha Indonesia yang bersaing di arena global, minimal di Asia. Tujuan utamanya, menurut dia, “Bagaimana kita bisa memanfaatkan keunggulan kita, untuk bersaing, paling tidak di arena Asia.”
Kini, selain bisnis, ia hendak menulis buku tentang bagaimana entreprenur menghadapi krisis. “Yang mau saya lakukan itu adalah penelitian bagaimana pengusaha di Eropa itu survive, pada First World War, Second World War. Bagaimana pengusaha Amerika itu melewati krisis 1930. Bagaimana pengusaha-pengusaha di Cina, waktu perubahan rezim, ketika komunis masuk, bagaimana mereka itu survive. Saya juga akan mempelajari bagaimana pengusaha-pengusaha melalui Latin America krisis, yang di Brasil,” tuturnya. “Apa krisis itu memunculkan bibit-bibit entreprenur yang baru,” katanya lagi.
Sampai sekarang Sukanto masih hobi baca buku. Buku apa saja, baik yang bisnis maupun nonbisnis. “Setiap saya pergi, saya bawa buku,” katanya. “Kalau naik travel, kalau tidak tidur, ya, baca,” katanya lagi. Manfaatnya, menurut dia, selain untuk update pengetahuan, juga membantu sekali dalam binis dan kegiatan sosial sehari-hari. Satu lagi, pria yang menguasai dua bahasa asing, Cina dan Inggris, ini senang belajar. Ia pernah mengikuti kursus di Insead, Paris, di MIT, di samping tetap jadi peserta Lembaga Pendidikan dan Pemibinaan Manajemen, Jakarta. Sampai sekarang pun ia kadang mengambil cuti untuk mengikuti kursus pendek. “Karir saya satu lagi: siswa profesional abadi,” katanya. Dua-tiga minggu ia cuti untuk pergi ke Harvard, Tokyo, London School of Economic, untuk meng-update pengetahuan. Terakhir, 2001 lalu, ia mengikuti Wharton Fellows Program, Amerika, selama enam bulan, untuk belajar dotcom.
“Kalau di bisnis, kunci sukses saya: think, act, learn, baca, dengar, lihat,” katanya. “Kedua, kalau saya tidak tahu, saya tanya. Saya juga tidak merasa sungkan menceritakan kegagalan saya,” ujarnya lagi. Selain itu, pegangannya: do the right thing, do the thing right. Do the right thing diartikan sebagai suatu pedoman pada pola manajemen. Do the thing right memiliki penekanan terhadap pentingnya suatu action. “Prinsip saya, bisnis dan politik tak boleh campur,” ujar pengagum pengusaha plastik dari Taiwan, Wai-Sze Wang, ini. “Tidak ada proteksi. Bisnis, ya, bisnis,” katanya.
Menikah dengan Tinah Bingei Tanoto, Sukanto kini ayah empat anak. Ia memberi keleluasaan kepada anak-anaknya untuk memilih profesi. Olahraganya main snowski. Sukanto suka mendengarkan musik klasik yang ringan.

6. Peter Sondakh
  
Nama besar di jajaran taipan kaya asal Indonesia yang tetap bertahan di dunia adalah Peter Sondakh, bos Grup Rajawali. 
Daftar 1000 orang kaya dunia yang dirilis Forbes pekan ini menyebutkan Peter Sondakh berada di peringkat 437 dengan total kekayaan US$ 2,6 miliar. Posisi Peter Sondakh kali ini jauh melesat dari tahun lalu di posisi 701 dengan harta kekayaan sebanyak US$ 1 miliar.
Sebagai seorang taipan papan atas Indonesia, Peter bukan saja dikenal sebagai bos grup bisnis besar di negeri ini. Namun, pria berusia 58 tahun ini juga memiliki rumah mewah di Beverly Hills.
Grup bisnis Rajawali yang dikendalikannya bergerak di berbagai bidang, mulai dari propert, pertambangan dan perkebunan. Semula, grup bisnis ini juga berniat mengembangkan bisnis maskapai pesawat, namun dibatalkan karena  bisnis penerbangan saat ini sedang susah.
Sebelumnya, Grup Rajawali juga dikenal sebagai produsen rokok besar di Tanah Air lewat PT Bentoel Internasional. Namun, ia kemudian melepaskan 56,96 persen sahamnya di PT Bentoel Internasional Investama Tbk kepada British American Tobacco, produsen rokok terbesar kedua di dunia.
Dana hasil penjualan itu, Rajawali mengantongi dana segar Rp 3,35 triliun. Menurut eksekutif Grup Rajawali, Darjoto Setiawan, sebagian besar dana itu digunakan untuk investasi di bisnis tambang. Selain itu, akan digunakan untuk memperluas kebun sawit, serta mengembangkan sektor properti.
Bentoel didirikan pada 1930-an sebagai perusahaan rokok kretek keluarga. Pada 1950-an, perusahaan sudah menjadi pioner dalam proses pengolahan tembakau secara otomatis.

Pada 1991, Rajawali diminta oleh konsorsium kreditur Bentoel untuk mengambil alih manajemen dan membantu melakukan restrukturisasi. Rajawali membantu Bentoel melakukan transformasi dari perusahaan keluarga menjadi perusahaan modern.
Pada 2000, Bentoel menjadi perusahaan publik dan menjadi salah satu perusahaan rokok terbesar di Indonesia.

7. Achmad Hamami
Total kekayaan dari 40 miliarder itu mencapai US$85,1 miliar atau setara Rp765,9 triliun atau naik 19 persen dibanding tahun lalu yang mencapai US$71 miliar.

Achmad Hamami, adalah miliarder baru dengan kekayaan US$2,2 miliar dan berada di posisi 10 atau paling tinggi dibanding pendatang baru lainnya. Ia merupakan pemilik dari Tiara Marga Trakindo, distributor alat berat, Caterpillar di Indonesia sejak 1971.

Ternyata, seperti dikutip dari situs resmis trakindo.co.id, kekayaannya bukan hanya berasal dari bisnis alat-alat berat semata. Koceknya juga diraih dari bisnis pertambangan, industri teknologi dan informasi, sampai penjualan minyak pelumas atau oli.

8. Sri Prakash Lohia

 Keturunan India yang memilihh jadi warga negara Indonesia ini memiliki kekayaan US$2,0 miliar. Dia pun menjadi orang terkaya nomor enam.

Kekayaannya diperoleh dari Indorama Corporation, perusahaan polyster yang didirikan bersama ayahnya, ML Lohia. Indorama memulai usahanya dengan mendirikan pabrik benang pada 1976 di Indonesia.

Kini di tangan  Prakash, Grup Indorama kian menggurita. Produknya meliputi poliester, PET resin, polyethylene, polypropylene, kain, hingga sarung tangan medis. Pabriknya bertebaran di sepuluh negara dengan kontrol penuh dari Jakarta.

Grup Indorama saat ini menaungi sejumlah perusahaan. Usaha pembuatan bahan baku tekstil di bawah bendera PT Indorama Synthetics dan usaha petrokimia  di bawah PT Petrokimia Eleme.
Sedangkan usaha pembuatan benang pintal di bawah Indorama Iplik, ISIN Lanka, dan Indorama Shebin. Usaha di bidang sarung tangan medis dikelola Medisafe Technologies.
Sejak 1995, Indorama juga masuk pada bisnis pengembangan real estate melalui  Indorama Real Estate.

Pada 2008, Indorama Corp berinvestasi di Indorama Ventura PCL, perusahaan polyster terintegrasi terbesar dunia yang terdaftar di Bursa Efek Thailand.

9. Chairul Tanjung
Chairul Tanjung adalah bos Para Group yang kemudian menjadi CT Corp yang antara lain mengelola Bank Mega, Trans TV, Trans7 dan detik.com. Chairul Tanjung masuk dalam daftar orang terkaya ke-9 di Indonesia dengan kekayaan  US$2,0 miliar.
Dalam “Pesta Wirausaha 2012″, Ia bercerita mengenai ramalan dari pakar ekonomi dunia yang mengatakan bahwa pada tahun 2050, pusat bisnis tidak lagi berada di Eropa, Amerika dan sekitarnya, melainkan ada di Asia. Tetapi Ia berpendapat gesernya perkenomian dunia akan terjadi lebih cepat dari ramalan.

 
 
10.  Kiki Barki

  pengusaha tambang batu bara yang mengendalikan perusahaan PT Harum Energy Tbk.

Kiki yang kini berusia 71 tahun mengoleksi kekayaan senilai US$1,7 miliar atau sekitar Rp15,3 triliun. Melalui bisnisnya di industri tambang batu bara itu, Kiki sukses membawa perusahaannya mencatatkan sahamnya (listing) di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada awal Oktober 2010.

Saat penawaran umum perdana (initial public offering/IPO) dengan melepas 500 juta saham pada harga Rp5.200 per unit, perseroan mampu meraup dana segar Rp1,04 triliun. Harum Energy yang merupakan perusahaan grup Tanito Coal itu kini masuk salah satu produsen batu bara terbesar di Indonesia.

Hingga akhir tahun ini, perseroan menargetkan produksi 7,4 juta ton batu bara. Selama 2009, perseroan mencatatkan pendapatan Rp4,6 triliun atau meningkat 75 persen dibandingkan tahun sebelumnya Rp2,5 triliun. Laba bersih juga naik lebih dari lima kali lipat menjadi Rp767,5 miliar dari posisi tahun sebelumnya yang hanya Rp120,4 miliar.

Saham perseroan yang diperdagangkan di BEI telah melonjak 41 persen sejak IPO.  Pada penutupan perdagangan kemarin, Kamis 2 Desember 2010, harga saham Harum Energy telah bertengger di posisi Rp7.350 dibandingkan saat IPO di level Rp5.200. Nilai kapitalisasi pasar Harum Energy pun meroket menjadi Rp19,84 triliun.

Kiki Barki saat ini masih mempertahankan kepemilikan mayoritas di perusahaan yang dijalankan putranya Lawrence Barki, presiden komisaris di Harum Energy
sumber :
http://dewaduwi.blogspot.com/2012/03/10-orang-terkaya-indonesia.html

Tidak ada komentar: