Rabu, 03 Desember 2014

Ada apa dengan Jokowi? Mata Presiden Jokowi Ditutup Kain Hitam

Mata Presiden Jokowi Ditutup Kain Hitam

Selasa, 2 Desember 2014 | 13:22 WIB
Kompas Cetak Ilustrasit

KOMPAS.com — Selasa malam, 25 November 2014 lalu, hujan deras menyiram sebuah padepokan Roemah Petroek di Desa Karang Klethak, Sleman, Yogyakarta. Padepokan di tepi Sungai (Kali) Boyong, di kaki Gunung Merapi, itu dinaungi hutan pohon bambu, ganemo (melinjo), dan pohon-pohon lainnya.
Hujan deras berganti gerimis. Udara cukup dingin. Di salah satu tempat padepokan itu, malam itu, berlangsung acara mengenang KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, Presiden ke-4 RI (1999-2001). Acara ini disebut Revolusi Mental Mengenang Gus Dur.
Putri bungsu Gus Dur, Inayah Wahid, mengatakan, di tempat itu, Gus Dur sebenarnya tidak begitu suka disebut mantan presiden karena presiden hanya pekerjaan. ”Bapak lebih suka disebut pejuang humanis lewat kebudayaan,” ujar Inayah.
Banyak acara seni budaya berlangsung malam itu. Di tepi panggung beralas pasir itu, ada tujuh patung presiden Indonesia dari tahun 1945 hingga 2014. Enam presiden terdahulu, Soekarno, Soeharto, BJ Habibie, Gus Dur, Megawati Soekarnoputri, dan Susilo Bambang Yudhoyono dalam posisi duduk berjajar di kursi. Sementara itu, Presiden Joko Widodo atau Jokowi berdiri di belakang para presiden pendahulunya.
Di depan patung para presiden itu, pemuda bernama Ferry Luviyanto melakukan pentas monolog. Aksi Ferry banyak disambut tawa dan tepuk hadirin ketika ia mendeskripsikan tingkah laku khas para presiden itu. ”Semua presiden ini mempunyai senyumnya sendiri-sendiri,” ujar Ferry.
Ia banyak mengeluarkan kata-kata ciri khas Gus Dur, ”Gitu saja kok repot.” Ferry melukiskan Gus Dur yang gemar bercanda, tetapi punya mata hati yang tajam dalam melihat berbagai masalah kehidupan bangsa ini.
Sebelum meninggalkan panggung pasir yang di tengahnya ada gunung pasir itu, Ferry menutup mata patung Jokowi dengan kain hitam. ”Supaya presiden ketujuh ini tidak hanya bisa melihat realitas di negeri ini dengan mata fisiknya, tetapi harus bisa membaca dengan mata hatinya seperti Gus Dur,” ujarnya disambut tepuk tangan hadirin.
Di acara itu banyak yang hadir, antara lain pengamat dan penulis masalah sosial politik Sukardi Rinakit, penyanyi rap Marjuki, penyanyi dan sinden serba bisa Endah Laras, Romo Benny Susetyo PR, Romo Sindhunata SJ, Maman Imanulhaq (pengasuh Pondok Pesantren Al-Mizan Majalengka dan anggota DPR periode 2014-2019), para wartawan, mahasiswa, para tokoh masyarakat setempat dan dari Jakarta, serta putri bungsu Gus Dur, Inayah Wahid.
Putri kedua Gus Dur, Yenny Zanuba Wahid, datang sehari setelah acara ini berlangsung. Malam itu, Yenny sangat ditunggu para hadirin. Namun, sampai tengah malam, ketika angin mengembus keras daun-daun pepohonan, Yenny tidak datang.
Benny Susetyo tertarik sekali dengan adegan penutupan mata Jokowi itu. ”Mata hati harus dimiliki Jokowi agar mampu melihat realitas, tidak hanya fisik, karena fisik bisa menipu bahkan bisa kehilangan arah. Penglihatan fisik bisa ditundukkan realitas semu,” ujar Benny, yang membandingkan acara pesta pora di Monas, depan Istana Merdeka, Jakarta, pada 20 Oktober lalu, dengan acara di Roemah Petroek ini.
Menurut Romo Benny, acara ini jauh sederhana, tidak feodalistis. ”Acara di Roemah Petroek ini jauh lebih bermakna mendalam ketimbang di Monas itu,” ujar Romo Benny. ”Di Roemah Petroek tidak banyak dijejali kepentingan, tetapi sebaliknya menyatukan dengan bahasa tulus dan kejujuran,” ujarnya lebih lanjut.
Datanglah ke Roemah Petroek di Sleman. Di sana tidak ada adegan Petruk jadi ratu, tetapi tokoh wayang Petruk tetap sebagai punakawan. (J Osdar)


Editor : Sandro Gatra
Sumber: KOMPAS CETAK

Tidak ada komentar: