Minggu, 18 Januari 2015

MENGAPA Jenderal (Pol) Sutarman DIBERHENTIKAN ? APA DOSANYA? , Mengapa Kabareskrim Suhardi Alius dimutasi pada saat seperti ini?

Mengapa Sutarman Tolak Tawaran Jabatan dari Jokowi?

Fabian Januarius Kuwado/KOMPAS.com Upacara pedang pora mengantarkan Jenderal Pol Sutarman dan istri keluar dari auditorium PTIK, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan pada Rabu (21/1/2015).

JAKARTA, KOMPAS.com — Setelah tidak lagi menjabat sebagai Kepala Polri, Jenderal (Pol) Sutarman menyatakan ingin mendedikasikan hidupnya untuk membantu rakyat. Ia menolak tawaran Presiden Joko Widodo untuk menjadikannya sebagai duta besar ataupun komisaris badan usaha milik negara.
"Saya terima kasih sudah ditawarkan itu. Saya bekerja di pemerintahan hampir 34 tahun. Sisa hidup saya akan saya gunakan untuk membantu rakyat yang masih membutuhkan," ujar Sutarman di Kompleks Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Rabu (21/1/2015) siang.
Sutarman menegaskan bahwa dia tidak akan terjun lagi ke pemerintahan atau dunia politik. Ia ingin pulang kampung ke Sukoharjo, Jawa Tengah. Dia tak berkantor lagi di Mabes Polri sampai masuk masa pensiun pada Oktober 2015. Selain bergerak di bidang sosial, Sutarman pun akan melanjutkan pekerjaan ayahnya, yakni bertani.
"Dengan bertani, saya ikut membantu program pemerintah dalam mewujudkan swasembada pangan. Saya akan habiskan sisa hidup saya untuk membantu masyarakat yang membutuhkan bantuan, butuh sentuhan lembut tangan-tangan kita. Saya akan gunakan tangan saya untuk itu," ujar dia.
Sutarman tak lagi menjabat sebagai Kapolri sejak Jumat (16/1/2015) setelah Presiden Jokowi meneken keputusan presiden tentang pemberhentian Sutarman sebagai Kapolri (baca: Jokowi Tawarkan Sutarman Jabatan Dubes atau Komisaris BUMN). Presiden kemudian menunjuk Wakapolri Komjen Badrodin Haiti untuk melaksanakan tugas, wewenang, dan tanggung jawab kepala Polri.
Presiden juga menunda pelantikan Komjen Budi Gunawan sebagai kepala Polri untuk menggantikan Sutarman. Penundaan itu dilakukan setelah Budi ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi oleh KPK.

Penulis: Fabian Januarius Kuwado
Editor : Laksono Hari Wiwoho

Mike Reyssent 

OPINI | 17 January 2015 | 05:18  
14214456001903385423
Dok Pribadi
Kisruh pencalonan Komisaris Jenderal Polisi Budi Gunawan sebagai Kapolri tampaknya “bisa dianggap sudah selesai” walaupun belum 100 persen karena Presiden Jokowi sudah menunda pelantikannya. Namun masalah itu masih menyisakan banyak pertanyaan di masyarakat.
Mari kita simak kronologisnya…
Sewaktu Presiden Jokowi ingin menetapkan Komjen Pol Budi Gunawan sebagai calon Kapolri, Jokowi mendapatkan data dari Kompolnas yang menyatakan bahwa berdasarkan hasil penyelidikan Polri pada 2010, Budi tidak memiliki masalah transaksi keuangan.
“Sebelum penyelidikan itu, PPATK telah menyerahkan laporan hasil analisis (LHA) pada Maret 2010 kepada Polri atas harta dan kekayaan Budi Gunawan. Ini berbeda dengan data yang dimiliki PPATK (baca selengkapnya di kompas.com)
Setelah itu KPK mendapat laporan dari masyarakat pada bulan juli 2014, terkait dugaan penerimaan gratifikasi yang dilakukan oleh Budi Gunawan.
Pertanyaannya yang menarik adalah…
Mengapa Kompolnas memberikan data yang surat berkop Bareskrim Polri bukan yang berasal dari PPATK? Apakah Kompolnas tidak tahu bahwa PPATK mempunyai data lain? Kompolnas mendapat darimana surat berkop Bareskrim Polri yang diberikan kepada Presiden Jokowi?
Pertanyaan pertanyaan itulah yang mesti dijelaskan secara gamblang oleh Kompolnas sehingga akan membuat kasus ini jadi jelas. Karena penetapan Budi Gunawan sebagai Calon Kapolri semua awalnya berasal dari nama nama yang diberikan oleh Kompolnas!!!
Siapa yang memberi data ke KPK terkait kasus penerimaan gratifikasi yang diduga dilakukan oleh Budi Gunawan? Apakah KPK menetapkan tersangka Budi Gunawan berdasarkan hasil analisi yang dikirim PPATK pada bulan Agustus 2014 atau memang benar dari laporan masyarakat? Benarkah laporan yang diterima KPK itu berasal dari polisi?
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Bambang Widjojanto sudah membantah bahwa laporan itu berasal dari masyarakat bukan dari polisi namun ada sesuatu yang janggal terkait dengan dimutasinya Kabareskrim Mabes Polri, Komisaris Jenderal Suhardi Alius pada saat saat seperti ini…
Mengapa Kabareskrim Suhardi Alius dimutasi pada saat seperti ini? Apakah Kabareskrim Komjen Suhardi Alius  yang memberikan data kepada KPK?
Kepala Badan Reserse Kriminal Mabes Polri Komisaris Jendral Suhardi Alius membenarkan bahwa dirinya dimutasikan jabatannya oleh Presiden Joko Widodo. Menurut Suhardi pemutasian sepihak yang dilakukan Jokowi karena adanya fitnah yang menuju kepada dirinya.
Fitnah tersebut dilancarkan karena dirinya yang menjabat sebagai Kabareskrim dan sering berhubungan dengan KPK dan PPATK. “Saya difitnah,” kata Suhardi singkat saat dihubungi wartawan, Jumat (16/1).( http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/hukum/15/01/16/ni9bd9-dimutasi-dari-kabareskrim-suhardi-alius-saya-difitnah)
Ada sesuatu yang aneh sewaktu Presiden Jokowi mengumumkan penundaan pelantikan Komisaris Besar Polisi Budi Gunawan sebagai Kapolri, yaitu memberhentikan dengan hormat Jenderal Sutarman sebagai Kapolri.
Presiden menyatakan, mulai sore ini, jabatan kepala Polri tidak lagi dipegang oleh Jenderal (Pol) Sutarman. Sebagai gantinya, Wakil Kepala Polri Komisaris Jenderal (Pol) Badrodin Haiti akan melaksanakan tugas, wewenang, dan tanggung jawab kepala Polri. (Kompas.com)
Mengapa Presiden Jokowi langsung memberhentikan Kapolri Jenderal Sutarman, disaat Presiden Jokowi menunda pelantikan Komjen Budi Gunawan sebagai Kapolri yang baru? Padahal Jenderal Sutarman masih bisa menjabat sebagai Kapolri sampai mendekati usia pensiunnya bulan Oktober 2015 nanti? Ada ada dibalik pemberhentian Sutarman?
Apakah yang menyebabkan Jenderal Sutarman diberhentikan sebagai Kapolri? Apakah Sutarman dikudeta perwira bawahannya???
“Makanya, jangan berpolitik, tirulah saya. Untuk jadi Kapolri, cukup didoakan anak-anak yatim aja,” kata Sutarman.
Para pejabat utama bintang 3 yang hadir disitu, terutama Kabareskrim Komjen Suhardi Alius, terlihat tertawa mendengar Sutarman mengatakan seperti itu. Lalu mereka terkejut, ternyata seluruh polisi yang mendengarkan pengarahan Sutarman, bereaksi keras. Kapolri Sutarman disoraki,
“Huuuuuuuuuuuuuuuuuuuuu”.
Terus menerus Sutarman disoraki seperti itu,
“Huuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuu”.
Semua polisi yang mendengarkan pengarahan itu menyoraki Sutarman.
Sepertinya Sutarman lalu tersadar, bahwa ia sudah mengatakan sesuatu yang keliru.
Lalu Kapolri mengatakan lagi seperti ini. “Silahkan sekarang, kalian mau marah sama saya, atau mau caci maki saya, ndak papa, silahkan.”
Sutarman makin disoraki oleh bawahan-bawahannya.
Bahkan polisi-polisi ada yang berteriak, “Lawan KPK. Lawan. Lawan.”
Terdiamlah Sutarman dan oknum jenderal bintang 3 yang awalnya sempat tertawa cengengesan saat Sutarman mengecam pernyataan salah satu Anggota Komisi III bahwa Budi Gunawan adalah orang yang ikut menyusun visi dan misi di bidang keamanan.Lalu, satu polisi berbicara dengan lantang bahwa KPK sudah mempermalukan institusi Polri dan yang sangat mengherankan mengapa Kapolri justru tidak membela institusinya.
Terkejutlah Sutarman bahwa ia sudah tak dikehendaki bawahan-bawahannya dalam acara pengarahan itu. Polisi-Polisi sudah menganggap bahwa Sutarman sudah tak lagi punya wibawa saat ia membiarkan institusi mereka dipermalukan oleh KPK.

Bayangkan, seorang Kapolri sedang memberikan pengarahan di hadapan anak buah, tapi ternyata polisi-polisi di level menengah ke bawah, termasuk para perwira tinggi, tak nyaman dengan gaya Sutarman yang memilih untuk mengorbankan institusi Kepolisian, demikian broadcas yang diterima Perwira di sumber Mabes Polri belum ada jawab Sutarman mengenai hal ini.
Walaupun, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Tedjo Edhi Purdjiatno sudah menyatakan bahwa tidak ada perang bintang di tubuh Polri tapi dengan pernyataan itu dan dengan melihat fakta yang terjadi, makin menegaskan adanya tarik menarik kepentingan serta adu kekuatan ditubuh Polri.

Yusril kritik cara Jokowi berhentikan Sutarman

Reporter : Yulistyo Pratomo | Sabtu, 17 Januari 2015 14:27
Yusril kritik cara Jokowi berhentikan Sutarman
Yusril Ihza Mahendra bersaksi di sidang Anas. ©2014 Merdeka.com/Dwi Narwoko Merdeka.com - Pemberhentian Jenderal Sutarman dan penunjukan Komjen Budi Gunawan untuk menggantikannya menuai polemik. Bahkan, pengamat hukum tata negara, Yusril Ihza Mahendra ikut mengkritik cara Jokowi melakukan reorganisasi di Korps Bhayangkara.

Yusril menyatakan, proses pemberhentian yang dilakukan Jokowi terhadap Sutarman bertentangan dengan undang-undang, sebab pemberhentiannya tidak melalui persetujuan DPR terlebih dahulu.

"Saya ingat betul perdebatan perumusan pasal ini DPR ketika saya mewakili Pemerintah membahas RUU Kepolisian. Mestinya Presiden dan DPR tahu bahwa pengangkatan dan pemberhentian Kapolri dilakukan satu paket bukan dipisah," tulis Yusril dalam akun @Yusrilihza_Mhd, Sabtu (17/1).

Pernyataan yang disampaikan Yusril ini merujuk pada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian. Di mana dalam Pasal 11 ayat (2) tertulis, "Usul pengangkatan dan pemberhentian Kapolri diajukan oleh presiden kepada Dewan Perwakilan Rakyat disertai alasannya."

Berdasarkan alasan itu, maka Presiden Jokowi tidak bisa seenaknya memberhentikan Sutarman dari jabatannya. Pengajuan pemberhentian pun harus disertakan dalam pengajuan calon Kapolri baru yang ditujukan kepada DPR.

"Presiden tidak bisa berhentikan Kapolri tanpa meminta persetujuan DPR seperti sekarang dilakukan terhadap Sutarman. Kecuali karena alasan mendesak, presiden dapat berhentikan Kapolri tanpa minta persetujuan DPR," tegas dia.

Yusril menambahkan, dalam mengajukan pemberhentian harus memenuhi salah satu syarat sesuai yang tercantum dalam undang-undang, yakni melanggar sumpah jabatan atau dianggap membahayakan keamanan negara. Jika itu terpenuhi, maka Jokowi bisa memberhentikan Kapolri dan menunjuk Plt tanpa harus melalui persetujuan DPR.

"Apakah Sutarman melakukan pelanggaran sumpah jabatan atau melakukan makar sebelum diberhentikan presiden? Saya tidak tahu."

Tak hanya soal pemberhentian, berdasarkan undang-undang tersebut pula, pengangkatan Plt Kapolri juga harus melalui persetujuan dewan.

"Pada saat yg bersamaan, presiden harus meminta persetujuan DPR tentang pengangkatan Plt tadi," tutupnya.

Sutarman Tolak Iming-Iming Jabatan dari Jokowi

Sutarman Tolak Iming-Iming Jabatan dari JokowiSutarman Tolak Iming-Iming Jabatan dari Jokowi (Foto: Dok Okezone)
JAKARTA - Meski sudah tidak menjabat sebagai Kapolri, Jenderal Sutarman dipastikan masih menjadi polisi aktif hingga masa pensiunnya bulan Oktober 2015.
Sekretaris Kabinet, Andi Widjajanto, mengatakan sampai saat Sutarman pensiun, Jenderal bintang empat itu memilih tidak menjabat posisi penting apapun.
"Setahu saya Pak Tarman memilih untuk pensiun nanti di bulan Oktober 2015 tanpa ada penugasan. Apa pun. Itu permintaan pribadi dari beliau," ujar Andi, di Kompleks Istana Negara, Senin (19/1/2015).
Kata Andi, Jenderal aktif tanpa jabatan sering terjadi di kalangan TNI-Polri. "Kalau di kepolisian seperti Dai Bachtiar, diganti sebagai Kapolri dan masih aktif sebagai Jenderal penuh satu tahun lebih. Pak Tedjo sendiri sebagai Menko Polhukam diganti Kasal dan masih sebagai Laksamana bintang 4 penuh untuk TNI-Polri," terangnya.
Sementara, saat disinggung soal penawaran posisi penting yang ditawarkan Presiden Jokowi untuk Sutarman, Andi mengaku belum mengetahuinya secara pasti. "Setahu saya belum ada penugasan baru dari Presiden," kata Andi.
Sebelumnya, Menko Polhukan Tedjo Edhy Purdijanto mengatakan, Presiden Jokowi menawarkan beberapa posisi penting untuk Jenderal Sutarman diantaranya adalah mengisi kursi BUMN ataupun duta besar.
(ded)

"Dosa Sutarman karena Tidak Mampu Tuntaskan Kasus Obor Rakyat"

Sabtu, 17 Januari 2015 | 18:06 WIB
KOMPAS.com/INDRA AKUNTONO Presiden Joko Widodo mengumumkan menunda melantik Komisaris Jenderal Budi Gunawan sebagai Kapolri di Istana Merdeka, Jumat (16/1/2015) malam. Sebagai gantinya, Jokowi menunjuk Wakapolri Komjen Badrodin Haiti untuk melaksanakan tugas sebagai Kapolri.
JAKARTA, KOMPAS.com - Belum selesainya penanganan kasus Obor Rakyat oleh Mabes Polri dinilai sebagai salah satu alasan pergantian kepala Polri oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi). Hal itu dikatakan akademisi dan pemerhati komunikasi politik Tjipta Lesmana.

"Dosa Sutarman karena tidak mampu tuntaskan kasus Obor Rakyat. Jokowi-JK itu benci sekali. Kenapa kasus begitu jelas penghinaan, sejak awal tidak bisa dituntaskan. Begitu Jokowi jadi Presiden langsung dicopot Sutarman," ujar Tjipta, saat ditemui seusai menjadi pembicara dalam diskusi di Kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (17/1/2015).

Tjipta mengatakan, dalam penanganan kasus tersebut, mantan Kapolri Jenderal Sutarman seperti tidak bisa berbuat banyak. Tjipta kemudian mengaitkan kasus Obor Rakyat tersebut dengan dugaan keterlibatan salah satu pejabat tinggi negara yang pada saat itu dekat dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

"Itu sudah jelas unsur fitnahnya, tetapi kok tidak bisa. Kaki dan tangan Sutarman seperti diikat, anda sudah tahu semua, kasus itu melibatkan orang dalam istana," kata Tjipta.

Pada Jumat (16/1/2015), Presiden Joko Widodo telah mengeluarkan keputusan presiden. Keppres tersebut berisi keputusan pemberhentian Jenderal Sutarman dari jabatan Kepala Polri. Kemudian, Jokowi menunjuk Wakil Kepala Polri Komisaris Jenderal (Pol) Badrodin Haiti sebagai pelaksana tugas Kapolri.

Beberapa waktu lalu, penyidik dari Kejaksaan Agung menyatakan, berkas perkara kasus pencemaran nama baik dan penghinaan terhadap Joko Widodo melalui tabloid Obor Rakyat telah lengkap atau P21 sejak Senin (12/1/2015). Jika tidak ada kendala, kasus ini akan segera disidangkan.

Penyidik telah menetapkan status tersangka pada Pemimpin Redaksi Obor Rakyat Setiyardi Budiono dan penulisnya, Darmawan Sepriyosa. Namun, hingga kini, keduanya tidak ditahan. Keduanya dijerat Pasal 310 dan Pasal 311 terkait Pencemaran Nama baik, Pasal 156 dan Pasal 157 KUHP terkait Penghinaan dan Penyebaran Kebencian.

Penanganan kasus Obor Rakyat di Mabes Polri sempat menemui kendala. Penyidik dari Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri kesulitan mencari jadwal pemeriksaan terhadap Presiden Joko Widodo, yang saat itu baru terpilih sebagai Presiden RI.


Penulis: Abba Gabrillin
Editor : Ana Shofiana Syatiri

Tidak ada komentar: