UPAYA mengatasi ketimpangan kepemilikan lahan tidak cukup hanya
dengan pembagian secara simbolis sertifikat tanah. Program pemerintah
Joko Widodo untuk menyelesaikan pembuatan 125 juta sertifikat di seluruh
bidang tanah pada 2025 baru merupakan langkah awal untuk memecahkan
problem utama tersebut.
Sudah pasti, timpangnya kepemilikan lahan itu juga tidak bisa diselesaikan dengan perdebatan di publik antara politikus Amien Rais dan Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut B. Pandjaitan. Sebagai oposan, Amien secara berlebihan menyatakan pembagian sertifikat tanah oleh Jokowi sebagai bentuk pengibulan. Luhut, tak kalah berlebihan, membalas tudingan itu dengan mengancam akan membongkar aib pengkritik pemerintah.
Melihat
ke belakang, sertifikasi lahan yang merupakan bagian dari reformasi
agraria sebenarnya telah dimulai pada era pemerintah Susilo Bambang
Yudhoyono. Kepala Badan Pertanahan Nasional Joyo Winoto ketika itu
menyatakan reformasi agraria-ia menamainya "reforma agraria"-merupakan
"kebijakan pembangunan yang berkeadilan sosial".
Harus diakui, pemerintah Jokowi secara eskalatif mempercepat program
itu. Pada era Yudhoyono, saban tahun cuma 800-1.000 sertifikat yang
diterbitkan. Meski tidak sesuai dengan target 5 juta sertifikat, tahun
lalu pemerintah Jokowi menyelesaikan 4,2 juta di antaranya. Hampir
setiap pekan Jokowi berkunjung ke daerah dan secara simbolis membagikan
sertifikat tanah.
Ada sejumlah problem pada program sertifikasi ini. Sengketa dan tumpang-tindih kepemilikan lahan merupakan masalah klasik program ini. Sengketa yang melibatkan ratusan ribu keluarga dengan jutaan hektare lahan ini sering mengakibatkan korban jiwa. Program sertifikasi juga bisa terhambat karena masalah teknis, seperti keterbatasan jumlah juru ukur.
Masalah lain yang tak kalah pelik dalam program sertifikasi lahan-dan reformasi agraria-adalah tumpang-tindihnya aturan. Pada awal pemerintahan Jokowi, menurut kajian BPN, terdapat 21 undang-undang, 49 peraturan presiden, 22 keputusan presiden, 4 instruksi presiden, 469 peraturan, keputusan, surat edaran, serta instruksi Menteri Negara/Kepala BPN tentang pertanahan yang tidak sinkron.
Menyelesaikan problem-problem itu jauh lebih penting daripada acara simbolis pembagian sertifikat. Apalagi sertifikasi tanah jelas bukan tujuan akhir dari program reformasi agraria. Ada target lebih mendasar, yaitu menyelaraskan percepatan sertifikasi dengan penataan ketimpangan kepemilikan tanah.
Ketimpangan yang telah berlangsung bertahun-tahun itu terlihat dari data berikut ini. Lebih dari 70 persen aset nasional produktif yang sebagian besar berupa tanah dikuasai 0,02 persen penduduk. Lebih dari separuh jumlah petani di negeri ini memiliki lahan pertanian kurang dari setengah hektare.
Kita perlu mengingatkan janji kampanye Jokowi-Jusuf Kalla untuk membagikan tanah seluas 9 juta hektare dan meningkatkan kepemilikan lahan petani gurem. Reformasi agraria berarti bukan sekadar bagi-bagi tanah, melainkan perombakan penguasaan dan kepemilikan tanah.
Kesungguhan pemerintah memenuhi janji-janji itu jauh lebih penting daripada secara berlebihan menanggapi kritik oposan seperti Amien Rais.
Sudah pasti, timpangnya kepemilikan lahan itu juga tidak bisa diselesaikan dengan perdebatan di publik antara politikus Amien Rais dan Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut B. Pandjaitan. Sebagai oposan, Amien secara berlebihan menyatakan pembagian sertifikat tanah oleh Jokowi sebagai bentuk pengibulan. Luhut, tak kalah berlebihan, membalas tudingan itu dengan mengancam akan membongkar aib pengkritik pemerintah.
Sudah
lazim "oposisi" mengeksploitasi kelemahan pemerintah. Sebaliknya,
penguasa melebih-lebihkan keberhasilannya. Atas nama kebaikan bersama,
kedua pihak semestinya menggunakan data akurat dalam berargumen. Amien
seharusnya tidak sembarangan melontarkan kritik dan semaunya mengutip
data. Kritik asal bunyi akan menambah riuh kabar bohong di media massa.
Ada sejumlah problem pada program sertifikasi ini. Sengketa dan tumpang-tindih kepemilikan lahan merupakan masalah klasik program ini. Sengketa yang melibatkan ratusan ribu keluarga dengan jutaan hektare lahan ini sering mengakibatkan korban jiwa. Program sertifikasi juga bisa terhambat karena masalah teknis, seperti keterbatasan jumlah juru ukur.
Masalah lain yang tak kalah pelik dalam program sertifikasi lahan-dan reformasi agraria-adalah tumpang-tindihnya aturan. Pada awal pemerintahan Jokowi, menurut kajian BPN, terdapat 21 undang-undang, 49 peraturan presiden, 22 keputusan presiden, 4 instruksi presiden, 469 peraturan, keputusan, surat edaran, serta instruksi Menteri Negara/Kepala BPN tentang pertanahan yang tidak sinkron.
Menyelesaikan problem-problem itu jauh lebih penting daripada acara simbolis pembagian sertifikat. Apalagi sertifikasi tanah jelas bukan tujuan akhir dari program reformasi agraria. Ada target lebih mendasar, yaitu menyelaraskan percepatan sertifikasi dengan penataan ketimpangan kepemilikan tanah.
Ketimpangan yang telah berlangsung bertahun-tahun itu terlihat dari data berikut ini. Lebih dari 70 persen aset nasional produktif yang sebagian besar berupa tanah dikuasai 0,02 persen penduduk. Lebih dari separuh jumlah petani di negeri ini memiliki lahan pertanian kurang dari setengah hektare.
Kita perlu mengingatkan janji kampanye Jokowi-Jusuf Kalla untuk membagikan tanah seluas 9 juta hektare dan meningkatkan kepemilikan lahan petani gurem. Reformasi agraria berarti bukan sekadar bagi-bagi tanah, melainkan perombakan penguasaan dan kepemilikan tanah.
Kesungguhan pemerintah memenuhi janji-janji itu jauh lebih penting daripada secara berlebihan menanggapi kritik oposan seperti Amien Rais.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar