Isu Kudeta Prabowo 2
Reporter :
Mardani | Kamis, 24 Oktober 2013 02:03
Isu kudeta Prabowo. ©2013 Merdeka.com
Merdeka.com - Pergantian pucuk pimpinan negara dari Presiden
Soeharto kepada
Habibie berujung pada pencopotan Letjen
Prabowo Subianto dari posisi Pangkostrad. Saat itu, 22 Mei 1998,
Habibie
yang baru satu hari dilantik menjadi Presiden RI memiliki segudang
masalah untuk diselesaikan, utamanya adalah ekonomi dan keamanan.
Kondisi
Ibu Kota Jakarta saat itu mencekam dan tidak menentu. Bahkan,
pengerahan pasukan militer saat itu seakan kurang terkoordinasi.
Saat baru tiba di Istana Negara, Presiden
Habibie mendapat laporan dari Menhankam/Panglima ABRI Jenderal
Wiranto soal adanya pergerakan pasukan Kostrad dari luar daerah menuju Jakarta. Bahkan, Jenderal
Wiranto dalam laporannya saat itu menyatakan ada konsentrasi pasukan tak dikenal kediaman Presiden
Habibie di Patra Kuningan, Jakarta dan di Istana Merdeka.
"Dari
laporan tersebut, saya berkesimpulan bahwa Pangkostrad (Letjen Prabowo
Subianto) bergerak sendiri tanpa sepengetahuan Pangab (Jenderal
Wiranto)," kata
Habibie dalam buku 'Detik-detik yang menentukan' karya Bacharuddin Jusuf Habibie, terbitan THC Mandiri.
Habibie
sontak terkejut mendengar laporan tersebut. Dalam benaknya muncul
berbagai pertanyaan dan praduga. Tak butuh waktu lama, Habibie saat itu
juga langsung memerintahkan Jenderal
Wiranto untuk mencopot Letjen Prabowo dari posisi Pangkostrad, sebelum matahari tenggelam.
"Sebelum
matahari terbenam, Pangkostrad harus sudah diganti dan kepada
penggantinya diperintahkan agar semua pasukan di bawah komando
Pangkostrad harus segera kembali ke basis kesatuan masing-masing," kata
Habibie.
Jenderal
Wiranto
lantas melaporkan kepada Presiden Habibie bahwa sang istri, Ainun
Habibie, beserta anak dan cucu telah diamankan prajurit ABRI menuju
Wisma Negara. Hal itu dilakukan untuk menjamin keamanan keluarga
presiden karena banyaknya pasukan tak dikenal yang berkeliaran kala itu.
"Saya
bertanya kepada diri saya, 'Mengapa keluarga saya harus dikumpulkan di
satu tempat? Apakah tidak lebih aman jikalau anak-anak dan cucu-cucu
saya tinggal di tempatnya masing-masing dan dilindungi oleh Pasukan
Keamanan Presiden? Mengapa harus dikumpulkan di satu tempat," kata
Habibie dalam hati.
Selang berapa jam kemudian, Letjen Prabowo datang menemui Presiden
Habibie di Istana Negara. Prabowo menanyakan soal pencopotannya.
Dalam pertemuan itu, Presiden
Habibie menanyakan soal pergerakan pasukan dari luar Jakarta menuju Istana Merdeka dan Kediamannya.
"Saya bermaksud untuk mengamankan presiden," jawab Prabowo.
Namun jawaban Prabowo itu dibantah Presiden
Habibie . Menurutnya, keamanan presiden menjadi tanggung jawab Paspampres, bukan Kostrad.
Presiden pun menolak permintaan Prabowo untuk menunda pencopotannya. Dalam bukunya,
Habibie
menyatakan alasan pencopotan dikarenakan pengerahan pasukan dari daerah
menuju Jakarta yang dilakukan Letjen Prabowo tanpa koordinasi dengan
Menhankam/Pangab Jenderal
Wiranto
. Hal itu sangat tidak baik saat itu, karena di saat kondisi Republik
yang masih genting, perbuatan Prabowo itu dapat mempengaruhi komandan
lain untuk berbuat sendiri-sendiri, tanpa koordinasi.
"Bukankah
kemarin pagi tanggal 20 Mei 1998 saya telah sampaikan kepada Pangab
bahwa saya tidak akan menerima kepala staf angkatan termasuk Pangkostrad
sendiri-sendiri tanpa sepengetahuan atau permohonan Pangab? Ini berarti
gerakan pasukan dari Kostrad tanpa sepengetahuan Pangab tidak boleh
saya tolerir," kata
Habibie .
Sementara itu, berdasarkan kesaksian penasihat militer Presiden
Habibie , Letjen (Purn) Sintong Panjaitan, situasi di jalan depan rumah
Habibie
di Patra Kuningan saat itu sangat sumpek karena banyaknya prajurit
ABRI. Anggota Kopassus dan Paspampres kala itu berjubel di jalan yang
lebarnya hanya sekitar 6 m.
Saat itu Paspampres meminta agar
personel Kopassus mundur dari area kediaman Presiden Habibie. Namun,
personel korps baret merah itu menolak. Mereka hanya mau pindah jika
mendapat perintah langsung dari komandannya yang saat itu adalah Danjen
Kopassus Mayjen Muchdi PR. Saat itu mereka hanya menuruti perintah agar
mengamankan presiden.
Paspampres yang kala itu di bawah komando
Mayjen TNI Endriartono Sutarto pun gusar. Pasalnya, saat itu mereka
hanya dibekali peluru hampa. Sementara, personel Kopassus saat itu
dilengkapi peluru tajam. Mayjen Endriartono kemudian menghubungi Letjen
Sintong Panjaitan meminta agar segera dikirimkan peluru tajam.
Letjen
Sintong kemudian menghubungi bekas anak buahnya yang saat itu menjabat
sebagai Wadanjen Kopassus Brigjen Idris Gasing. Letjen Sintong meminta
agar Brigjen Idris segera menarik pasukannya dari kediaman Presiden
Habibie.
"Gasing coba perbaiki dulu posisi pasukanmu. Pasukan
yang di sini tarik ke sana dan yang di sini tarik ke situ. Kalau perlu
adakan koordinasi dengan Kodam Jaya agar semua dapat berjalan lancar,"
kata Letjen Sintong dalam buku 'Perjalanan Seorang Prajurit PARA
KOMANDO' terbitan Kompas.
Brigjen Gasing lantas bertanya situasi
saat itu. "Komandanmu (Mayjen Muchdi PR) sedang sibuk menghadapi
penggantian jabatan. Tarik pasukanmu malam ini juga. Kalau terjadi
apa-apa, nanti kau yang disalahkan," jawab Letjen Sintong.
Brigjen
Gasing lantas melaksanakan perintah Letjen Sintong. Dia langsung
berkoordinasi dengan Panglima Kodam Jaya, Mayjen TNI Sjafrie
Sjamsoeddin. Akhirnya, sebagian personel Kopassus itu ditarik kembali ke
Serang, Jawa Barat dan sebagian lagi ke Kartosuro, Jawa Tengah.