Sabtu, 19 Januari 2013

Ibu Kota Jakarta Layak Dipindahkan



 Antara/Fanny Octavianus
TEMPO.CO, Pontianak -Jika Mantan Wakil Presiden RI, Jusuf Kalla, tidak setuju dengan wacana pemindahan ibukota Negara, Bupati Kubu Raya, Muda Mahendrawan, menyatakan sebaiknya wacana tersebut harus dikaji lebih arif tanpa mengorbankan kepentingan bangsa yang lebih besar.
Salah satu kepala daerah terbaik versi Tempo ini menyatakan, adanya wacana tersebut menunjukkan ada kerisauan dan kepanikan terhadap kondisi Jakarta. "Wacana ini ditangkap secara reaktif dan terkesan euphoria di sejumlah daerah di luar Jawa yang dengan tegas menyatakan siap menjadi ibukota Negara," katanya kepada TEMPO, Selasa 22 Januari 2013.
Dia mengatakan, kondisi kemacetan lalu lintas di Jakarta yang massif dirasakan sangat radikal dan bahkan -berdasarkan peningkatan jumlah penduduk dan kendaraan-, diprediksi akan lumpuh (macet) total mulai tahun 2014, banjir dimana-mana, ancaman gempa, krisis air serta diselimuti udara yang kotor menjadi alasan kuat mendorong berbagai pendapat atas wacana Reposisi (pemindahan) tersebut.
Dengan jumlah penduduk lebih dari 14 juta jiwa dinilai mencemaskan untuk masa depan. Muda menambahkan, kualitas hidup di Jakarta dinilai menurun dimana tingkat pengangguran tinggi, angka kejahatan meningkat, pemukiman kumuh masih bertebaran dan rentan, polusi dan sanitasi buruk.
"Jakarta pun dianggap dalam kondisi sakit komplikasi sehingga tidak layak lagi menjadi pusat pemerintahan Negara," katanya. Bagaimanapun problematika kemacetan, lanjutnya, mudah banjir dan masalah lainnya yang melanda Jakarta akan menjadi problem bagi daerah-daerah lain karena berimplikasi luas secara nasional.
Muda mengatakan, sebagai bagian anak bangsa, dia tergerak untuk memberikan buah pikiran sebagai solusi jalan tengah alternative atas diskursus yang berkembang belakangan ini.
"Dengan relokasi pusat pemerintahan ke dalam satu kawasan bersama akan berdampak lahirnya pusat-pusat pertumbuhan. Pemindahan pusat pemerintah dari Jakarta, apabila dapat dilakukan dengan baik, punya efek positif, baik bagi Jakarta sendiri maupun Indonesia secara keseluruhan," tuturnya lagi.
Dalam sejarahnya perpindahan pusat pemerintahan sendiri bukanlah hal baru terjadi. Indonesia sudah mengalami beberapa kali perpindahan. Pusat pemerintah pernah dipindahkan ke Bogor, Yogyakarta bahkan ke Bukit Tinggi, Sumatera Barat. Pada saat itu disebabkan dampak kondisi sosial politik yang serba dalam keadaan darurat di masa perjuangan dan kemerdekaan RI yang baru diraih.
ASEANTY PAHLEVI
MERDEKA.COM,Jakarta sebagai ibu kota negara kini sudah tidak ideal lagi. Kota ini menyimpan segudang masalah. Mulai dari kemacetan akut, kepadatan penduduk, pembangunan tak terencana hingga banjir yang selalu mengintai jika musim hujan datang.

Presiden Soekarno pada tahun 1950-an sudah meramalkan Jakarta akan tumbuh tak terkendali. Soekarno dulu punya mimpi memindahkan ibu kota Republik Indonesia dari Jakarta ke Palangkaraya, Kalimantan Tengah.

Mengapa Palangkaraya? Ada beberapa pertimbangan Soekarno. Pertama Kalimantan adalah pulau terbesar di Indonesia dan letaknya di tengah-tengah gugus pulau Indonesia. Kedua menghilangkan sentralistik Jawa.

Selain itu, pembangunan di Jakarta dan Jawa adalah konsep peninggalan Belanda. Soekarno ingin membangun sebuah ibu kota dengan konsepnya sendiri. Bukan peninggalan penjajah, tapi sesuatu yang orisinil.

"Jadikanlah Kota Palangkaraya sebagai modal dan model," ujar Soekarno saat pertama kali menancapkan tonggak pembangunan kota ini 17 Juli 1957.

Satu hal lagi, seperti Jakarta yang punya Ciliwung, Palangkaraya juga punya  punya sungai Kahayan. Soekarno ingin memadukan konsep transportasi sungai dan jalan raya, seperti di negara-negara lain.

Soekarno juga ingin Kahayan secantik sungai-sungai di Eropa. Di mana warga dapat bersantai dan menikmati keindahan kota yang dialiri sungai.

"Janganlah membangun bangunan di sepanjang tepi Sungai Kahayan. Lahan di sepanjang tepi sungai tersebut, hendaknya diperuntukkan bagi taman sehingga pada malam yang terlihat hanyalah kerlap-kerlip lampu indah pada saat orang melewati sungai tersebut," kata Soekarno.

Untuk mewujudkan ide itu Soekarno bekerjasama dengan Uni Soviet. Para insinyur dari Rusia pun didatangkan untuk membangun jalan raya di lahan gambut. Pembangunan ini berjalan dengan baik.

Tapi seiiring dengan terpuruknya perekonomian Indonesia di awal 60an, pembangunan Palangkaraya terhambat. Puncaknya pasca 1965, Soekarno dilengserkan. Soeharto tak ingin melanjutkan rencana pemindahan ibukota ke Kalimantan. Jawa kembali jadi sentral semua segi kehidupan.

Kini Jakarta makin semrawut, sementara pembangunan di  Palangkaraya berjalan lambat. Hampir tak ada tanda kota ini pernah akan menjadi ibukota RI yang megah.

Hanya sebuah monumen berdiri menjadi pengingat Soekarno pernah punya mimpi besar memindahkan ibukota ke Palangkaraya.
Sumber: Merdeka.com

Tidak ada komentar: