Sabtu, 29 April 2017

Polisi Ini Tidak Mengakui Jokowi Sebagai Presiden Indonesia, Kenapa?

Jumat, 28 Apr 2017 09:01 | editor : Soejatmiko
Ilustrasi
Ilustrasi (istimewa)
JawaPos.com – Ini barangkali kasus cukup langka yang ada di dalam sidang Pengadilan Negeri (PN) Kota Malang. Karena saat sidang Kamis  (27/4), ada dua penggugat dalam kasus perdata menyebut tidak mengakui semua produk hukum yang dikeluarkan PN. Ironisnya, satu dari dua penggugat itu, yakni Aiptu Suyanto adalah seorang polisi.
Dia anggota Polres Malang Kota di bagian sarana-prasarana. Sedangkan satu penggugat lain adalah Harianto, warga Jalan Gunung Agung, Kecamatan Sukun. Kenapa keduanya tidak mengakui produk hukum PN? Karena PN, menurut keduanya, di bawah Presiden RI Joko Widodo yang dianggap bukan sebagai kepala negara. Jokowi hanya kepala pemerintahan saja. Karena posisi presiden dianggap tidak sah, maka lembaga di bawahnya, termasuk Mahkamah Agung (MA) yang kini dipimpin Hatta Ali hingga ke PN juga tidak sah. Yang sah sebagai presiden sekaligus kepala negara, menurut dua penggugat itu, adalah Achmad Mujais, warga Perum Royal Janti Residence, Kelurahan Sukun, Kecamatan Sukun, Kota Malang.
Pernyataan bahwa Achmad Mujais yang sah sebagai presiden dan bukan Jokowi itu terungkap dalam sidang perdana kasus perdata dengan penggugat Aiptu Suyanto. Sidang perdata ini menyusul eksekusi rumah milik Suyanto di Jalan Danau Maninjau Nomor 138, Kelurahan Sawojajar, Kecamatan Kedungkandang, 26 Januari 2017. Rumah tersebut disita oleh PN Kota Malang berdasar surat bernomor 26/Eks/2016/ PN.Malang karena menjadi agunan (jaminan) kredit di Bank Nusantara Parahyangan (BNP).
Pinjaman senilai Rp 375 juta itu macet. Padahal, peminjam uangnya atas nama Suheri, teman Suyanto. Sehingga Suyanto merasa hanya menjadi korban. Namun, karena sertifikat rumah Suyanto yang jadi agunan, maka rumah itu yang disita. Karena tak terima dengan penyitaan rumah itu, Suyanto melayangkan gugatan perdata bernomor 15/Pdt. Plw/2017/PN Mlg. Ada sejumlah pihak yang digugat. Yakni Deni Nugraha, pemohon eksekusi serta Bank Nusantara Parahyangan Tbk Bandung. Ketua PN Kota Malang Sihar Hamonangan Purba termasuk juga ikut digugat karena mengeluarkan surat eksekusi, padahal tak punya kewenangan.
Suyanto juga memasukkan nama Presiden Jokowi sebagai tergugat. Dalam sidang yang dipimpin Johanis Hehamony dengan anggota Martaria Yudith dan Intan Tri Kumalasari itu, Suyanto secara berani beberapa kali melakukan interupsi serta berdebat dengan hakim. Johanis beberapa kali meminta Suyanto untuk diam. ”Nanti dulu, belum waktunya dimintai pendapat,” kata Johanis kepada Suyanto.
Giliran dapat kesempatan berbicara, justru yang disampaikan Suyanto tidak pada pokok perkara penyitaan rumah. Dia mempersoalkan keabsahan para hakim. Dia menilai para hakim juga tidak sah. ”Bapak-bapak (para hakim, Red) turut tergugat dalam perkara dengan nomor 73,” ucap Suyanto. Gugatan perkara nomor 73 yang dimaksud Suyanto adalah para hakim yang mengeksekusi rumahnya itu ilegal.
Sebab, MA yang menaungi hakim di PN hingga Presiden Jokowi pun tidak sah. Yang dianggap sah sebagai presiden adalah Achmad Mujais sejak 9 April 2014. Mendapat ”serangan” dari Suyanto, para hakim memutuskan untuk menskors sidang hingga 40 menit. Setelah jeda, Johanis langsung membaca empat putusan untuk Suyanto. Yakni menyatakan Suyanto dan kuasa hukumnya Shandy Irawan divonis telah melakukan tindakan makar (berniat menggulingkan pemerintahan yang sah).
Karena tidak mengakui presiden yang sah secara hukum, Suyanto dianggap akan menggulingkan pemerintahan yang sah. ”Karena telah menyatakan bahwa Presiden RI Joko Widodo (Jokowi), Ketua MA Hatta Ali, dan para pejabat di bawah MA tidak sah. Dan menyatakan Mujais sebagai presiden dan ketua MA serta hakim pemutus perkara yang sah,” tegas Johanis. Johanis menambahkan, Suyanto juga tidak berhak mengajukan gugatan di pengadilan RI. ”Sebab, dia bertentangan dengan Undang- Undang Dasar negara RI tahun 1945,” tuturnya.
Hakim juga memutus pemeriksaan perkara perdata itu dihentikan demi kepentingan umum. ”Membebankan segala biaya perkara kepada penggugat dan kuasa hukumnya secara tanggung renteng yang ditetapkan Rp 1,6 juta,” imbuh Johanis seraya menutup sidang. Usai mendapatkan putusan terse but, hakim sempat menanyakan kepada Suyanto, apakah terima atau tidak. Termasuk juga apakah bakal melakukan banding. Tetapi secara tegas Suyanto menolaknya. ”Saya tidak terima dan sampai kapan pun tak akan terima,” ujar anggota Polres Malang Kota ini.
Usai sidang, Suyanto memilih langsung pergi. Dia enggan menjawab pertanyaan wartawan. ”Sudah, tidak ya,” kata Suyanto seraya pergi. Nasib serupa dialami Harianto. Dalam sidang perdata di PN kemarin, pria yang menjadi anggota Koperasi Indonesia pimpinan Achmad Mujais ini oleh hakim dianggap makar. Sebab, dia menggugat Presiden Jokowi; Ketua MPR Zulkifli Hasan; Ketua MA M. Hatta Ali; Wali Kota Malang Moch. Anton; Menteri Keuangan Sri Mulyani; dan Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo. Para pejabat itu bertanggung jawab untuk mencairkan dana Rp 108 triliun ke Koperasi Indonesia.
Dana itu adalah pendapatan negara bukan pajak yang seharusnya untuk program dana bergulir yang bisa dikelola Koperasi Indonesia. Koperasi pimpinan Mujais inilah yang berhak mengelola uang negara. Harianto juga menuntut para tergugat secara tanggung renteng menyerahkan uang Rp 100 juta setiap hari kepada penggugat. Menyikapi tuntutan Harianto ini, para hakim memvonis penggugat telah berbuat makar.
Hakim juga menghentikan pemeriksaan perkara. ”Menetapkan biaya perkara ditanggung oleh penggugat dan kuasa hukumnya,” tegas Johanis kembali. Usai sidang, Harianto juga sama dengan Suyanto. Dia memilih enggan berkomentar. Dan dia menyerahkan perkara ini ke kuasa hukumnya. ”Biar pengacara saya nanti yang mengurus,” ujarnya seraya pergi.
Lantas siapa sebenarnya Achmad Mujais? Jawa Pos Radar Malang mulai kemarin, pukul 14.00–19.00, nyanggong di rumah dan kantor Achmad Mujais di Perum Royal Janti Residence. Namun, oleh Munawar, pengurus koperasi, koran ini dihalangi-halangi. ”Beliau (Mujais) sedang rapat penting. Tidak bisa diganggu,” tegas Munawar, kemarin sore. Ketika wartawan koran ini berniat untuk menunggu hingga rapat selesai, Munawar mengungkapkan tetap tidak bisa. ”Kalau mau bertemu Pak Mujais harus membawa surat resmi yang berisikan keperluannya seperti apa. Tidak bisa langsung bertemu,” terangnya. Awalnya ketika datang, wartawan koran ini disuruh untuk mengisi buku tamu terlebih dulu.
Dalam buku tamu tersebut terdapat isian nama, instansi, keperluan, tanggal, jam kedatangan, serta tanda tangan pengisi. Terlihat juga dua pegawai PN Kota Malang yang baru saja mengisi buku tamu tersebut sebelum wartawan koran ini datang. Dari keterangan Sutari, salah satu anggota Koperasi Indonesia, Achmad Mujais memang diyakini presiden RI yang sah. Karena sebelum tahun 2014, Indonesia masih belum punya kepala negara. Yang ada hanya kepala pemerintah, yakni presiden.
Begitu tahun 2014, Mujais mendeklarasikan diri sebagai presiden dengan membentuk Unit Pelayanan Terpadu (UPT) Negara Republik Indonesia. Peran pria yang pernah mencalonkan diri sebagai wali kota periode 2010–2015 itu sebagai kepala negara. ”Karena beliau itu keturunan Raja Majapahit,” terang Sutari dengan enteng. Mengetahui ada anggotanya yang disebut makar, Kapolres Malang Ko ta AKBP Hoiruddin Hasibuan memilih meminta waktu. ”Saya mau cek di kantor dulu. Nanti saya pelajari,” ujarnya. (zuk/viq/c2/abm/JPG)

Tidak ada komentar: