Yuli Yanna Fauzie , CNN Indonesia | Selasa, 24/10/2017 11:38 WIB
Digitalisasi, menurutnya, bisa saja menjadi salah satu alasan karena minat masyarakat bisa jadi berubah ke aplikasi belanja dalam jaringan (online). Hal itu akhirnya menyebabkan pamor toko ritel fisik mulai luntur dan berujung pada penghentian operasional.
Hanya saja, digitalisasi sebenarnya tak mengurangi kontribusi sektor ritel terhadap perekonomian. Sebab, Ani mengklaim bahwa kantong penerimaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) per September lalu masih cukup berat. Artinya, masih ada sumbangan dari konsumsi masyarakat terhadap produk ritel itu.
Hanya saja, Mantan petinggi Bank Dunia enggan memberi kesimpulan terlalu dini bahwa digitalisasi sebagai satu-satunya kambing hitam. Dia hanya menyampaikan bahwa pemerintah masih perlu menganalisanya lebih dalam.
Selain itu, menurutnya, pemerintah juga perlu melihat imbas digitalisasi ke sektor lain. "Kami akan juga melihat kepada sektor lain, apakah mereka menghadapi tekanan atau ada perubahan karena konsep digitalisasi ini," imbuhnya.
Bersamaan dengan itu, ia juga memastikan, ke depannya akan ada penyesuaian kebijakan dengan hasil analisa yang didapat. Namun, ia belum bisa memberi sinyal kebijakan apa saja yang akan disesuaikan lebih dulu oleh pemerintah.
"Saya sampaikan kami akan terus memantau dan merespon dengan berbagai kebijakan-kebijakan, baik dari sisi belanja negara, perpajakan, dan penerimaan negara," pungkasnya.
Seperti diketahui, beberapa gerai ritel berguguran tahun ini, misalnya Seven Eleven, delapan gerai Ramayana, dua gerai Matahari Department Store, hingga yang teranyar, tiga gerai Lotus dan satu gerai Debenhams.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar