Selasa, 27 Januari 2015

Serangan dan tekanan PDIP terhadap JOKOWI, Presiden Prematur ! Saatnya Menjatuhkan Jokowi ! Belum Bisa Buktikan Bukan Boneka Megawati!

Effendi Simbolon: Ini Saatnya Menjatuhkan Jokowi

 Republika/Agung Supriyanto
Politikus PDIP, Effendi Simbolon.
Politikus PDIP, Effendi Simbolon.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Effendi Simbolon melontarkan berbagai kritikan terhadap pemerintahan Jokowi-JK yang telah berjalan 100 hari. Bahkan menurutnya, ini saat yang tepat bagi siapapun yang berniat menjatuhan pemerintahan Jokowi-JK. Sebab, ia menilai pemerintahan Jokowi-JK memiliki banyak celah untuk dimakzulkan oleh lawannya.

"Siapapun yang berniat menjatuhkan Jokowi, saatnya sekarang. Karena begitu banyak celahnya dan mudah-mudahan dua-duanya (Jokowi-JK) yang jatuh," katanya di Universitas Paramadina, Senin (26/1). Namun Effendi mengingatkan jika Jokowi dijatuhkah, maka Jusuf Kalla sebagai Wapres juga harus turun.
"Ya jangan satu mengimpeach (memakzulkan) yang satu dong, kalau mau jatuh dua-duanya jatuh, kalau di Senayan mau jatuhkan yang no 1, saya jatukan juga yang no dua (JK)," ujarnya.

Effendi juga mengibaratkan pemerintahan Jokowi ini layaknya pesawat yang tengah mengalami turbulensi. Ia pun mengkhawatirkan terjadinya turbulensi kedua, yakni saat pembahasan rancangan APBN-P 2015 di DPR nanti. "Kalau itu turbulance politik, kalau itu tidak disahkan, maka APBN yang digunakan itu yang 2015. Kalau itu yang digunakan, game over pemerintahan. Preventifnya enggak ada," jelasnya.
 

Effendi Simbolon Tuding Andi Widjajanto Pengkhianat

Senin, 26 Januari 2015, 18:08 WIB ,Republika/Agung Supriyanto
 Politikus PDIP, Effendi Simbolon. 
Politikus PDIP, Effendi Simbolon.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Effendi Simbolon menyebut Sekretaris Kabinet (Seskab) Andi Widjajanto sebagai seorang pengkhianat. Dia menilai, saran-saran yang diberikan oleh Andi kepada Presiden Jokowi sering kali tak tepat dan tak memberikan jalan keluar.

Selain itu, Effendi juga menyebut Andi sebagai tokoh baru dalam politik yang kurang berpengalaman. "Itu pengkhianat, nggak tahu diri, anak baru kemarin tapi sudah sok atur republik ini," kata Effendi di Universitas Paramadina, Jakarta, Senin (26/1). Lanjut dia, saran Andi yang kurang berpengalaman dan tak tepat ini juga diperburuk dengan posisi Jokowi yang dinilainya terlalu cepat menjadi presiden. Bahkan, ia menyebut jabatan Jokowi sebagai Presiden masih prematur.

"Tapi presidennya juga prematur ya susah, yang ngatur anak kecil, yang diatur prematur ya susah, inkubator jadinya," tambahnya.
Jumat, 30/01/2015 18:12 WIB

Kerasnya Tekanan PDIP ke Jokowi

Danu Damarjati - detikNews
Jakarta - Kepada Tim 9 yang diketuai Syafi'i Ma'arif, Presiden Jokowi mengaku ada tekanan dari parpol. Tekanan itu nyata-nyata ada dan terus diucapkan oleh para elite PDIP.

PDIP sampai hari ini masih terus mendorong Jokowi melantik Komjen Budi Gunawan jadi Kapolri. Padahal saat ini masyarakat malah mendorong Jokowi membatalkan pelantikan karena tidak etis seorang tersangka memimpin lembaga penegakan hukum.

Suara santer didengungkan oleh FPDIP DPR. FPDIP mendorong Jokowi lekas melantik Komjen Budi dan tutup telinga dari suara banyak orang yang berbeda pandangan dengan KIH.

"Kalau terlalu banyak mendengarkan orang, bisa pusing sendiri. Jokowi harus firm. Kalau Pak BG sudah memenuhi konstitusi, maka lantik!" kata Sekretaris Fraksi PDIP DPR Bambang Wuryanto, Jumat (30/1/2015).

Tekanan tersebut bahkan ditambah bumbu berbau tekanan tentang kemungkinan partai banteng moncong putih itu menarik dukungan dari pemerintahan Jokowi. Tekanan itu disampaikan dengan memberi pesan seolah sikap mendukung PDIP kepada pemerintah bisa diubah di kongres bulan April mendatang.

"PDIP mendukung pemerintahan sampai ada perubahan lewat rakernas lagi atau forum yang lebih tinggi, yakni kongres," katanya.

Tentu saja pernyataan keras elite PDIP tersebut tentunya cukup mengganggu pikiran Jokowi. Namun di sisi lain pernyataan itu justru bisa jadi bumerang apalagi saat ini Jokowi mulai mendapatkan dukungan dari KMP.

Pertemuan Jokowi dengan Prabowo di Istana Bogor pada Kamis (29/1) kemarin membuka lebar peluang itu. Setelah Prabowo menyatakan dukungan penuh ke pemerintah, sejumlah kalangan menilai bisa jadi Jokowi menyeberang ke KMP yang saat ini lebih menghormatinya untuk mengambil keputusan sesuai kehendak rakyat.

Lalu di bawah tekanan kuat dari PDIP dan KIH akankah Jokowi berani mengambil sikap pro rakyat, menyelamatkan KPK? Dan pertanyaan paling ekstrem adalah, apakah Jokowi akan menyeberang ke KMP?


Indonesia jadi surga pelaku pedopilia dunia. Saksikan di program "Reportase Sore" TRANS TV Senin sampai Jumat pukul 16.45 WIB

(van/nrl)

Jokowi Dianggap Belum Bisa Buktikan Bukan Boneka Megawati

Rabu, 28 Januari 2015 | 07:21 WIB
TRIBUN MEDAN / RISKI CAHYADI Presiden Joko Widodo (Jokowi) tiba di Pangkalan Udara (Lanud) Suwondo, Medan, Sumatera Utara, Selasa (27/1/2015). Dalam kunjungan kerjanya ke Sumut, presiden akan meresmikan proyek pembangunan Terminal Multipurpose Pelabuhan Kualatanjung, proyek diversifikasi produk (ingot menjadi billet) dan pengembangan pabrik peleburan alumunium PT Inalum, pencanangan Kawasan Industri Terpadu Kualatanjung-Sei Mangkei, pembangunan Gardu induk Sei Mangkei, pembangunan pabrik minyak goreng di Sei Mangkei serta pencanangan operasional Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Sei Mangkei.

JAKARTA, KOMPAS.com - Pengamat politik Populi Center Nico Harjanto mengkritik 100 hari kinerja pemerintahan presiden Joko Widodo. Jokowi dianggap belum mampu membuktikan bahwa dirinya bukan "boneka" Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri.
"Saya rasa itu kunci persoalan. Jokowi sebagai kepala negara belum bisa keluar dari status petugas partai," ujar Nico di Jakarta, Selasa (27/1/2015).
Nico menyayangkan kondisi tersebut. Sebab, pada dasarnya dukungan rakyat terhadap pemerintahan Jokowi kuat. Rekam jejak Jokowi juga bersih. Oleh sebab itu, seharusnya keputusan politik yang diambil Jokowi berorientasi ke aspirasi rakyat, bukan malah ke partai politik.
Atas dukungan rakyat yang begitu besar tersebut, Nico melanjutkan, seharusnya juga dapat dijadikan daya tawar politik Jokowi kepada kekuatan politik di belakang Jokowi untuk berunding secara equal kedudukannya terkait kebijakan yang akan diambil.
"Bagaimana pun juga, sekarang Jokowi adalah pemimpin tertinggi negara kita. Sehingga tidak lagi ada di bawah bayang-bayang kekuasaan partai politik pengusung," ujar Nico.
Nico melihat keputusan politik yang diambil tak berdasarkan bayang-bayang partai politik, sangat dibutuhkan saat ini. Jika Jokowi masih memiliki kendala psikologis sebagai petugas partai, Nico yakin pemerintahannya ke depan akan kesulitan. Kepercayaan publik merosot dan terhambatnya program-program.
"Bahkan, ke depan akan sangat mungkin jika presiden lebih baik benar-benar lepas dari partai. Meski ini butuh langkah politik selanjutnya," ujar dia.
Melihat situasi politik saat ini, prediksi banyak pihak yang menyebut Koalisi Merah Putih (KMP) yang menjadi kendala pemerintah tidak terbukti. Rongrongan sehingga menyebabkan kegaduhan politik malah paling banyak terjadi dari partai koalisi. Tentang persoalan bahwa Jokowi harus mengelola dukungan di parlemen, Nico yakin akan dapat diselesaikan kasus demi kasus.
Dengan pola komunikasi dan program Jokowi yang pro rakyat, Nico yakin dukungan partai bukanlah persoalan utama.
Bayang-bayang
Koalisi Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) Petrus Selestinus menilai hal yang sama. Dia memberikan beberapa contoh bagaimana Jokowi dirongrong dan dibayang-bayangi oleh kekuatan politik di belakangnya. Pertama, yakni saat Trimedya Panjaitan mengatasnamakan Tim Hukum DPP PDI-P tanpa malu-malu mendesak Jokowi melantik tersangka korupsi Komjen Budi Gunawan menjadi Kapolri.
Di sisi lain Trimedya juga mengakui ke publik bahwa Budi adalah timses Jokowi-JK yang memiliki tugas khusus menyusun visi Jokowi-JK bidang Pertahanan dan Keamanan. Padahal UU Kepolisian melarang Polri ikut dalam politik praktis karena harus bersikap netral. (Baca: Politisi PDI-P Sebut Budi Gunawan Ikut Susun Visi Misi Hankam)
Kedua, semua lembaga yang berada disekitar ring satu presiden tidak steril dari hegomoni partai politik. Dewan Pertimbangan Presiden/Wantimpres yang diharapkan diisi oleh tokoh tokoh negarawan yang netral dan handal, justru diisi oleh para politisi yang dekat dengan pimpinan partai pengusung Jokowi. (Baca: Presiden Jokowi Lantik 9 Anggota Wantimpres
Ketiga, jabatan lain di Lembaga Kepresidenan seperti Kepala Staf dan Para Staf Khusus Presiden telah diisi oleh orang-orang partai politik dengan kualifikasi dan kriteria intelektual yang pas-pasan. Bahkan, mungkin juga bingung sendiri ketika menghadapi persoalan politik.
"Dengan konfigurasi dan komposisi politik tokoh-tokoh itu, sulit dibayangkan bagaimana presiden bisa bekerja penuh waktu menjawab persoalan rakyat banyak. Siapa yang bisa jamin presiden leluasa memenuhi janji, visi dan misi kampanye? Tidak ada, termasuk Jokowi sendiri karena sejak awal, dia berada di dalam jebakan kekuatan politik," ujar Petrus.
Petrus melihat, ada cara agar Jokowi tidak larut dalam pengaruh buruk kekuatan politik yang cenderung transaksional. Salah satunya, Jokowi harus punya tim independen yang bisa mengimbangi dan menyaring masukan berbagai pihak. Khususnya dari profesional yang telah berafiliasi dengan partai politik.
"Kekuatan politik sering memberikan masukan yang bersifat pragmatis, salah sasaran dan malah bisa menjerumuskan dan menempatkan Presiden Jokowi dalam kondisi dilematis. Oleh sebab itu harus ada penyaring. Tim ini harus memastikan independensi hak perogatif presiden," ujar Petrus.


Penulis: Fabian Januarius Kuwado
Editor : Bayu Galih

Kader Mulai Serang Jokowi, Ini Reaksi PDIPKader Mulai Serang Jokowi, Ini Reaksi PDIP

Effendi Simbolon sebelumnya menyebut Jokowi sebagai Presiden prematur.

Selasa, 27 Januari 2015 | 10:29 WIB,Oleh : Aries Setiawan, Agus Rahmat
Politikus PDIP Effendi SImbolon sebut Joko Widodo sebagai Presiden prematur. (Antara/ Indrianto Eko Suwarso)




VIVA.co.id - Sejumlah kader PDI Perjuangan mulai terang-terangan menyerang kepemimpinan Presiden Joko Widodo. Salah satunya Effendi Simbolon, yang bahkan memprediksi kalau kepemimpinan Jokowi tidak akan bertahan lama.

Menyikapi reaksi dari kader seperti itu, partai besutan Megawati Soekarnoputri ini pun angkat bicara.

"Menyikapi situasi akhir-akhir ini dengan terjadinya konflik antar KPK dengan Polri, kami semua berharap agar dapat menahan diri. Terutama kader-kader PDI Perjuangan," kata politikus senior PDIP, TB Hasanuddin, di Jakarta, Selasa 27 Januari 2015.

Wakil Ketua Badan Pemenangan Pemilu DPP PDIP ini meminta semua kader tidak membuat pernyataan-pernyataan yang memperkeruh suasana.

Purnawiran TNI ini meminta seluruh kader untuk kembali ke fatsun awal seperti yang disampaikkan Megawati Soekarnoputri kepada seluruh anggota Fraksi PDI Perjuangan di Hotel Luansa pada 11 Januari 2015.

"Ibu Ketua Umum secara tegas mengatakan bahwa PDI Perjuangan harus mendukung penuh Presiden yang didukung PDI Perjuangan, yaitu Presiden Jokowi-JK," kata Hasanuddin.

Dia mengatakan, segala keputusan Presiden Jokowi harus didukung oleh seluruh kader. "Jadi tidak ada pilihan lain, apa pun yang diputuskan Presiden Jokowi wajib didukung sepenuhnya oleh kader-kader PDIP," katanya.

Hasanuddin melihat saat ini loyalitas kader sedang diuji. Apakah tetap setia pada keputusan dan arahan Ketua Umum Megawati Soekarnoputri, atau sebaliknya.

Jadi keputusan apa pun nanti yang akan diambil oleh Presiden Jokowi, katanya, seluruh kader dapat memahami dan mendukung sepenuhnya dengan ikhlas. "Kepada para pejabat tinggi negara, saya mengimbau agar dalam membuat pernyataan-pernyataan lebih arif, dewasa, dan lebih negarawan. Jangan justru sebaliknya, memperruncing atau memperkeruh suasana dan kontraproduktif terhadap pemerintahan Jokowi," ujar Hasanuddin.

Dia meminta bersama-sama menyelesaikan masalah bangsa ini dengan arif dan bijak.

Presiden prematur

Effendi Simbolon juga pernah menilai Presiden Jokowi masih belum siap menjadi Presiden. Sebab, banyak hal yang ia tangani sendiri. "Presidennya juga prematur," kata Effendi, saat menjadi pembicara dalam Diskusi Publik 'Evaluasi 100 Hari Pemerintahan Jokowi-JK' yang diadakan Paramadina Graduate School of Communication di Kampus Paramadina, Jalan Sudirman, Jakarta, Senin 26 Januari 2015.

"100 hari belum cukup beri assessment. Saya tidak ingin cari kesalahan yang lama. Tetapi, berangkatnya pemerintahan ini terus terang antara nakhoda dengan kru tidak saling kenal. Bayangkan, kalau antarkru tidak saling kenal. Tetapi, sebuah keniscayaan. Ini harus kita terima."

Menurut Effendi, orang-orang di sekeliling Jokowi dalam menjalankan pemerintahan banyak yang tidak kompeten, sehingga membawa pengaruh buruk.

"Yang atur anak kecil, yang diatur prematur, inkubator jadinya. Ketika Presiden selesaikan masalah KPK-Polisi yang dipanggil Wantimpres dong, ring dalam dong dimanfaatkan. Tetapi, ini malah dipanggil orang di luar sistem," katanya.

Tidak ada komentar: