Pro Jokowi (Projo) Siap Bisa Jadi Parpol
Oleh : - | Minggu, 1 Februari 2015 | 21:28 WIB
Berita Terkait
INILAHCOM,
Solo - Ketua Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Organisasi Massa Pro Jokowi
(Projo) Solo Sugeng Setyadi mengatakan organisasi yang dipimpinnya siap
berubah menjadi partai politik apabila dikehendaki. Hanya saja,
perubahan bentuk tersebut harus seizin dari Dewan Pembina yang juga
Presiden RI, Joko Widodo.
Projo akan tetap konsisten dalam mendukung Jokowi hingga akhir masa jabatannya habis, kata Sugeng Setyadi di sela-sela pelantikan pengurus Pimpinan Anak Cabang (PAC) se-Solo di Joglo Sriwedari, Solo, Minggu (1/2/2015).
"Ya kami siap untuk mendukung Jokowi hingga 2019. Kalau memang Ketua Dewan Pembina ada perubahan ke Parpol, kami siap juga tidak ada masalah," katanya.
Ia mengatakan baginya, apapun keputusan yang diambil Projo, harus dikomunikasikan dengan mantan Wali Kota Surakarta itu. Termasuk adanya instruksi dari pimpinan pusat untuk melakukan rekrutmen dan pembekalan bagi pengurus Projo hingga tingkat PAC atau kecamatan.
Dikatakan Projo Solo lahir pada 16 November 2014. Di usianya yang baru dua bulanan, Projo sudah memiliki sekitar 300-an anggota. "Kita kumpulkan dan beri pembekalan kepada kader-kader. Nah, kemarin yang ikut pembekalan, kami seleksi untuk menjadi pengurus PAC. Kepengurusan di tingkat kecamatan terdiri atas tujuh orang," katanya.
Meski demikian, Projo menyatakan tidak menutup mata dalam memberikan kritik bagi pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla (JK). Salah satunya saat Jokowi memutuskan untuk menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi. "Di internal sudah kami rapatkan dan hasilnya memang kami mengkritisi kebijakan Jokowi," tegasnya.
Kritik tersebut, lanjut dia, merupakan penyeimbang bagi pemerintahan Jokowi-JK. Namun, secara umum pihaknya menyatakan siap berada di barisan terdepan dalam mendukung Jokowi.
Disinggung mengenai isu penarikan dukungan dari partai koalisi, Sugeng menegaskan Projo Solo tidak akan pernah meninggalkan Presiden ketujuh itu. "Kami siap dan sampai kapan pun berada di belakang Pak Jokowi," katanya. [tar]
Projo akan tetap konsisten dalam mendukung Jokowi hingga akhir masa jabatannya habis, kata Sugeng Setyadi di sela-sela pelantikan pengurus Pimpinan Anak Cabang (PAC) se-Solo di Joglo Sriwedari, Solo, Minggu (1/2/2015).
"Ya kami siap untuk mendukung Jokowi hingga 2019. Kalau memang Ketua Dewan Pembina ada perubahan ke Parpol, kami siap juga tidak ada masalah," katanya.
Ia mengatakan baginya, apapun keputusan yang diambil Projo, harus dikomunikasikan dengan mantan Wali Kota Surakarta itu. Termasuk adanya instruksi dari pimpinan pusat untuk melakukan rekrutmen dan pembekalan bagi pengurus Projo hingga tingkat PAC atau kecamatan.
Dikatakan Projo Solo lahir pada 16 November 2014. Di usianya yang baru dua bulanan, Projo sudah memiliki sekitar 300-an anggota. "Kita kumpulkan dan beri pembekalan kepada kader-kader. Nah, kemarin yang ikut pembekalan, kami seleksi untuk menjadi pengurus PAC. Kepengurusan di tingkat kecamatan terdiri atas tujuh orang," katanya.
Meski demikian, Projo menyatakan tidak menutup mata dalam memberikan kritik bagi pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla (JK). Salah satunya saat Jokowi memutuskan untuk menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi. "Di internal sudah kami rapatkan dan hasilnya memang kami mengkritisi kebijakan Jokowi," tegasnya.
Kritik tersebut, lanjut dia, merupakan penyeimbang bagi pemerintahan Jokowi-JK. Namun, secara umum pihaknya menyatakan siap berada di barisan terdepan dalam mendukung Jokowi.
Disinggung mengenai isu penarikan dukungan dari partai koalisi, Sugeng menegaskan Projo Solo tidak akan pernah meninggalkan Presiden ketujuh itu. "Kami siap dan sampai kapan pun berada di belakang Pak Jokowi," katanya. [tar]
13
12
0
0
0
Share
- See more at: http://nasional.inilah.com/read/detail/2174964/pro-jokowi-projo-siap-bisa-jadi-parpol#sthash.hyTVQx0d.dpuf
Pro Jokowi (Projo) Siap Bisa Jadi Parpol
Oleh : - | Minggu, 1 Februari 2015 | 21:28 WIB
Berita Terkait
INILAHCOM,
Solo - Ketua Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Organisasi Massa Pro Jokowi
(Projo) Solo Sugeng Setyadi mengatakan organisasi yang dipimpinnya siap
berubah menjadi partai politik apabila dikehendaki. Hanya saja,
perubahan bentuk tersebut harus seizin dari Dewan Pembina yang juga
Presiden RI, Joko Widodo.
Projo akan tetap konsisten dalam mendukung Jokowi hingga akhir masa jabatannya habis, kata Sugeng Setyadi di sela-sela pelantikan pengurus Pimpinan Anak Cabang (PAC) se-Solo di Joglo Sriwedari, Solo, Minggu (1/2/2015).
"Ya kami siap untuk mendukung Jokowi hingga 2019. Kalau memang Ketua Dewan Pembina ada perubahan ke Parpol, kami siap juga tidak ada masalah," katanya.
Ia mengatakan baginya, apapun keputusan yang diambil Projo, harus dikomunikasikan dengan mantan Wali Kota Surakarta itu. Termasuk adanya instruksi dari pimpinan pusat untuk melakukan rekrutmen dan pembekalan bagi pengurus Projo hingga tingkat PAC atau kecamatan.
Dikatakan Projo Solo lahir pada 16 November 2014. Di usianya yang baru dua bulanan, Projo sudah memiliki sekitar 300-an anggota. "Kita kumpulkan dan beri pembekalan kepada kader-kader. Nah, kemarin yang ikut pembekalan, kami seleksi untuk menjadi pengurus PAC. Kepengurusan di tingkat kecamatan terdiri atas tujuh orang," katanya.
Meski demikian, Projo menyatakan tidak menutup mata dalam memberikan kritik bagi pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla (JK). Salah satunya saat Jokowi memutuskan untuk menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi. "Di internal sudah kami rapatkan dan hasilnya memang kami mengkritisi kebijakan Jokowi," tegasnya.
Kritik tersebut, lanjut dia, merupakan penyeimbang bagi pemerintahan Jokowi-JK. Namun, secara umum pihaknya menyatakan siap berada di barisan terdepan dalam mendukung Jokowi.
Disinggung mengenai isu penarikan dukungan dari partai koalisi, Sugeng menegaskan Projo Solo tidak akan pernah meninggalkan Presiden ketujuh itu. "Kami siap dan sampai kapan pun berada di belakang Pak Jokowi," katanya. [tar]
Projo akan tetap konsisten dalam mendukung Jokowi hingga akhir masa jabatannya habis, kata Sugeng Setyadi di sela-sela pelantikan pengurus Pimpinan Anak Cabang (PAC) se-Solo di Joglo Sriwedari, Solo, Minggu (1/2/2015).
"Ya kami siap untuk mendukung Jokowi hingga 2019. Kalau memang Ketua Dewan Pembina ada perubahan ke Parpol, kami siap juga tidak ada masalah," katanya.
Ia mengatakan baginya, apapun keputusan yang diambil Projo, harus dikomunikasikan dengan mantan Wali Kota Surakarta itu. Termasuk adanya instruksi dari pimpinan pusat untuk melakukan rekrutmen dan pembekalan bagi pengurus Projo hingga tingkat PAC atau kecamatan.
Dikatakan Projo Solo lahir pada 16 November 2014. Di usianya yang baru dua bulanan, Projo sudah memiliki sekitar 300-an anggota. "Kita kumpulkan dan beri pembekalan kepada kader-kader. Nah, kemarin yang ikut pembekalan, kami seleksi untuk menjadi pengurus PAC. Kepengurusan di tingkat kecamatan terdiri atas tujuh orang," katanya.
Meski demikian, Projo menyatakan tidak menutup mata dalam memberikan kritik bagi pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla (JK). Salah satunya saat Jokowi memutuskan untuk menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi. "Di internal sudah kami rapatkan dan hasilnya memang kami mengkritisi kebijakan Jokowi," tegasnya.
Kritik tersebut, lanjut dia, merupakan penyeimbang bagi pemerintahan Jokowi-JK. Namun, secara umum pihaknya menyatakan siap berada di barisan terdepan dalam mendukung Jokowi.
Disinggung mengenai isu penarikan dukungan dari partai koalisi, Sugeng menegaskan Projo Solo tidak akan pernah meninggalkan Presiden ketujuh itu. "Kami siap dan sampai kapan pun berada di belakang Pak Jokowi," katanya. [tar]
13
12
0
0
0
Puan Maharani: Silakan
Jokowi Bikin Partai Baru
Pro
Jokowi (Projo) Siap Bisa Jadi Parpol
Oleh
: - | Minggu, 1 Februari 2015 | 21:28 WIB
INILAHCOM,
Solo - Ketua Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Organisasi Massa Pro Jokowi (Projo)
Solo Sugeng Setyadi mengatakan organisasi yang dipimpinnya siap berubah menjadi
partai politik apabila dikehendaki. Hanya saja, perubahan bentuk tersebut harus
seizin dari Dewan Pembina yang juga Presiden RI, Joko Widodo.
Projo akan tetap konsisten dalam mendukung Jokowi hingga akhir masa jabatannya habis, kata Sugeng Setyadi di sela-sela pelantikan pengurus Pimpinan Anak Cabang (PAC) se-Solo di Joglo Sriwedari, Solo, Minggu (1/2/2015).
"Ya kami siap untuk mendukung Jokowi hingga 2019. Kalau memang Ketua Dewan Pembina ada perubahan ke Parpol, kami siap juga tidak ada masalah," katanya.
Ia mengatakan baginya, apapun keputusan yang diambil Projo, harus dikomunikasikan dengan mantan Wali Kota Surakarta itu. Termasuk adanya instruksi dari pimpinan pusat untuk melakukan rekrutmen dan pembekalan bagi pengurus Projo hingga tingkat PAC atau kecamatan.
Dikatakan Projo Solo lahir pada 16 November 2014. Di usianya yang baru dua bulanan, Projo sudah memiliki sekitar 300-an anggota. "Kita kumpulkan dan beri pembekalan kepada kader-kader. Nah, kemarin yang ikut pembekalan, kami seleksi untuk menjadi pengurus PAC. Kepengurusan di tingkat kecamatan terdiri atas tujuh orang," katanya.
Meski demikian, Projo menyatakan tidak menutup mata dalam memberikan kritik bagi pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla (JK). Salah satunya saat Jokowi memutuskan untuk menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi. "Di internal sudah kami rapatkan dan hasilnya memang kami mengkritisi kebijakan Jokowi," tegasnya.
Kritik tersebut, lanjut dia, merupakan penyeimbang bagi pemerintahan Jokowi-JK. Namun, secara umum pihaknya menyatakan siap berada di barisan terdepan dalam mendukung Jokowi.
Disinggung mengenai isu penarikan dukungan dari partai koalisi, Sugeng menegaskan Projo Solo tidak akan pernah meninggalkan Presiden ketujuh itu. "Kami siap dan sampai kapan pun berada di belakang Pak Jokowi," katanya. [tar]
Projo akan tetap konsisten dalam mendukung Jokowi hingga akhir masa jabatannya habis, kata Sugeng Setyadi di sela-sela pelantikan pengurus Pimpinan Anak Cabang (PAC) se-Solo di Joglo Sriwedari, Solo, Minggu (1/2/2015).
"Ya kami siap untuk mendukung Jokowi hingga 2019. Kalau memang Ketua Dewan Pembina ada perubahan ke Parpol, kami siap juga tidak ada masalah," katanya.
Ia mengatakan baginya, apapun keputusan yang diambil Projo, harus dikomunikasikan dengan mantan Wali Kota Surakarta itu. Termasuk adanya instruksi dari pimpinan pusat untuk melakukan rekrutmen dan pembekalan bagi pengurus Projo hingga tingkat PAC atau kecamatan.
Dikatakan Projo Solo lahir pada 16 November 2014. Di usianya yang baru dua bulanan, Projo sudah memiliki sekitar 300-an anggota. "Kita kumpulkan dan beri pembekalan kepada kader-kader. Nah, kemarin yang ikut pembekalan, kami seleksi untuk menjadi pengurus PAC. Kepengurusan di tingkat kecamatan terdiri atas tujuh orang," katanya.
Meski demikian, Projo menyatakan tidak menutup mata dalam memberikan kritik bagi pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla (JK). Salah satunya saat Jokowi memutuskan untuk menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi. "Di internal sudah kami rapatkan dan hasilnya memang kami mengkritisi kebijakan Jokowi," tegasnya.
Kritik tersebut, lanjut dia, merupakan penyeimbang bagi pemerintahan Jokowi-JK. Namun, secara umum pihaknya menyatakan siap berada di barisan terdepan dalam mendukung Jokowi.
Disinggung mengenai isu penarikan dukungan dari partai koalisi, Sugeng menegaskan Projo Solo tidak akan pernah meninggalkan Presiden ketujuh itu. "Kami siap dan sampai kapan pun berada di belakang Pak Jokowi," katanya. [tar]
Presiden Joko Widodo bersama Kepala
BKPM Franky Sibarani (kiri) dan Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia
dan Kebudayaan, Puan Maharani (kanan) saat meresmikan ruang Pelayanan Terpadu
Satu Pintu (PTSP) Pusat di Gedung BKPM, Jakarta, 26 Januari 2015. TEMPO/Wisnu
Agung Prasetyo
TEMPO.CO, Jakarta -
Ketua DPP PDI Perjuangan nonaktif yang juga Menteri Koordinator Pembangunan
Manusia dan Kebudayaan, Puan Maharani, mempersilakan kader partainya, Presiden
Joko Widodo, jika ingin membuat partai baru. "(Membentuk partai) itu hak
politik tiap warga negara," kata Puan di Kompleks Parlemen, Selasa, 3
Februari 2015.
Hingga kini, Puan menilai Jokowi adalah kader sekaligus petugas partai. "Kalau ada massa dan nama partainya lalu disahkan pemerintah, ya, boleh-boleh saja. Tapi, sampai saat ini, Pak Jokowi masih kader PDIP dan petugas partai," ujar anak Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri itu.
Sebelumnya, organisasi masyarakat pendukung Jokowi saat pemilihan presiden lalu, Pro-Jokowi (Projo), dikabarkan siap menjadi partai baru. Ketua Dewan Pimpinan Cabang Projo Solo Sugeng Setyadi mengatakan transformasi itu harus seizin Dewan Pembina Projo yang juga Presiden RI, Joko Widodo. "Projo tetap konsisten mendukung Jokowi hingga akhir masa jabatannya," ujar Sugeng.
Adanya wacana mengubah entitas Projo dari ormas menjadi partai diakui Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Projo Budie Arie Setiadi. Ia mengakui bahwa sejumlah anggota di daerah ingin Projo bermetamorfosis menjadi partai. "Ada banyak cabang yang meminta itu," tutur Budie kepada Tempo, Selasa, 3 Februari 2015.
Menurut Budie, permintaan mereka itu merupakan reaksi dari tekanan partai kepada Joko Widodo dalam menentukan Kepala Polri yang baru. Emosi anggota Projo semakin tinggi ketika calon Kapolri pilihan partai pengusung resmi dijadikan tersangka kasus dugaan kepemilikan rekening gendut oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.
Budie menjelaskan, sampai saat ini, tak ada niat Projo bertransformasi menjadi partai. Namun Budie tak menampik kemungkinan Projo bakal berubah menjadi parpol. "Tak ada yang tak mungkin di Indonesia. Tukang kayu saja bisa jadi presiden, kok," ujarnya. "Soal berubah jadi partai, biarlah Projo mengalir menjemput sejarahnya sendiri." MUHAMMAD MUHYIDDIN | INDRA WIJAYA | ANTARANEWS
Jakarta - Pemilu 2019 nanti Pilpres dan Pileg
bakal digelar bersamaan, banyak pihak menilai parpol butuh figur kuat
sebagai capres untuk memikat pemilih. Mungkinkah Jokowi yang tengah
ditekan PDIP saat ini memilih meninggalkan partai banteng moncong putih
di last minute jelang Pemilu 2019?
Benih partai baru memang mulai bermunculan, salah satunya dari basis relawan pendukung Jokowi di Pilpres 2014 silam, Ormas Pro Jokowi (Projo). Ketua DPC Ormas Projo Solo, Sugeng Setyadi bahkan berani bicara lahirnya partai baru 'Pro Jokowi' tersebut tinggal menunggu peluit. Siapa peniup peluitnya, sampai kini masih dirahasiakan.
Jokowi memang tengah menghadapi tekanan cukup keras dari PDIP, terutama di tengah konflik KPK-Polri yang belum juga tuntas. Bahkan tak hanya PDIP, sejumlah parpol KIH juga berposisi mendorong Jokowi lekas melantik Komjen Budi Gunawan jadi Kapolri. Namun dorongan ini tentu bertentangan dengan kemauan rakyat yang menghendaki pelantikan Komjen Budi dibatalkan.
Jelas Jokowi berada dalam posisi dilematis, sebagai Presiden, hak prerogatif Jokowi seperti dicampuri. Pada saat Jokowi dalam posisi sulit dukungan agar Jokowi mendengarkan suara rakyat terus mengalir. Dukungan mengalir dari KMP dan para sesepuh negeri, seperti Presiden RI ke-3 BJ Habibie.
Namun hingga kini Jokowi belum juga mengambil sikap tegas untuk menuntaskan polemik cicak vs buaya jilid III. Jokowi malah menunggu proses praperadilan yang sedang berjalan, tentu memakan waktu, sementara publik semakin menanti sikap tegas Presiden Jokowi memenuhi janji kampanyenya untuk terus menjaga marwah pemberantasan korupsi di Indonesia.
Di saat Jokowi seperti terombang-ambing tekanan politik parpol pendukungnya inilah para relawannya bergerak. Para relawan yang tak terima melihat sang presiden diganggu pun mulai bicara soal kelahiran partai baru, memang belum ada namanya, namun semakin jelas partai itu disiapkan untuk Jokowi agar tak lagi tertekan PDIP dan koalisi pemerintahan lainnya. Istilah 'Partai Pro Jokowi' saat ini semakin santer terdengar di basis relawan Jokowi di daerah.
Namun pertanyaan besarnya adalah apakah Jokowi akan meninggalkan PDIP? Jika saat ini, tentu saja tidak. Politikus PDIP Budiman Sudjatmiko yakin Jokowi bukanlah orang yang cengeng.
"Kalau melakukan hal itu dalam tanda kutip (Jokowi) terlalu cengeng. Saya sebagai orang PDIP, sebagai orang yang punya visi sama dengan Pak Jokowi, tentu saya akan merasa menyayangkan sekali kalau itu terjadi," kata Budiman di sela-sela rilis dan presentasi survei di kantor Lembaga Survei Indonesia (LSI) di Menteng, Jakarta Pusat, Senin (2/2/2015).
Keraguan tersebut tentu berlaku jika pertanyaan tersebut dilontarkan hari ini. Lalu bagaimana jika pertanyaan ini dilontarkan di last minute jelang Pilpres 2019, dengan kondisi tekanan yang begitu hebat tak ada jaminan Jokowi bakal dicapreskan lagi di 2019, saat itu mungkinkah Jokowi berpaling dari PDIP dan buat partai baru?
Hingga kini, Puan menilai Jokowi adalah kader sekaligus petugas partai. "Kalau ada massa dan nama partainya lalu disahkan pemerintah, ya, boleh-boleh saja. Tapi, sampai saat ini, Pak Jokowi masih kader PDIP dan petugas partai," ujar anak Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri itu.
Sebelumnya, organisasi masyarakat pendukung Jokowi saat pemilihan presiden lalu, Pro-Jokowi (Projo), dikabarkan siap menjadi partai baru. Ketua Dewan Pimpinan Cabang Projo Solo Sugeng Setyadi mengatakan transformasi itu harus seizin Dewan Pembina Projo yang juga Presiden RI, Joko Widodo. "Projo tetap konsisten mendukung Jokowi hingga akhir masa jabatannya," ujar Sugeng.
Adanya wacana mengubah entitas Projo dari ormas menjadi partai diakui Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Projo Budie Arie Setiadi. Ia mengakui bahwa sejumlah anggota di daerah ingin Projo bermetamorfosis menjadi partai. "Ada banyak cabang yang meminta itu," tutur Budie kepada Tempo, Selasa, 3 Februari 2015.
Menurut Budie, permintaan mereka itu merupakan reaksi dari tekanan partai kepada Joko Widodo dalam menentukan Kepala Polri yang baru. Emosi anggota Projo semakin tinggi ketika calon Kapolri pilihan partai pengusung resmi dijadikan tersangka kasus dugaan kepemilikan rekening gendut oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.
Budie menjelaskan, sampai saat ini, tak ada niat Projo bertransformasi menjadi partai. Namun Budie tak menampik kemungkinan Projo bakal berubah menjadi parpol. "Tak ada yang tak mungkin di Indonesia. Tukang kayu saja bisa jadi presiden, kok," ujarnya. "Soal berubah jadi partai, biarlah Projo mengalir menjemput sejarahnya sendiri." MUHAMMAD MUHYIDDIN | INDRA WIJAYA | ANTARANEWS
Selasa, 03/02/2015 10:44 WIB, Elvan Dany Sutrisno - detikNews
Mungkinkah Jokowi Berpaling dari PDIP dan Lahirkan Partai Baru?
Benih partai baru memang mulai bermunculan, salah satunya dari basis relawan pendukung Jokowi di Pilpres 2014 silam, Ormas Pro Jokowi (Projo). Ketua DPC Ormas Projo Solo, Sugeng Setyadi bahkan berani bicara lahirnya partai baru 'Pro Jokowi' tersebut tinggal menunggu peluit. Siapa peniup peluitnya, sampai kini masih dirahasiakan.
Jokowi memang tengah menghadapi tekanan cukup keras dari PDIP, terutama di tengah konflik KPK-Polri yang belum juga tuntas. Bahkan tak hanya PDIP, sejumlah parpol KIH juga berposisi mendorong Jokowi lekas melantik Komjen Budi Gunawan jadi Kapolri. Namun dorongan ini tentu bertentangan dengan kemauan rakyat yang menghendaki pelantikan Komjen Budi dibatalkan.
Jelas Jokowi berada dalam posisi dilematis, sebagai Presiden, hak prerogatif Jokowi seperti dicampuri. Pada saat Jokowi dalam posisi sulit dukungan agar Jokowi mendengarkan suara rakyat terus mengalir. Dukungan mengalir dari KMP dan para sesepuh negeri, seperti Presiden RI ke-3 BJ Habibie.
Namun hingga kini Jokowi belum juga mengambil sikap tegas untuk menuntaskan polemik cicak vs buaya jilid III. Jokowi malah menunggu proses praperadilan yang sedang berjalan, tentu memakan waktu, sementara publik semakin menanti sikap tegas Presiden Jokowi memenuhi janji kampanyenya untuk terus menjaga marwah pemberantasan korupsi di Indonesia.
Di saat Jokowi seperti terombang-ambing tekanan politik parpol pendukungnya inilah para relawannya bergerak. Para relawan yang tak terima melihat sang presiden diganggu pun mulai bicara soal kelahiran partai baru, memang belum ada namanya, namun semakin jelas partai itu disiapkan untuk Jokowi agar tak lagi tertekan PDIP dan koalisi pemerintahan lainnya. Istilah 'Partai Pro Jokowi' saat ini semakin santer terdengar di basis relawan Jokowi di daerah.
Namun pertanyaan besarnya adalah apakah Jokowi akan meninggalkan PDIP? Jika saat ini, tentu saja tidak. Politikus PDIP Budiman Sudjatmiko yakin Jokowi bukanlah orang yang cengeng.
"Kalau melakukan hal itu dalam tanda kutip (Jokowi) terlalu cengeng. Saya sebagai orang PDIP, sebagai orang yang punya visi sama dengan Pak Jokowi, tentu saya akan merasa menyayangkan sekali kalau itu terjadi," kata Budiman di sela-sela rilis dan presentasi survei di kantor Lembaga Survei Indonesia (LSI) di Menteng, Jakarta Pusat, Senin (2/2/2015).
Keraguan tersebut tentu berlaku jika pertanyaan tersebut dilontarkan hari ini. Lalu bagaimana jika pertanyaan ini dilontarkan di last minute jelang Pilpres 2019, dengan kondisi tekanan yang begitu hebat tak ada jaminan Jokowi bakal dicapreskan lagi di 2019, saat itu mungkinkah Jokowi berpaling dari PDIP dan buat partai baru?
HendraWardhana
Skenario Jokowi-Ahok Mendirikan Partai Baru
10 September 2014 | 15:35
Atmosfer politik tanah air ternyata tak jua berubah sejuk jelang pergantian pemerintahan.
Bahkan semenjak putusan Mahkamah Konstitusi yang menolak seluruh
gugatan Prabowo dan Koalisi Merah Putih beberapa waktu lalu, pertarungan
politik justru memasuki babak baru dengan tensi yang tak kalah tinggi.
Menariknya tak hanya Jokowi dan Jusuf Kalla yang harus mengalami tekanan perlawanan politik dari “Gerindra and Friends”. Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok ternyata juga ikut terpapar manuver politik Koalisi Merah Putih.
Ahok
yang terkenal blak-blakan dan berani melawan arus secara
terang-terangan menolak gagasan Pilkada oleh DPRD yang didukung oleh
partai tempatnya bernaung saat ini Gerindra. Tak tanggung-tanggung Ahok
juga bertekad keluar dari partai tersebut jika pemilihan kepala daerah
akhirnya benar-benar dilakukan oleh DPRD. Bahkan hari ini tekadnya untuk mundur dari Gerindra semakin bulat dengan menyelipkan ucapan “selamat tinggal”.
Dari menyatakan pendapat yang berbeda lalu mengancam keluar dari partai politik, Ahok kemudian mendapat tekanan dari elit Gerindra.
Sejumlah politisi termasuk Fadli Zon bahkan menanggapi sikap Ahok
dengan melontarkan pernyataan yang tak kalah keras. Waketum Gerindra
tersebut menganggap Ahok tak beretika dan tak banyak berkontribusi
kepada partai. Ia juga menilai Ahok sebagai seorang kutu loncat.
Sementara itu politisi PKS Hidayat Nur Wahid menantang Ahok untuk mundur
dari Wagub.
Perang
antara Ahok dengan Gerindra terkait Pilkada menghasilkan arena baru
selain ring pertarungan Jokowi-JK dengan parlemen yang mayoritas
dikuasai oleh Koalisi Merah Putih.
Menariknya
meski berbeda arena, pertarungan Ahok vs Gerindra plus Koalisi Merah
Putih dan Jokowi vs Koalisi Merah Putih berpotensi menyatukan Jokowi dan Ahok kembali. Cepat
atau lambat kondisi ini pasti membuat banyak pihak sibuk bertanya
sekaligus berandai-andai jika Jokowi dan Ahok membentuk partai baru.
Skenario
awalnya adalah Ahok benar-benar membuktikan ucapannya dengan keluar
dari Gerindra sebagai bentuk pembelaannya terhadap hak demokrasi rakyat.
Mungkinkah itu terjadi?. Siang ini Ahok memastikan skenario awal ini dengan mengirimkan telah mengirimkan surat pengunduran dirinya ke Gerindra.
Reaksi
negatif dari sejumlah politisi Gerindra terhadap Ahok menunjukkan bahwa
partai baru ini sebenarnya tak beda dengan partai-partai lama yang anti
dengan perubahan. Gerindra juga buta potensi kadernya sendiri. Bukannya menyayangi kader sehebat Ahok, Gerindra justru memberikannya tekanan dan serangan.
Bukan kali ini saja Ahok
bertarung sendiri tanpa dukungan nyata dari partainya. Dalam beberapa
kali masalah yang melibatkan pemerintah DKI dengan DPRD, Ahok juga
sering pasang badan seorang diri. Ia tak segan membela atasannya Jokowi
dari serangan-serangan yang sebenarnya ia bisa saja cari aman. Tapi Ahok
memang tidak bisa diam untuk menyuarakan apa yang dianggapnya benar. Kini kemungkinan Ahok untuk keluar dari Gerindra semakin besar. Setidaknya ia sudah punya alasan yang dengan jelas ia sampaikan.
Di tempat lain Jokowi juga memiliki kemungkinan hengkang dari PDIP. Meski kemungkinannya lebih kecil namun Jokowi sudah membuktikan bahwa dengan peluang kecil ia bisa menciptakan efek besar. Pilkada DKI adalah buktinya.
Skenarionya
adalah Jokowi membuktikan diri sebagai Presiden yang independen dan
sepenuhnya bertindak sebagai penentu kebijakan meski ia diusung oleh
partai.
Jokowi akan membuktikan komitmennya sebagai Presiden yang tak bisa
diatur seperti boneka. Apalagi jika ia juga membuktikan janjinya untuk
tak bagi-bagi kekuasaan dan menjauhkan diri politik balas budi.
Lebih-lebih jika Jokowi berani mengambil keputusan sulit meski tidak
didukung oleh partainya. Maka
hal itu akan melahirkan para barisan sakit hati termasuk orang-orang
dari dalam partainya sendiri yang selama ini menganggap diri berjasa
memenangkan Jokowi sebagai Presiden.
Kemungkinan
Jokowi hengkang dari PDIP memang tak sebesar kemungkinan keluarnya Ahok
dari Gerindra yang secara de facto Ahok sudah menyatakan selamat
tinggal. Tapi beberapa orang tampaknya sudah memiliki firasat
kekhawatiran lepasnya Jokowi dari PDIP.
Jelang pilpres lalu Megawati pernah menyampaikan pesan kepada Jokowi sebagai “petugas partai”.
Saat itu banyak orang termasuk politisi dan pengamat terjebak untuk
berpandangan sempit dengan menganggap ucapan Megawati tersebut sebagai
bentuk intervensi menjadikan Jokowi boneka partai. Padahal lewat
ucapannya itu Megawati sebenarnya sedang mengirim sinyal harapan kepada
Jokowi bahwa sehebat apapun nanti ia menjadi Presiden, Jokowi
diharapkan tak meninggalkan statusnya sebagai petugas partai alias kader
PDIP. Dengan bahasa lain Megawati sedang berkata : “Hai, Jokowi, kamu tetap jadi kader PDIP ya, jangan buat partai baru”.
Dengan
demikian sebenarnya kemungkinan hengkangnya Jokowi dari PDIP selalu
ada. Apalagi jika dalam perjalanannya sebagai Presiden, Jokowi merasa
keputusan partai bertolak belakang dengan keyakinannya untuk mengambil
kebijakan yang benar.
Pada
satu titik nanti Jokowi akan kembali bersatu dengan Ahok. Mereka berdua
tak perlu loncat ke partai lain. Sebaliknya dengan membuat partai baru
bersama-sama, Jokowi-Ahok berpotensi menghadirkan sejarah baru yang
lebih besar bagi Indonesia.
Jika hal ini terjadi maka skenario berlanjut kepada beberapa kemungkinan yaitu:
Pertama, Jokowi dan Ahok akan mengendalikan langsung partai barunya nanti.
Ahok sebagai cerminan politisi muda yang berani menentang suara
mayoritas untuk menegakkan kebenaran cocok sebagai panglima alias Ketua
Partai. Sementara Jokowi yang tenang dan memiliki pemikiran-pemikiran
baru akan penjadi pendamping dan penasihat yang baik bagi Ahok. Jokowi
akan menjadi semacam Ketua Dewan Penasihat atau Pertimbangan Partai.
Jikapun
tidak demikian posisi Jokowi-Ahok akan tetap mengisi dua poros utama
partai. Kombinasinya bisa Ketua-Wakil Ketua Umum atau Ketua-Ketua
Kehormatan. Namun Kombinasi Ketua-Dewan Penasihat lebih cocok untuk
mereka berdua.
Kedua,
partai baru bentukan Jokowi-Ahok dipastikan akan menimbulkan tsunami di
semua partai yang sudah saat ini tak terkecuali PDIP yang dikenal diisi
oleh kader-kader setia. Hampir
diyakini setelah Jokowi terpilih menjadi Presiden, di dalam tubuh PDIP
muncul faksi baru yakni faksi Jokowi. Gerbong inilah yang akan pertama
kali mengikuti Jokowi di partai barunya nanti. Hal yang sama
akan terjadi di banyak partai yang dalam pilpres lalu sejumlah kadernya
terang-terangan membelot mendukung Jokowi-JK.
Pada
sisi Ahok, figurnya sebagai idola anak muda akan mampu menggerakkan
tokoh-tokoh muda Gerindra dan partai lainnya yang selama ini merasa
iklim partai politik Indonesia tak kondusif untuk menumbuhkan
gagasan-gagasan baru.
Dengan kata lain kombinasi Jokowi-Ahok bisa memindahkan people power ke dalam partai politik bentukan mereka nanti. Partai politik Jokowi-Ahok juga bisa mengikis apatisme kalangan muda yang selama ini alergi terhadapn politik.
Ketiga, bersatunya
Jokowi-Ahok dalam satu partai akan mewujudkan mimpi pasangan pemimpin
idaman masyarakat Indonesia saat ini. Jika scenario di atas berjalan
lancar, Jokowi-Ahok adalah (calon) Presiden dan Wakil Presiden 2019. Dengan
catatan Jokowi masih ingin mencalonkan diri sebagai Presiden periode
kedua. Namun jikapun tidak hal itu tidak menjadi masalah karena Ahok
yang akan mengambil slot calon Presiden 2019 dengan Jokowi sebagai
katalis yang mumpuni.
Mungkinkah semua skenario tersebut benar-benar terjadi?.
Mari
kita cermati pernyataan bersayap Jokowi yang mengatakan dirinya akan
senang jika Ahok keluar dari Gerindra karena itu berarti ia mendapat
satu “teman baru”. Apakah itu berarti Jokowi akan berteman dengan Ahok
di PDIP. Sepertinya bukan, boleh jadi itu adalah isyarat angan-angan Jokowi untuk berteman dengan Ahok di partai baru.
Jikapun
tidak demikia maka skenario alternatifnya adalah hanya Ahok yang akan
membentuk partai baru. Sementara Jokowi dengan PDIP bersiap menyambutnya
sebagai “teman di 2019”. Apapun skenarionya, bersatunya Jokowi-Ahok jilid II berpotensi melahirkan banyak sejarah dan harapan besar bagi Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar