Teka-teki Eksekusi Terpidana Mati Tahap Kedua
LIPUTAN KHUSUS
SETELAH sukses melaksanakan eksekusi terpidana mati kasus narkoba tahap pertama pada tanggal 18 Januari 2015, Kejaksaan Agung kembali merencanakan eksekusi tahap kedua dengan mengambil lokasi di Pulau Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah.
Sama seperti saat rencana eksekusi tahap pertama digaungkan, pada perencanaan eksekusi tahap kedua pun penuh teka-teki, baik dari jumlah terpidana yang akan dieksekusi maupun waktu pelaksanaannya.
Pascapelaksanaan eksekusi tahap pertama, Kejaksaan Agung (Kejagung) pernah merilis 11 nama terpidana mati yang grasinya ditolak oleh Presiden Joko Widodo, tiga orang di antaranya terlibat kasus pembunuhan, sedangkan lainnya kasus narkoba. Mereka akan segera dieksekusi.
Sebanyak 11 terpidana mati itu, terdiri atas Syofial alias Iyen bin Azwar (WNI) kasus pembunuhan berencana, Mary Jane Fiesta Veloso (Filipina) kasus narkotika, Myuran Sukumaran alias Mark (Australia) kasus narkotika, Harun bin Ajis (WNI) kasus pembunuhan berencana, Sargawi alias Ali bin Sanusi (WNI) kasus pembunuhan berencana, dan Serge Arezki Atlaoui (Prancis) kasus narkotika.
Martin Anderson alias Belo (Ghana) kasus narkotika, Zainal Abidin (WNI) kasus narkotika, Raheem Agbaje Salami (Nigeria) kasus narkotika, Rodrigo Gularte (Brazil) kasus narkotika, dan Andrew Chan (Australia) kasus Narkotika.
Tidak lama berselang, Kejagung mengumumkan jika grasi yang diajukan terpidana mati Sylvester Obiekwe Nwolise alias Mustopa telah ditolak sehingga warga negara Nigeria itu juga akan segera dieksekusi.
Apalagi Silvester selama dalam penjara diketahui telah dua kali diciduk oleh Badan Narkotika Nasional (BNN) karena diduga terlibat dalam pengendalian bisnis narkoba, yakni pada tanggal 27 November 2012 saat menghuni Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Batu, Nusakambangan, dan tanggal 29 Januari 2015 setelah dipindah ke Lapas Pasir Putih, Nusakambangan.
Akan tetapi, belakangan Kejagung merilis 10 nama terpidana mati kasus narkoba yang akan segera dieksekusi, sembilan orang di antaranya merupakan nama-nama yang telah dirilis sebelumnya, sedangkan satu orang lainnya nama baru, yakni Okwudili Oyatanze (Nigeria).
Dari 10 nama terpidana mati tersebut, sembilan orang di antaranya telah berada di Nusakambangan, sedangkan satu orang lainnya, Mary Jane Fiesta Veloso, masih berada di Lapas Wirogunan, Yogyakarta, karena baru menjalani sidang peninjauan kembali (PK) di Pengadilan Negeri Sleman sehingga harus menunggu putusan pengadilan sebelum dipindahkan ke pulau penjara itu.
Selain itu, dari sembilan terpidana mati yang telah berada di Nusakambangan, enam orang di antaranya merupakan penghuni pulau penjara itu, sedangkan tiga orang lainnya baru dipindahkan dari lapas lain, yakni Andrew Chan dan Myuran Sukumaran dari Lapas Kerobokan, Denpasar, Bali, serta Raheem Agbaje Salami dari Lapas Madiun, Jawa Timur.
Sebanyak tiga terpidana mati yang baru dipindahkan itu, resmi menjadi penghuni Lapas Besi, Pulau Nusakambangan, sejak tanggal 4 Maret 2015.
Sementara dari sisi waktu pelaksanaan, rencana eksekusi tahap kedua pun telah mengalami dua kali penundaan meskipun Kejagung belum pernah mengumumkan hari “H” pelaksanaannya secara pasti.
Sebelumnya, Kejagung pernah merencanakan eksekusi tahap kedua akan dilaksanakan serentak di Pulau Nusambangan pada bulan Februari. Akan tetapi pada tanggal 17 Februari, Kejagung memutuskan untuk menunda pelaksanaan eksekusi tahap kedua dengan sejumlah alasan.
“Tim eksekutor sudah meninjau Nusakambangan, ternyata ada kendala teknis didapati bahwa lokasi agak sulit untuk dilakukan eksekusi terpidana mati secara bersamaan,” kata Kepala Pusat Penerangan Umum (Kapuspenkum) Kejagung Tony Tribagus Spontana di Jakarta.
Oleh karena itu, lanjut dia, pemindahan terhadap terpidana mati yang bakal dieksekusi tidak akan dilakukan dahulu hingga ruang isolasi dan lokasinya siap digunakan.
Pihaknya juga menerima permintaan dari pihak Divisi Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kememkumham) Jawa Tengah agar pemindahan terpidana mati itu tiga hari sebelum pelaksanaan eksekusi.
Selain itu, penundaan eksekusi juga terkait dengan terpidana mati asal Brazil Rodrigo Gularte yang dilaporkan mengalami gangguan jiwa sehingga harus dilakukan pemeriksaan lebih mendalam guna mengetahui kondisi kejiwaannya secara pasti.
Pascapenundaan tersebut, Nusakambangan pun segera berbenah dengan menyiapkan ruang isolasi yang representatif di Lapas Besi maupun sejumlah sarana di lokasi eksekusi. Pembenahan tersebut dikabarkan telah selesai.
“Kemarin memang ada pembangunan sekat untuk ruangan yang akan dipakai tempat isolasi. Saat ini sudah selesai dikerjakan,” kata Kepala Kantor Wilayah Kemenkumham Jateng Mirza Zulkarnain saat dihubungi dari Cilacap, Jumat (27/2).
Dengan selesainya pembuatan sekat tersebut, kata dia, Nusakambangan telah siap sebagai tempat pelaksanaan eksekusi terpidana mati.
Menurut dia, seluruh terpidana mati yang akan dieksekusi dikonsentrasikan ke salah satu lembaga pemasyarakatan di Pulau Nusakambangan, yakni Lapas Besi.
“Jadi secara keseluruhan sudah siap,” katanya.
Selang beberapa hari, pemindahan tiga dari empat terpidana mati yang masih berada di luar Nusakambangan pun dilaksanakan pada tanggal 4 Maret 2015. Tiga terpidana mati yang dipindah terdiri atas Andrew Chan, Myuran Sukumaran, dan Raheem Agbaje Salami sedangkan Mary Jane Fiesta Veloso belum dipindahkan karena masih menjalani sidang PK.
Jika mengacu pada alasan penundaan sebelumnya yang terkait dengan permintaan Divisi Pemasyarakatan Kanwil Kemenkumham Jateng agar pemindahan terpidana mati itu dilaksanakan tiga hari sebelum pelaksanaan eksekusi, berarti seharusnya mereka menempati ruang isolasi dan eksekusi dilaksanakan pada Minggu (8/3) dini hari.
Akan tetapi, kenyataannya tiga terpidana mati yang baru dipindahkan itu belum menempati ruang isolasi meskipun mereka telah berada di Lapas Besi, Nusakambangan. Demikian pula dengan enam terpidana mati lainnya yang selama ini menghuni Nusakambangan masih berada di lapas masing-masing.
Salah seorang pegiat HAM, Ursa Supit, mengatakan bahwa terpidana mati Raheem Agbaje belum menempati ruang isolasi sejak dipindah dari Lapas Madiun ke Lapas Besi.
“Dia dalam kondisi sehat tapi capek. Mungkin karena kemarin menempuh perjalanan jauh selama delapan jam (proses pemindahan dari Lapas Madiun ke Nusakambangan, red.),” katanya di Dermaga Wijayapura (tempat penyeberangan menuju Nusakambangan, red.), Cilacap, usai membesuk Raheem di Lapas Besi, Kamis (5/3) sore.
Hal yang sama juga disampaikan salah seorang kerabat terpidana mati Silvester Obiekwe Nwaolise, Novarita yang baru menemani istri warga negara Nigeria itu berkunjung ke Lapas Batu, Nusakambangan, Jumat (6/3).
Ia mengatakan bahwa saat ini, Silvester berada di Lapas Batu dengan status sebagai warga binaan pemasyarakatan dan tidak ditempatkan di ruang isolasi.
“Dia baik-baik saja, dia sebatas sama istrinya saja, dia sangat tegar. Pokoknya, dia baik-baik, dia berharap ada mujizat, dia selalu berdoa,” katanya.
Dia mengaku yakin jika pelaksanaan eksekusi bakal ditunda.
“Kelihatannya eksekusi hari Sabtu (7/3) ditunda,” katanya.
Dia mengaku mendapat informasi penundaan eksekusi terpidana mati kasus narkoba tersebut dari seseorang.
“Dari orang dalam. Belum ditentukan waktunya, mungkin bisa seminggu atau sebulan, kan masih banyak yang PK,” katanya.
Apa yang dikatakan Novarita kepada wartawan itu menjadi kenyataan karena Kejagung belum memastikan eksekusi terhadap duo anggota “Bali Nine”, Myuran Sukumaran dan Andrew Chan, bersama delapan terpidana mati lainnya pada Maret 2015.
“Saya pastikan bukan pekan ini, bulan ini belum saya pastikan. Setelah masuk isolasi juga ada jeda waktu. Ya kita harus tunggu,” kata Kapuspenkum Kejagung Tony Tribagus Spontana di Jakarta, Jumat (6/3).
Ia menegaskan Jaksa Agung RI HM Prasetyo nantinya akan mengumumkan secara pasti kapan tanggalnya pelaksanaan eksekusi mati yang dikecam oleh Pemerintah Australia itu.
Dia mengatakan hal yang jelas saat ini Kejagung sudah menerima 10 surat penolakan permohonan grasi yang diajukan terpidana mati.
“Apakah akan seluruhnya dan di mana eksekusinya, jaksa agung akan mengumumkan. Sabar,” ucapnya.
Ia menjelaskan untuk mengeksekusi mati itu harus melihat sejumlah pertimbangan secara baik, termasuk psikologis terpidana juga turut diperhatikan.
Jadi, kata dia, untuk pelaksanaan eksekusi mati itu harus melihat persiapannya sampai 100 persen.
“Sembari kita memperhatikan dan menghormati proses hukum yang ada,” ujarnya.
Selain Mary Jane Fiesta Veloso yang mengajukan PK dan sedang menunggu putusannya, sejumlah terpidana mati diketahui juga sedang mengajukan PK maupun gugatan ke pengadilan tata usaha negara (PTUN).
Terpidana mati yang mengajukan gugatan ke PTUN, di antaranya Raheem Agbaje Salami serta duo “Bali Nine” Edward Chan dan Myuran Sukumaran.
Bahkan, pengacara duo “Bali Nine” mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) Jakarta setelah gugatannya ditolak oleh PTUN Jakarta.
Sedangkan gugatan Raheem Agbaje Salami baru akan disidangkan di PTUN Jakarta pada hari Senin (9/3).
Keluarga terpidana mati Silvester Obiekwe Nwaolise juga berencana mengajukan gugatan ke PTUN.
“Sekarang kita lagi melakukan (gugatan di) PTUN untuk penolakan grasi karena grasinya ada yang salah, PTUN-nya di Jakarta,” kata salah seorang kerabat Silvester, Novarita di Cilacap, Jumat (6/3).
Sementara terpidana mati yang masih berproses dengan PK, di antaranya Serge Arezki Atlaoui dan Zainal Abidin.
Istri terpidana mati Serge Arezki Atlaoui, Sabine Megel Atlaoui, menaruh harapan besar atas upaya hukum PK yang telah diajukan ke Pengadilan Negeri Tangerang, Banten.
“Dia (Serge, red.) masih kuat dan tabah. Tentu saja dia berharap bahwa upaya hukum PK-nya akan diperiksa secara mendalam di sidang yang akan diadakan tanggal 11 nanti (11 Maret, red.) di Pengadilan Tangerang,” kata Sabine di Cilacap, Kamis (5/3).
Saat ditanya mengenai upaya yang akan dilakukan jika PK tersebut ditolak, dia mengaku belum memikirkan hal itu karena masih berharap dan percaya penuh bahwa PK tersebut akan diperiksa secara saksama agar keterangan suaminya yang telah disampaikan dari dulu dapat diperhatikan dan dipertimbangkan oleh majelis hakim.
“Saya katakan lagi bahwa suami saya bukan penyelundup, semuanya ada di berkasnya. Jadi, mudah-mudahan itu bisa dipertimbangkan oleh majelis hakim di Pengadilan Tangerang nanti,” katanya.
Lain halnya dengan Zainal Abidin, satu-satunya terpidana mati warga negara Indonesia yang masuk dalam daftar eksekusi itu, justru masih menunggu jawaban atas PK yang telah diajukan ke Pengadilan Negeri Palembang, Sumatera Selatan, 10 tahun silam.
Kuasa hukum terpidana mati Zainal Abidin, Ade Yuliawan, mengatakan bahwa PK itu bukan untuk menunda pelaksanaan eksekusi karena telah diajukan 10 tahun silam.
“Kami telah melayangkan surat ke Pengadilan Negeri Palembang untuk mempertanyakan PK yang diajukan hampir 10 tahun silam. Katanya, jawabannya hari ini, tertulis. Kita ada tanda bukti terimanya (penerimaan pengajuan PK, red.) tanggal 2 Mei 2005, berarti hampir 10 tahun,” katanya di Cilacap, Kamis (5/3).
Kendati belum tahu kapan pelaksanaan eksekusi, dia mengatakan bahwa jawaban PN Palembang atas PK yang pernah diajukan Zainal Abidin itu sudah sangat mepet waktunya.
Dalam kondisi seperti saat ini, dia menduga eksekusi mati itu akan dilaksanakan dalam waktu dekat.
“Kalau sampai dieksekusi mati, tiba-tiba putusan PK-nya dikabulkan, bagaimana? Apa yang sudah mati bisa hidup lagi,” katanya.
Dengan demikian, waktu pelaksanaan eksekusi akhirnya tetap menjadi teka-teki karena sebagian besar terpidana mati masih menjalami proses hukum.
Demikian pula dengan jumlah terpidana mati yang akan dieksekusi pada tahap kedua, apakah tetap 10 orang ataukah berkurang menjadi sembilan orang mengingat hasil pemeriksaan kejiwaan Rodrigo Gularte yang dilaporkan mengalami gangguan jiwa hingga sekarang belum diumumkan ke publik secara resmi. (abt/Bj)
Menunggu eksekusi mati jilid II
Reporter : Aryo Putranto Saptohutomo | Selasa, 20 Januari 2015 08:44
Merdeka.com - Enam
terpidana mati kasus narkoba akhirnya meregang nyawa di hadapan regu
tembak. Mereka menghadapi eksekusi setelah tertunda sekian lama lantaran
proses hukumnya masih berjalan. Pelaksanaan hukuman itu berlangsung di
dua tempat. Yakni Lembaga Pemasyarakatan Nusakambangan dan Markas
Komando Brimob Boyolali, Jawa Tengah.
Mereka yang ditembak adalah Namaona Dennis (48 tahun) warga Malawi. Marco Arthur Cardoso Muriera (53 tahun) Warga Negara Brasil, Daniel Inemo (38 tahun) warga Nigeria, Ang Kim Sui alias Kim Ho alias Ance Taher (62 tahun) warga Belanda, Tran Ti Bic alias Tran Din Huang (37 tahun) warga Vietnam, dan Rani Andriani alias Melisa Aprilia asal Cianjur.
Selain mereka, ada beberapa terpidana mati lainnya menunggu ajal di tangan algojo. Apalagi Presiden Joko Widodo menyatakan tidak ada ampun lagi bagi orang-orang terlibat penyalahgunaan narkoba.
Tercatat ada warga Australia yang menjadi terpidana mati kasus narkoba di Indonesia. Mereka adalah Myuran Sukumaran dan Andrew Chan. Keduanya masuk dalam sindikat perdagangan narkoba antarnegara 'Bali Nine'. Mereka tertangkap bersama rekan-rekan lainnya pada 17 April 2005, di Denpasar, Bali, saat berusaha menyelundupkan 8.3 kilogram heroin senilai USD 4 juta dari Indonesia ke Australia. Beberapa rekan mereka juga tertangkap. Yakni Si Yi Chen, Michael Czugaj, Renae Lawrence, Tan Duc Thanh Nguyen, Matthew Norman, Scott Rush, Martin Stephens.
Beberapa rekan mereka menghadapi hukuman berbeda. Lawrence dibui 20 tahun. Sementara Chen, Czugaj, Thanh Nguyen, Norman, Rush, dan Stephens dihukum penjara seumur hidup. Kedua terpidana mati itu sudah mengajukan grasi kepada Presiden Jokowi, tapi baru Sukumaran yang grasinya resmi ditolak Presiden Jokowi.
Perdana Menteri Australia Tony Abbott bahkan mesti memohon pengampunan dari Presiden Jokowi supaya tidak menghabisi nyawa dua warga negaranya itu. Tetapi nampaknya permintaan itu bakal ditolak.
Menlu Australia Julie Isabel Bishop juga angkat bicara. Dia menyatakan menghormati proses hukum pada dua warganya. Tapi dia menganggap Indonesia keliru bila berharap hukuman mati bisa menekan peredaran narkoba.
"Kami menghormati posisi Indonesia (dalam perang terhadap narkoba), tapi Australia menilai hukuman mati bukan jawaban mengatasi persoalan narkoba," kata Julie dalam keterangan persnya.
Pemerintah Indonesia tegas menghukum mati terpidana kasus narkoba. Sebabnya adalah narkoba mengancam generasi muda Tanah Air lantaran tidak sedikit anak sekolah tingkat dasar menjadi pengguna obat-obatan terlarang.
Pada 2013, 4,5 juta orang menyalahgunakan narkoba di Indonesia dan diprediksi pada 2015 akan mencapai 5,8 juta orang. Lebih parah lagi, 23 persen peredaran narkoba di ASEAN ada di Tanah Air.
Jaksa Agung HM Prasetyo pun memberi sinyal akan kembali menggelar eksekusi lanjutan terhadap para terpidana mati. Dia menyatakan pihaknya sedang mempersiapkan eksekusi gelombang kedua itu.
"Ya seperti gelombang pertama dulu (persiapannya). Kita cermati dulu, apakah semua masalah hukumnya sudah terselesaikan apa belum kan. Kalau sudah, ya tentunya kita laksanakan," kata Prasetyo kepada wartawan di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, kemarin.
Namun, Prasetyo enggan membeberkan berapa jumlah terpidana mati bakal dieksekusi pada gelombang kedua ini. Tetapi, tegas dia, saat ini sedang dalam proses.
"Kalau upaya hukum yang biasanya kan udah selesai semua. Yang luar biasa ini grasi dan PK. Ya nanti acuan kita tentunya pada grasi sekarang ya. Karena grasi kan dianggap sebagai upaya hukum luar biasa terakhir. Orang udah minta maaf dan minta ampun kan, ya sudah kan. Orang udah nyatakan salah dan minta ampun," jelasnya.
Mantan politikus Partai NasDem itu menambahkan, Kejagung memprioritaskan yang akan dieksekusi mati yaitu terpidana yang masih berkaitan dengan kasus narkoba. Tetapi, pihaknya belum menghitung berapa jumlah terpidana yang akan dihukum mati untuk gelombang kedua.
"WNA ada," tegasnya.
Selasa, 24/02/2015 07:25 WIB
Mereka yang ditembak adalah Namaona Dennis (48 tahun) warga Malawi. Marco Arthur Cardoso Muriera (53 tahun) Warga Negara Brasil, Daniel Inemo (38 tahun) warga Nigeria, Ang Kim Sui alias Kim Ho alias Ance Taher (62 tahun) warga Belanda, Tran Ti Bic alias Tran Din Huang (37 tahun) warga Vietnam, dan Rani Andriani alias Melisa Aprilia asal Cianjur.
Selain mereka, ada beberapa terpidana mati lainnya menunggu ajal di tangan algojo. Apalagi Presiden Joko Widodo menyatakan tidak ada ampun lagi bagi orang-orang terlibat penyalahgunaan narkoba.
Tercatat ada warga Australia yang menjadi terpidana mati kasus narkoba di Indonesia. Mereka adalah Myuran Sukumaran dan Andrew Chan. Keduanya masuk dalam sindikat perdagangan narkoba antarnegara 'Bali Nine'. Mereka tertangkap bersama rekan-rekan lainnya pada 17 April 2005, di Denpasar, Bali, saat berusaha menyelundupkan 8.3 kilogram heroin senilai USD 4 juta dari Indonesia ke Australia. Beberapa rekan mereka juga tertangkap. Yakni Si Yi Chen, Michael Czugaj, Renae Lawrence, Tan Duc Thanh Nguyen, Matthew Norman, Scott Rush, Martin Stephens.
Beberapa rekan mereka menghadapi hukuman berbeda. Lawrence dibui 20 tahun. Sementara Chen, Czugaj, Thanh Nguyen, Norman, Rush, dan Stephens dihukum penjara seumur hidup. Kedua terpidana mati itu sudah mengajukan grasi kepada Presiden Jokowi, tapi baru Sukumaran yang grasinya resmi ditolak Presiden Jokowi.
Perdana Menteri Australia Tony Abbott bahkan mesti memohon pengampunan dari Presiden Jokowi supaya tidak menghabisi nyawa dua warga negaranya itu. Tetapi nampaknya permintaan itu bakal ditolak.
Menlu Australia Julie Isabel Bishop juga angkat bicara. Dia menyatakan menghormati proses hukum pada dua warganya. Tapi dia menganggap Indonesia keliru bila berharap hukuman mati bisa menekan peredaran narkoba.
"Kami menghormati posisi Indonesia (dalam perang terhadap narkoba), tapi Australia menilai hukuman mati bukan jawaban mengatasi persoalan narkoba," kata Julie dalam keterangan persnya.
Pemerintah Indonesia tegas menghukum mati terpidana kasus narkoba. Sebabnya adalah narkoba mengancam generasi muda Tanah Air lantaran tidak sedikit anak sekolah tingkat dasar menjadi pengguna obat-obatan terlarang.
Pada 2013, 4,5 juta orang menyalahgunakan narkoba di Indonesia dan diprediksi pada 2015 akan mencapai 5,8 juta orang. Lebih parah lagi, 23 persen peredaran narkoba di ASEAN ada di Tanah Air.
Jaksa Agung HM Prasetyo pun memberi sinyal akan kembali menggelar eksekusi lanjutan terhadap para terpidana mati. Dia menyatakan pihaknya sedang mempersiapkan eksekusi gelombang kedua itu.
"Ya seperti gelombang pertama dulu (persiapannya). Kita cermati dulu, apakah semua masalah hukumnya sudah terselesaikan apa belum kan. Kalau sudah, ya tentunya kita laksanakan," kata Prasetyo kepada wartawan di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, kemarin.
Namun, Prasetyo enggan membeberkan berapa jumlah terpidana mati bakal dieksekusi pada gelombang kedua ini. Tetapi, tegas dia, saat ini sedang dalam proses.
"Kalau upaya hukum yang biasanya kan udah selesai semua. Yang luar biasa ini grasi dan PK. Ya nanti acuan kita tentunya pada grasi sekarang ya. Karena grasi kan dianggap sebagai upaya hukum luar biasa terakhir. Orang udah minta maaf dan minta ampun kan, ya sudah kan. Orang udah nyatakan salah dan minta ampun," jelasnya.
Mantan politikus Partai NasDem itu menambahkan, Kejagung memprioritaskan yang akan dieksekusi mati yaitu terpidana yang masih berkaitan dengan kasus narkoba. Tetapi, pihaknya belum menghitung berapa jumlah terpidana yang akan dihukum mati untuk gelombang kedua.
"WNA ada," tegasnya.
Selasa, 24/02/2015 07:25 WIB
Pernyataan Keras Jokowi, Retno, Moeldoko dan Prasetyo Terkait Eksekusi Mati
foto: ilustrasi
Jakarta - Pelaksanaan eksekusi mati
memunculkan polemik hubungan pemerintah Indonesia dengan negara-negara
sahabat. Tak lain lantaran para terpidana mati sebagian besar merupakan
warga negara asing.Mulai dari Brazil, Perancis hingga Australia berupaya melakukan manuver terkait pelaksanaan eksekusi gelombang kedua terhadap para terpidana mati. Australia melalui Perdana Menteri (PM) Tony Abbott tak hentinya mengeluarkan pernyataan menolak eksekusi mati pada 2 gembong narkoba Bali Nine asal Australia, Andrew Chan dan Myuran Sukumaran.
Tak hanya itu, Tony Abbott juga sempat mengaitkan bantuan Tsunami Aceh 2004 dengan eksekusi mati meski telah diklarifikasi. Sampai-sampai masyarakat Indonesia melakukan gerakan 'Koin untuk Australia' untuk mengganti dana bantuan tersebut.
Perancis juga menarik Duta Besar (Dubes)-nya di Indonesia untuk menegaskan penolakan mereka atas pelaksanaan hukuman mati. Dan yang terakhir dan sangat disayangkan, Brazil yang menunda upacara penyerahan surat kepercayaan diplomatik Dubes RI untuk Brazil, Toto Riyanto tanpa alasan yang jelas.
Hal itu tentunya menunjukkan sikap kurang baik para negara tersebut dalam menghormati kedaulatan hukum yang ada di Indonesia. Para tokoh negeri dari Presiden Jokowi, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, hingga Panglima TNI Jenderal Moeldoko pun tak tinggal diam. Mereka menegaskan bahwa negara-negara sahabat harus menghargai dan menghormati pelaksanaan eksekusi terpidana mati di Indonesia. Bagaimana reaksi mereka? Berikut seperti dirangkum oleh detikcom, Selasa (24/2/2015):
Tidak ada komentar:
Posting Komentar