Kamis, 19 Februari 2015 15:01 WIB
WARTA KOTA/ALEX SUBAN
Menteri
Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti memasuki Istana Bogor, Jawa
Barat untuk mengikuti rapat terbatas bersama Presiden Joko Widodo,
Selasa (17/2/2015) siang. Rapat yang dihadiri oleh Ketua Kepala Pusat
Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) M Yusuf dan Wakapolri
Komjen Badrodin Haiti membahas sejumlah potensi kerugian negara terkait
perambahan hutan dan pencurian ikan. WARTA KOTA/ALEX SUBAN
TRIBUNNEWS.COM -Sejak diangkat menjadi Menteri Kelautan dan Perikanan, kiprah Susi Pudjiastuti menuai banyak perhatian publik.
Yang terakhir, ia menjadi salah satu menteri dengan kinerja terbaik dalam 100 hari pertama pemerintahan Presiden Joko Widodo. Namun, akankah kesejahteraan nelayan kecil dan nelayan buruh membaik?
Masih terlalu dini untuk menilai apakah berbagai kebijakan baru yang dijalankan saat ini akan efektif dalam meningkatkan kesejahteraan nelayan gurem.
Yang bisa dilihat baru sebatas potensi perubahan yang didorong oleh intervensi kebijakan pemerintah. Salah satunya, larangan penggunaan alat tangkap pukat harimau, tarik dan hela, melalui Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 2 Tahun 2015.
Berkat kebijakan ini, hasil tangkapan sejumlah nelayan tradisional mulai meningkat. Misalnya, yang dialami nelayan-nelayan kecil di Labuhan Deli, Sumatera Utara. Sekali melaut dengan perahu berukuran kecil, mereka bisa membawa pulang ratusan kilogram cumi-cumi, udang kelong, ikan kakap dan kerapu, serta lainnya (Kompas.com, 14/2).
Produksi perikanan tangkap di Sumatera Utara ditengarai dalam fase menurun. Indikasinya terlihat dari data Badan Pusat Statistik (BPS) yang mencatat hasil perikanan tangkap di wilayah ini turun 7.800 ton (1,4 persen) pada 2013.
Jika dibandingkan dengan provinsi lain, Sumatera Utara bukan yang terburuk. Pada periode yang sama, tercatat ada tiga provinsi yang produksi perikanan tangkapnya turun lebih dari 10.000 ton. Ketiga provinsi itu ialah Jawa Tengah, Sulawesi Tenggara, dan DKI Jakarta. Akumulasi penurunan produksi tiga provinsi itu 63.000 ton.
Yang terakhir, ia menjadi salah satu menteri dengan kinerja terbaik dalam 100 hari pertama pemerintahan Presiden Joko Widodo. Namun, akankah kesejahteraan nelayan kecil dan nelayan buruh membaik?
Masih terlalu dini untuk menilai apakah berbagai kebijakan baru yang dijalankan saat ini akan efektif dalam meningkatkan kesejahteraan nelayan gurem.
Yang bisa dilihat baru sebatas potensi perubahan yang didorong oleh intervensi kebijakan pemerintah. Salah satunya, larangan penggunaan alat tangkap pukat harimau, tarik dan hela, melalui Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 2 Tahun 2015.
Berkat kebijakan ini, hasil tangkapan sejumlah nelayan tradisional mulai meningkat. Misalnya, yang dialami nelayan-nelayan kecil di Labuhan Deli, Sumatera Utara. Sekali melaut dengan perahu berukuran kecil, mereka bisa membawa pulang ratusan kilogram cumi-cumi, udang kelong, ikan kakap dan kerapu, serta lainnya (Kompas.com, 14/2).
Produksi perikanan tangkap di Sumatera Utara ditengarai dalam fase menurun. Indikasinya terlihat dari data Badan Pusat Statistik (BPS) yang mencatat hasil perikanan tangkap di wilayah ini turun 7.800 ton (1,4 persen) pada 2013.
Jika dibandingkan dengan provinsi lain, Sumatera Utara bukan yang terburuk. Pada periode yang sama, tercatat ada tiga provinsi yang produksi perikanan tangkapnya turun lebih dari 10.000 ton. Ketiga provinsi itu ialah Jawa Tengah, Sulawesi Tenggara, dan DKI Jakarta. Akumulasi penurunan produksi tiga provinsi itu 63.000 ton.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar