Kamis, 13 Maret 2014 | 09:28 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com —
Saat berkampanye dalam pemilihan gubernur DKI Jakarta tahun 2012, Joko
Widodo alias Jokowi berjanji akan memimpin Jakarta selama lima tahun
jika terpilih menjadi gubernur. Kini, belum satu setengah tahun berlalu,
janji Jokowi itu dipertanyakan. Akankah Jokowi setia kepada warga
Jakarta? Atau Jokowi tergoda maju di Pemilihan Presiden dan Wakil
Presiden 2014?
Jokowi mulai jadi buah bibir media
massa nasional dan publik di Indonesia saat menjadi Wali Kota Surakarta
alias Solo, terutama ketika membawa mobil Esemka ke Jakarta untuk diuji
emisi, Januari 2012.
Partai
Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) lalu mengusung Jokowi menjadi
calon gubernur DKI. Ia disandingkan dengan Basuki Tjahaja Purnama alias
Ahok yang diusung Partai Gerindra.
Berbagai
janji disampaikan Jokowi untuk memikat hati warga Jakarta agar
memilihnya pada Pilgub DKI Jakarta, Juli 2012, dan diulangi pada putaran
kedua, September 2012. Selain janji menciptakan Jakarta baru, Jokowi
juga berjanji akan memimpin Jakarta selama lima tahun. Dia berkomitmen
tidak akan menjadi "kutu loncat" dengan mengikuti Pilpres 2014.
Janji
itu diucapkannya, barangkali untuk menjawab keraguan atas kesetiannya
menjalani amanah yang diberikan warga Jakarta. Pasalnya, ketika terpilih
menjadi DKI 1, Jokowi juga belum menyelesaikan masa jabatannya sebagai
Wali Kota Solo. Jokowi tidak menuntaskan jabatannya hingga 2015.
Jokowi makin merebut hati rakyat ketika sering turun ke bawah selama membenahi Jakarta, istilahnya blusukan. Bahkan, masuk ke gorong-gorong pun dilakukannya. Aksinya itu kerap dipublikasi media massa nasional. Blusukan dianggap penting untuk mengontrol kerja jajarannya.
Jokowi bukan hanya membuat mayoritas
warga Jakarta semakin jatuh cinta, tetapi juga warga kota lain. Bahkan,
mereka yang mengkritik Jokowi pasti di-bully, terutama di media
sosial. Contohnya, tokoh reformasi Amien Rais dan Menteri Dalam Negeri
Gamawan Fauzi menjadi "korban" serangan publik.
Desakan jadi capres
Perlahan
tetapi pasti, popularitas dan elektabilitas Jokowi terus menanjak.
Medio 2013, wacana Jokowi menjadi capres mencuat. Ketika ditanya soal
pencapresan, ia mengaku tak berpikir. Ditanya pada kesempatan lain,
jawabannya selalu sama. "Copras, capres," jawaban yang kerap dilontarkan Jokowi untuk mengelak.
Namun, ketika Pemilu 2014 semakin
dekat, meski tidak tersurat, sinyal pencapresan Jokowi semakin kuat.
Peneliti Saiful Mujani Research and Counsulting Sirojuddin Abbas
mengatakan, banyak sinyal yang menunjukkan Jokowi akan maju di Pilpres
2014. Jokowi kerap dibawa Ketua Umum DPP PDI Perjuangan Megawati
Soekarnoputri ketika berkunjung ke daerah. Sinyal paling anyar saat
Jokowi menyelipkan kalimat "titip Jakarta" ketika memberi pengarahan kepada ratusan pejabat eselon III dan IV Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan diajak Megawati mengunjungi makam Soekarno di Blitar, Jawa Timur, Rabu (12/3/2014).
Apakah etis jika Jokowi maju dalam pilpres? “Dalam politik tidak ada yang etis. Orang terkadang pragmatis dalam artian, lihat opportunity yang praktis dan terukur soal itu,” jawab Sirojuddin.
Menurut
Sirojuddin, bagi PDI-P, Pemilu 2014 adalah momentum yang paling tepat
untuk menjadikan Jokowi senjata pamungkas agar bisa kembali berkuasa.
Momentum dan kesempatan yang sama belum tentu terulang pada pesta
demokrasi lima tahun mendatang. “Dia (PDI-P) bosan juga jadi oposisi,”
katanya.
Lalu,
bagaimana dengan janji Jokowi kepada warga Jakarta? Ketua Populi Center
Nico Harjanto mengatakan, Jokowi tetap bisa memenuhi janjinya dengan
menjadi presiden lantaran banyak kebijakan strategis pemerintah pusat
yang langsung berpengaruh pada Ibu Kota.
“Karena bukan provinsi itu saja yang bisa diperbaiki, tapi juga seluruh negara,” katanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar