Kamis, 07 November 2013

PRABOWO-WIRANTO DAN PREMAN, PERCAYA ATAU TIDAK?

Prabowo-Wiranto dibalik Konflik Islam-Kristen. 



Kerusuhan di Ambon telah menelan ribuan korban jiwa. Tragedi ini adalah tragedi kemanusiaan terbesar dalam sejarah di negeri zamrud khatulistiwa ini. Banyak orang bilang kerusuhan itu adalah perang antara Kristen dan Islam di Ambon. Anda salah besar. Kerusuhan itu dipicu dan dipelihara oleh sejumlah tokoh militer dan elit politik di Jakarta untuk melindungi kepentingan mereka.

Ale Rasa Beta Rasa, Torang Samua Basudara

Tersebutlah seorang preman Ambon beragama Kristen di Jakarta yang bernama Onkie Piters. Ia adalah sosok yang sangat dihormati para preman Ambon di Jakarta, tak perduli apapun agama mereka, Kristen maupun Islam. Mereka dikenal sangat erat kekerabatan tali persaudaraan diantara mereka. Mereka menghormati tradisi Pela Gandong, yaitu tradisi ikatan darah antara Kristen dan Islam di Ambon.

Ketika berkelahi dan bikin ribut di jalanan Jakarta, mereka memakai ikat kepala merah dan putih, yang merupakan simbol ke-ambon-an mereka. Namun lambat laun makna simbol itu disetting sedemikian rupa oleh para penguasa militer dan elit politik di Jakarta, ikat kepala merah sebagai simbol Ambon Kristen, ikat kepala putih sebagai simbol Ambon Islam. Ibu Pertiwi menangis pilu, merah putihnya dicabik-cabik anak-anaknya sendiri seperti serigala yangmemperkosanya bertubi-tubi.

Lalu muncul sosok preman Ambon lainnya yang juga disegani dikalangan para preman Ambon di Jakarta, yaitu Milton Matuanakotta. Ia turun ke tengah-tengah gelanggang dunia persilatan preman di Jakarta dengan gagah perkasa, penuh kharisma dan berwibawa. Ia memiliki banyak pendukung di kalangan Ambon Kristen maupun Muslim. Dengan cepat ia menjadi populer di Jakarta.

Seiring dengan munculnya Milton Matuanakotta, disaat yang bersamaan melejit pula Dedy Hamdun, seorang Ambon keturunan Arab, suami Eva Arnaz, mantan artis film panas layar lebar yang punya paha mulus dan montok itu. Deddy Hamdun ini selain aktif di PPP, ia juga tangan kanannya Ibnu Hartomo, adik ipar Presiden Soeharto. Sepak terjangnya di dunia premanisme di Jakarta lebih fokus ke pembebasan tanah milik bisnis properti Ibnu Hartomo.

Rancangan Iblis

Awal mula kerusuhan Ambon dimulai dengan penculikan Deddy Hamdun ini. Deddy Hamdun diculik oleh satu regu Kopassus bernama Tim Mawar di bawah komando Jenderal Prabowo Subianto, menantu Presiden Soeharto saat itu.

Raibnya Deddy Hamdun dari peredaran dunia preman Ambon di Jakarta telah secara significant mengubah struktur peta dunia preman Ambon di Jakarta yang disetting oleh jaringan Militer di Indonesia untuk menyulut suatu konspirasi yang berujung pada kerusuhan Ambon yang meluas.

Maka dimunculkanlah Ongen Sangaji, seorang preman Ambon Muslim yang kala itu hanya sebagai anggota biasa Pemuda Pancasila. Ongen pada saat itu lagi semangat-semangatnya ingin mendapatkan akses ke anak-anak Soeharto.

Berbeda dengan Ongen, Milton (yang akhirnya bertobat melayani Tuhan dengan menjadi Pendeta), sudah lebih dahulu memperoleh akses ke anak-anak Soeharto melalui Yorris Raweyai yang dekat dengan Bambang Trihatmodo, putra Presiden Soeharto.

Selain itu, Milton ini juga adalah ipar Tinton Soeprapto, sedangkan Ongen kapasitasnya baru sebatas kenal dengan Siti Hardiyanti Rukmana, itu pun melalui Abdul Gafur, mantan Menpora di jaman Soeharto itu.

Menjelang Sidang Istimewa MPR di tahun 1998 yang silam, Wiranto memakai Ongen Sangaji untuk merekrut preman-preman Ambon Muslim untuk dijadikan Kelompok Pam Swakarsa, dengan dalih untuk pengamanan Sidang Istimewa. Dukungan keuangan untuk kelompok Ongen ini didukung juga oleh keluarga Cendana dan Fadel Muhammad. Selain itu, Ongen juga mendapat dukungan penuh dari Mayjen Kivlan Zein, Abdul Gafur, dan Pangdam Jaya Mayjen Djadja Suparman kala itu.

Untuk meningkatkan adrenalin para preman Ambon Muslim itu, mereka didoktrin oleh Wiranto bahwa dibalik aksi para aktivis mahasiswa, banyak pengusaha Kristen yang urun peran. Mereka dicuci otak bahwa yang mereka hadapi adalah orang kafir yang harus dilawan sebisa mungkin.

Itulah sebabnya sangat sering sekali terjadi bentrokan antara kelompok Ongen dengan para mahasiswa Universitas Kristen Indonesia, dan Universitas Katolik Atmajaya. Ketika pecah kerusuhan Semanggi, empat orang anak buah Ongen Sangaji dibunuh oleh penduduk setempat yang melindungi para mahasiswa aktifis reformasi itu dari serangan brutal kelompok preman Ongen Sangaji.

Maka terbukalah celah peluang yang lebar bagi militer untuk menghasut preman-preman Ambon Islam itu agar segera melakukan balas dendam. Yang konyolnya, aksi balas dendam disetting sedemikian rupa oleh para petinggi Militer ditujukan bukan kepada para aktivis mahasiswa, akan tetapi terhadap preman Ambon yang beragama Kristen.

Amarah Itu Seperti Setan yang Berdiri Mengangkang

Kerusuhan awal dimulai dari Tragedi Ketapang, Jakarta Pusat. Kerusuhan itu berlangsung dalam kurun waktu dua hari berturut-turut. Kerusuhan itu lalu meluas dan berkembang menjadi kerusuhan anti Kristen di Jakarta, dimana puluhan gereja dihancurkan, dan aksi sweeping terhadap orang-orang Indonesia timur dengan gencar dilakukan oleh warga yang mayoritas beragama Muslim.

Aksi balas dendam pun dilakukan, puluhan Masjid diserang orang bayaran tak dikenal, kaca-kacanya dihancurkan. Maka timbulah api dalam bara yang panas mencekam memicu perseteruan antar kedua agama itu.

Dilain pihak, kerusuhan Ketapang justru memperkuat pusat perjudian di Jakarta yang dikelola oleh Tomy Winata, bisnis partnernya Bambang Trihatmodjo, dan teman dekat Yorris Raweyai itu.

Penduduk setempat yang marah menyerang semua orang-orang yang berkulit hitam dan berambut keriting dengan bala bantuan dari anggota Front Pembela Islam yang berdatangan dari keempat penjuru angin di Jakarta. Aksi kerusuhan di Ketapang itu bukan hanya meluas di seantero Jakarta, akan tetapi juga berimbas ke kampung halaman para preman itu di Ambon. Disana, mereka saling balas dendam dan saling serang satu sama lain. Banyak orang dan rakyat jelata di Ambon yang tewas bersimbah darah.

Dengan menggunakan kerusuhan Ketapang sebagai dalih, aparat keamanan di Jakarta lalu menangkap semua orang Ambon yang tak punya KTP Jakarta, dan memulangkan mereka ke Ambon dengan menggunakan kapal PELNI.

Dalam aksi pemulangan preman ke daerah asal mereka di Ambon, Ongen Sangaji, Milton Matuanakotta, dan Sadrakh Mustamu dikirim ke Ambon dengan misi terselubung untuk menyulut agar berkobar kerusuhan di sana. Setibanya mereka di Ambon, kerusuhan pun pecah tak terelakkan. Ribuan nyawa melayang sia-sia.

Di Ambon sendiri, saat itu dunia preman disana dikuasai oleh Berty Loupati dan Agus Wattimena. Agus Wattimena ini adalah seorang Penatua Gereja (pengurus Majelis Gereja) yang gemar berkelahi. Untuk memicu perseteruan, Berty didekati oleh penguasa Militer dari Jakarta dengan sokongan dana dan bantuan logistik untuk menyulut konflik yang lebih luas.

Agus Wattimena yang tak tahu menahu ada permainan cantik itu pun lalu terpancing. Ia mendirikan Laskar Kristus, khusus dibentuk hanya untuk berperang melawan Ambon-ambon islam serta Laskar Jihad yang didatangkan dari pulau Jawa. Semua anak buah Agus Watimenna punya pistol Colt kaliber 45.

Selain mendirikan Laskar Kristus, Agus Wattimena juga membentuk Front Kedaulatan Maluku, yang diresmikan oleh Alex Manuputty. Dengan bantuan Militer, Agus Wattimena akhirnya tewas mengenaskan ditembak Berty Loupatty dengan dua lubang tembakan di keningnya. Kematiannya bukan hanya diperingati di kota Ambon, akan tetapi juga oleh mayoritas masyarakat Ambon Kristen di Jakarta, yang juga dihadiri oleh sejumlah artis terkenal asal tanah Maluku.

Dengan kematian Agus Watimenna, Ongen Sangaji dan Milton Matuanakotta pun bersembunyi untuk menghindar dari kemurkaan masyarakat Ambon. Milton menghilang, sedangkan Ongen disembunyikan oleh Wiranto.

Ketika tingkat kebencian antar agama di Ambon belum mencapai klimaksnya, maka operasi intelijen disusun dan rencanakan secara cermat, rapih, dan sistematis untuk mengkondisikan kedua komunitas itu saling baku bunuh satu sama lain.

Selebaran-selebaran provokasi penghinaan kepada kedua agama lalu disebarkan secara siluman di kalangan kaum Kristen dan Muslim di Ambon. Isi selebaran-selebaran itu isinya himbauan Perang Salib kepada semua orang Kristen di Ambon agar membinasakan semua orang Muslim disana. Selebaran gelap itu ditandatangani dengan tandatangan palsu oleh para Dewan Gereja di Ambon yang tak tahu menahu mengenai pamflet-pamflet siluman itu.

Selebaran-selebaran ini dibuat oleh dedengkot militer yang paham betul temperamen keras masyarakat Maluku. Akibat dari selebaran tak bertanggungjawab itu, umat Islam di Jakarta pun tersulut emosinya dan marah besar. Seruan jihad pun dikumandangkan dalam tablig akbar di lapangan Monas agar segera berangkat ke Ambon untuk jihad.

Tabligh akbar yang menyerukan agar orang Muslim berangkat perang jihad ke Ambon itu juga dihadiri oleh Amien Rais, Hamzah Haz, dan Fuad Bawazier. Keterlibatan mereka di tabligh akbar itu karena ada upaya mereka memanfaatkan situasi untuk menjungkalkan Presiden Gus Dur pada saat itu.

Jaringan militer lainnya yang menyulut adalah Kivlan Zein, A.M. Hendropriyono, Djadja Suparman, Suaidy Marasabessy, Sudi Silalahi, dan Abdul Gafur. Pendanaan untuk menyulut kerusuhan di Ambon diambil dari dana korupsi sebesar Rp 173 milyar di lingkungan yayasan-yayasan Kostrad ketika kesatuan militer elit itu masih berada di bawah cengkraman Djadja Suparman. Sebagian besar dana itu digunakan untuk membiayai pengiriman ribuan orang anggota Laskar Jihad ke Maluku.

Abdul Gafur, Akbar Tanjung, Hendropriyono, dan Feisal Tanjung adalah orang-orang yang ikut terlibat aktif dalam tragedi Maluku. Mereka-mereka yang kala itu terkenal sebagai penjilat pantat Soeharto dan keluarganya, punya kepentingan politik tersendiri dengan memanfaatkan tragedi berdarah itu.
 — with Steven J M.
sumber: 
https://www.facebook.com/photo.php?fbid=10151762585623590&set=a.175786858589.124570.93000193589&type=1

Tidak ada komentar: