Sabtu, 27 Desember 2014

Menanti Gebrakan Ahok- Jarot di Jakarta

Menanti Gebrakan Wagub Jakarta Djarot Saiful

Rabu, 17 Desember 2014 | 18:23 WIB
Alsadad Rudi Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama menyematkan pangkat di pundak Djarot Saiful Hidayat saat acara pelantikan dan pengambilan sumpah Wakil Gubernur DKI Jakarta, di Balai Kota DKI Jakarta, Rabu (17/12/2014)
JAKARTA, KOMPAS.com — Djarot Saiful Hidayat resmi menjadi Wakil Gubernur DKI Jakarta. Dia dilantik menjadi DKI 2 oleh Basuki "Ahok" Tjahaja Purnama di Balai Agung, Balai Kota, Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, Rabu (17/12/2014). Dituntun Ahok, Djarot mengucapkan sumpah jabatan tepat pukul 13.30.

Djarot dilantik menggunakan payung hukum Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemiliihan Kepala Daerah. Berdasarkan Pasal 172 ayat 1 Perppu ini, wakil gubernur dilantik oleh gubernur.

Sebelum terbit perppu tersebut, pelantikan gubernur dan wakil gubernur dilaksanakan oleh Menteri Dalam Negeri dengan dasar hukum SK Presiden. Rujukannya adalah UU soal Pilkada. Itu artinya, Djarot menjadi wakil gubernur pertama yang dilantik oleh gubernur.

Dengan lantang, Djarot yang mengenakan pakaian dinas upacara (PDU) itu berjanji akan memenuhi kewajibannya sebagai wakil gubernur dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya.

"Memegang teguh UUD 1945 dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada masyarakat, nusa, dan bangsa," kata Djarot. Djarot akan mendampingi Gubernur Ahok membangun Jakarta hingga 2017 mendatang.

Bagi warga Jakarta, nama Djarot bisa dibilang asing. Pria kelahiran Gorontalo, 30 Oktober 1955, itu lebih terkenal di Jawa Timur, tempatnya merintis karier sebagai politikus. Kiprah kader PDI Perjuangan itu diawali dengan duduk di kursi Ketua Komisi A DPRD Jawa Timur.

Djarot juga populer di Blitar karena dianggap mampu mengelola daerah dengan baik. Selama dua periode menjabat wali kota Blitar, dari 2000 hingga 2010, Djarot memprioritaskan pedagang kaki lima (PKL) menjalankan roda perekonomian. Dia membatasi pembangunan mal dan gedung pencakar langit lain.

Sejumlah penghargaan telah diraih, seperti anugerah Adipura selama tiga tahun berturut-turut dan penghargaan Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah tahun 2008.

Dipilih Ahok

Hampir satu bulan setelah Ahok dilantik menjadi gubernur, kursi wagub kosong. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemiliihan Kepala Daerah, Ahok berhak memilih wakilnya sendiri.

Selain Djarot, ada sejumlah nama yang digadang-gadang mendampingi Ahok. Penetapan nama sempat berjalan alot.

PDI Perjuangan disebut mengajukan Ketua DPD PDI-P DKI Boy Sadikin. Nama Bambang Dwi Hartono juga masuk dalam bursa wagub DKI. Namun, Ahok lebih melirik wakil dari kalangan birokrat. Mantan Deputi Gubernur Bidang Tata Ruang dan Lingkungan Hidup DKI Sarwo Handayani mencuat sebagai kandidat kuat dalam mewujudkan Jakarta Baru.

Akhirnya calon wagub mengerucut pada dua nama, yaitu Djarot dan Boy. Dan Ahok pun memilih Djarot.

Menurut Ahok, Djarot patut dipertimbangkan karena pengalamannya selama 10 tahun menjadi wali kota Blitar. Selain itu, Ahok lebih mengenal Djarot dibandingkan Boy.

"Kenapa Pak Djarot yang dipilih, padahal di sini kan banyak orang baik. Ada Pak Boy, ada Bu Yani. Dalam proses itu, saya mengingat teori Abraham Lincoln. 'Cara mau menguji karakter asli seseorang adalah beri dia kekuasaan'. Nah, Pak Djarot ini pernah berkuasa selama 10 tahun," kata Ahok dalam sambutan pelantikan Djarot.

Ahok juga tidak memiliki masalah dalam bekerja sama dengan Djarot. Apalagi, dia mengaku sudah kenal Djarot sejak 2006, ketika masih menjadi Bupati Belitung Timur. Keduanya akan bersinergi dalam memerintah di Ibu Kota. "Kita tidak akan ada pembagian kerja, tetapi berebut kerja. Itu yang dulu saya lakukan dengan Pak Jokowi. Makanya kami enggak pernah berantem," ujar Ahok.

Janji Djarot

Setelah resmi menjadi orang nomor dua di Jakarta, Djarot mengaku akan menjalankan program-program yang sudah ada. Dia bahkan akan segera melakukan blusukan. Agar lebih mudah menjangkau pelosok-pelosok kampung, Djarot tidak segan-segan pergi dengan mengendarai sepeda motor.

"Jadi jangan kaget kalau ketemu saya naik motor ke kampung-kampung tanpa pemberitahuan kepada Anda," kata Djarot seusai pelantikannya, di Balai Kota DKI Jakarta, Rabu petang.

Dia tidak takut kulitnya terbakar sinar matahari. Bagi dia, tidak masalah kulitnya menghitam asalkan program-program yang dicanangkan oleh Pemprov DKI bisa cepat terealisasi.

Djarot juga menekankan empat hal yang menjadi tugasnya, yaitu revitalisasi pasar, revitalisasi kampung, reformasi birokrasi, dan penataan tata ruang. Khusus untuk revitalisasi pasar, Djarot memberi perhatian lebih pada kemajuan pasar tradisional.

Djarot ingin membatasi jumlah minimarket yang ada di Jakarta agar pedagang di pasar tradisional tidak kalah saing. Dia mengaku heran dengan keberadaan minimarket di wilayah Jakarta. Dalam jalan yang sama, bisa ada lebih dari satu minimarket di wilayah itu. Hal itu, kata dia, memiliki dampak yaitu salah satunya kemacetan.

Djarot menegaskan, dia bukan menghilangkan minimarket sama sekali, melainkan hanya membatasinya. Djarot juga ingin produk milik pedagang tradisional bisa masuk ke minimarket tersebut.

Tentunya dengan membuat kualifikasi tertentu agar produk tersebut layak dijual di minimarket. "Dengan kualifikasi tertentu, produk milik pedagang kecil bisa masuk minimarket," ujar Djarot.

Setelah dilantik, Djarot, mantan anggota DPR RI, itu langsung berbegas menuju Istana Negara untuk menjemput Presiden Jokowi guna menutup pameran alutsista di Monas.

Tentu saja warga Jakarta menunggu gebrakan-gebrakan Djarot. Masyarakat ingin melihat pemimpin barunya bekerja menyelesaikan segala masalah. Aksi Djarot merealisasikan Jakarta Baru sangat dinantikan.


Penulis: Alsadad Rudi
Editor : Desy Afrianti

Djarot Bisa "Tenggelamkan" Popularitas Ahok?

Kamis, 25 Desember 2014 | 18:07 WIB
Kompas/Lucky Pransiska (UKI) Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahja Purnama (kiri)memberikan tanda pangkat kepada Wakil Gubernur, Djarot Saiful Hidayat di Balai Kota Jakarta, Rabu (17/12). Hadir dalam acara tersebut, Presien Indonesia kelima, Megawati Soekarno Putri dan istri Gubernur DKI, Veronica Tjahja Purnama, dan Istri Wakil Gubernur, Happy Farida. Kompas/Lucky Pransiska (UKI) 17-12-2014
JAKARTA, KOMPAS.com - Pengamat politik dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Pangi Syarwi Chaniago menilai elektabilitas Wakil Gubernur Jakarta Djarot Syaiful Hidayat bisa mengalahkan Gubernur Jakarta Basuki Tjahja Purnama atau Ahok karena kebijakannya yang menimbulkan empati publik.

"Perkiraan saya, Djarot bisa menenggelamkan elektibilitas Ahok. Apalagi kalau Djarot bisa menciptakan empati publik dan mulai disayangi warga Jakarta," kata Pangi melalui pesan Blackberry di Jakarta.

Dia menilai Djarot bisa mengambil empati publik dengan kebijakan terbarunya yaitu menolak mobil dinas Lexus dan memilih lima sepeda motor untuk blusukan karena alasan kemacetan di Jakarta.

Pangi mengatakan, PDI Perjuangan pintar dan cerdas membaca momentum politik 2017 dalam pemilihan gubernur DKI dan bukan tidak mungkin Djarot dipersiapkan untuk calon gubernur DKI 2017.

"PDI-P sah-sah saja menyiapkan Djarot untuk pilgub Jakarta 2017. Partai tersebut tahu bahwa Djarot adalah figur yang memiliki prestasi ketika menjabat wali kota Blitar selama dua periode dan pernah menjabat anggota DPRD Jawa Timur dan anggota DPR RI periode 2014-2019," ujarnya.

Menurut dia, bukan tidak mungkin popularitas Djarot bisa cemerlang di tahun 2015-2017 sebagai modal investasi politik bertarung dalam pilgub DKI Jakarta.

Dia mengatakan, dua tahun adalah waktu yang cukup untuk kampanye politik Djarot sehingga bukan tidak mungkin Ahok mulai khawatir dengan sepak terjang Djarot.

"PDI-P tahu elektibilitas Ahok tinggi, namun belum tentu dipilih kembali kalau kebijakan politiknya banyak yang kontroversial dan tidak mampu menunaikan janji politiknya," katanya.

Pangi mengatakan tidak mungkin ada dua "matahari" di DKI Jakarta sehingga apabila Djarot punya prestasi, komitmen dan integritas yang kuat, maka Ahok bisa saja gagal uji pasar hasil survei pemilu mendatang.

Hal itu menurut dia karena berubahnya perilaku segmentasi pasar yang mulai bergeser jatuh hati ke produk baru yaitu Djarot.

"Djarot harus punya perbedaan yang bisa membuatnya berbeda jauh dengan Ahok. Penolakan mobil dinas paling tidak bukti Djarot punya sensivitas politik yang matang, mengerti betul perilaku pasar apa yang disukai publik dan yang tidak disukai masyarakat," ujarnya.

Menurut dia, PDI-P tentu saja akan mengajukan calon gubernur DKI Jakarta di 2017 yang lolos uji pasar dan figur tersebut bisa saja itu Ahok atau Djarot.

Dia menilai memastikan elektabilitas dan aksesibilitas Ahok boleh jadi sudah klimaks, sementara Djarot belum sampai pada titik klimaks.


Editor : Hindra Liauw
Sumber: Antara

Tidak ada komentar: