Sabtu, 26 April 2014

Aktivis HAM Respons Kesediaan Prabowo

Jumat, 25 April 2014 | 16:56 WIB
TRIBUNNEWS/DANY PERMANA Ketua Umum Persatuan Purnawirawan dan Warakawuri TNI dan Polri (Pepabri) Agum Gumelar (tengah) bersama bakal calon presiden dari Partai Gerindra Prabowo Subianto (kanan), dan mantan Menteri Penerangan Yunus Yosfiah usai menggelar pertemuan di Kantor Pepabri, Selasa (22/4/2014). Dalam pertemuan tersebut Prabowo menyampaikan visi dan misinya untuk maju sebagai presiden pada pilpres Juli mendatang.

JAKARTA, KOMPAS.com
- Kesediaan calon presiden dari Partai Gerindra, Prabowo Subianto, untuk mengklarifikasi sejumlah cerita dan predikat yang melekat padanya terkait peristiwa sekitar lengsernya Presiden Soeharto tahun 1998 patut diapresiasi. Salah satu kasus yang perlu diklarifikasi adalah seputar penculikan sejumlah aktivis pada 1997-1998.
Mantan anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Albert Hasibuan, Kamis (24/4/2014), mengatakan, dalam kasus penculikan, sudah ada mahasiswa yang ditemukan. Namun, ada juga korban yang belum ditemukan.
Seperti diberitakan, Prabowo menyatakan siap mengklarifikasi sejumlah hal yang melekat kepadanya terkait peristiwa 1998. ”Saya juga keluar dari tentara dengan segala predikat dan cerita. Kalau dibutuhkan, saya siap memberikan klarifikasi,” katanya di sela-sela ramah-tamah dengan pengurus DPP Persatuan Purnawirawan dan Warakawuri TNI dan Polri (Kompas, 23/4).
Dalam kasus penculikan, ada 13 aktivis yang hingga kini belum diketahui keberadaannya. Sebanyak 9 aktivis yang diculik sudah dikembalikan.
Dalam kasus ini, panitia khusus DPR pernah memberikan empat rekomendasi kepada Presiden pada 30 September 2009. Keempat rekomendasi itu adalah membentuk pengadilan HAM ad hoc, mencari 13 orang yang oleh Komnas HAM masih dinyatakan hilang, merehabilitasi dan memberi rekomendasi ke keluarga korban, serta meratifikasi Konvensi Anti Penghilangan Paksa.
Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan Haris Azhar mengatakan, Komnas HAM juga sudah membuat laporan penyelidikan terkait kasus penculikan. Bahan dari Dewan Kehormatan Perwira juga tersedia.
Oleh karena itu, menurut Haris, yang perlu dibangun adalah menjaga ruang atau ranah formal atas penanganan kasus penculikan dan kasus lain, seperti kerusuhan Mei 1998. Proses formal itu selama ini tidak berjalan.
Capres-cawapres
Secara terpisah, Direktur Program Imparsial Al Araf berharap, PDI-P tidak terjebak dalam wacana militer-sipil saat menetapkan calon wakil presiden (cawapres). Dalam era demokrasi, isu pasangan sipil-militer dalam bursa capres dan cawapres merupakan isu klasik yang sudah seharusnya ditinggal.
PDI-P, lanjut Araf, tidak perlu khawatir terhadap kemungkinan kudeta jika pasangan Joko Widodo (Jokowi) yang telah ditetapkan sebagai capres dari partai itu bukan dari militer. Dalam era demokrasi, militer tunduk pada supremasi sipil. Dengan demikian, meski pasangan wapres Jokowi bukan berlatar belakang militer, tidak akan ada masalah bagi Jokowi dalam mengontrol militer karena prinsip supremasi sipil yang diakui konstitusi dan Undang-Undang TNI.
Dalam waktu yang tersisa sekitar 2,5 bulan sebelum Pemilu Presiden 9 Juli 2014, seharusnya PDI-P segera memutuskan cawapres bagi Jokowi. Dengan demikian, waktu dan energi tidak lagi disibukkan dengan diskusi pasangan cawapres Jokowi berlatar belakang sipil atau militer. (FER/ONG)

Tidak ada komentar: