Rabu, 26 Juli 2017

Katanya Iqbal Nggak Cocok Menjadi Pemeran di Film Dilan

Foto dari instagram @falconpicture_
Saya lupa kapan pertama kali ngabisin baca novel dalam sekali duduk. Ntah itu novel berat atau ringan. Yang saya ingat terakhir kalinya baca novel sampai habis itu beberapa tahun yang lalu, waktu membaca buku Taj Mahal karangan John Shors. Setelah itu, sepertinya saya belum membaca lagi novel sampai selesai. Belum ada yang menarik hati, jadi seringnya saya tinggalin ketika novel yang saya baca itu baru separuh jalan. Terutama jika alur ceritanya sudah mudah ditebak, banyak typo dan temanya standar.
Apalagi sekarang, sehari-hari nggak bisa lepas dari gadget. Baca buku jadi sebuah kegiatan yang sangat istimewa buat saya. Tapi dari pada saya nggak baca buku sama sekali, gadget memang jadi pilihan terbaik untuk melepas penat. Contohnya, sekarang saya lebih banyak koleksi e-book dari pada buku fisik. Beberapa judul buku yang selama ini saya cari, harganya lebih murah jika membeli dalam bentuk digital dibandingkan buku dalam bentuk kertas.
Beberapa teman sempat berdebat soal ini, sensasi baca buku dalam bentuk kertas dengan digital itu beda, katanya. Yup, memang beda, ada kebanggaan tersendiri ketika kita bisa memegang buku tebal dan membacanya lembar perlembar. Kalau digital, jika kebanyakan melihat layar mata akan sakit. Tapi keuntungannya, buku digital ini lebih praktis dan bisa dibawa kemana-mana tanpa ngabisin tempat atau nambah beban dalam tas. Well, cukup dalam satu genggaman lah. Nggak repot, hehe. Rak buku juga jadi nggak sesak.
Eh, balik ke judul postingan ini.
Kemarin dalam dua hari saya ngabisin dua novel sekaligus. Buku Dilan dan Milea yang lagi ramai jadi perbincangkan netizen, oleh karena cerita yang diakui dari kisah nyata ini akan difilmkan.
Ada yang belum tau Novel Dilan?
Ituu lho, buku karangan Pidi Baiq yang mengaku Imam Besar nya The Panas Dalam, tapi The Panas Dalam ini aja saya nggak tau. Kalau Dilan, sih udah lama banget taunya. Cuma baru kesempatan baca bukunya sekarang. Bukan karena mau difilmkan, tapi karena belum sempat beli bukunya. Mau pinjam, nggak ada teman yang punya. Yaudah, bersabar aja.
Tapi kemarin akhirnya ‘memaksa’ beli buku dua seri buku Dilan di Playstore. Oh ya, Buku Dilan ini ada 3 seri lho. Pertama Dilan, Dia Adalah Dilanku 1990, kedua Dilan, Dia adalah Dilanku 1991. Dan ketiga, Milea, Suara dari Dilan. Ketiga buku ini saya beli online dalam bentuk digital, e-book. Harganya lebih murah dibanding buku fisik. Bedanya sekitar 20ribuan gitu deh. Lumayan kan. Belinya pakai pulsa provider yang kebetulan saya pakai IM3 Ooredoo (Indosat),

Dilan dan Milea
Nah, jadi dalam waktu dua atau tiga hari ya? Saya bisa menyelesaikan dua buku sekaligus. Kalau dilihat dari buku fisiknya, Novel Dilan ini cukup tebal, semuanya ada sekitar 300 lembar. Tapi menariknya, Novel Dilan ini nggak perlu harus banyak berpikir untuk bisa memahami isi cerita. Karena dua seri yang pertama, ceritanya sangat ringan khas remaja, lebih banyak ketawa oleh tingkah dan kelakuan Dilan yang diceritakan lagi masa pedekate dan berpacaran ke Milea, perempuan yang dia suka dalam cerita ini.
Saya pikir novel ini akan benar-benar lucu sampai akhir dan happy ending, karena saya pikir ini fiksi. Jadi bebas pengarangnya mau membuat ending seperti apa. Tapi menilik dari beberapa review dan berita yang sekarang ramai, yaitu tadi, katanya novel ini nyata, ceritanya tetap happy ending, tapi ya gitu deh, agak nyesek ketika tau jika pemeran utama dalam cerita ini nggak bersatu. Orang-orang yang ada di dalam buku itu katanya masih ada, dan pada saat proses pembuatan film, Pidi Baiq terlebih dahulu meminta persetujuan mereka. Apakah aktor yang akan berperan sebagai Dilan dan Milea itu cocok sebagai mana bentuk karakter aslinya.

Dilan dan Geng
Ketika sudah diumumkan siapa-siapa pemeran Film Dilanku 1990, banyak pembaca yang kecewa. Karena ternyata Iqbal (CJR-Cowboy Junior) didapuk untuk berperan sebagai Dilan dan Vanesha sebagai Milea. Banyaknya sih yang nggak setuju dengan Iqbalnya. Kenapa?
Saya awalnya juga seperti itu, agak sedikit kecewa, waktu pertama kali membaca berita kalau Iqbal yang akan berperan menjadi Dilan. Ah, serius, kayaknya nggak cocok deh? Karena dalam bayangan saya, Dilan itu tampangnya tengil, agak bengal, badung, nakal, slengekan dan semacam itulah. Tampang nakal dalam diri Iqbal itu nggak ada, itu menurut saya. Dan Iqbal itu terlalu manis dengan tampang baik-baik, mungkin berbanding terbalik dengan imajinasi ketika membaca Dilan dalam bukunya.
Tapi saya mencoba berpikir lagi, buku ini kan bercerita tentang anak SMA. Jadi ya itu pemerannya juga setidaknya nggak beda jauh umurnya dengan yang diceritakan. Dilan dan Milea yang berumur belasan tahun. Nggak mungkin kan kita meminta Rio Dewanto atau Reza Rahadian menjadi Dilan? Bener nggak? Hahaha.
Ya abisnya bosan banget, kan? Tiap liat poster film aktor utamanya nggak jauh-jauh dari wajah-wajah itu. Kalau nggak si A ya si B atau si C. Jarang menampilkan si D, E atau huruf-huruf lainnya. Sekalinya ada yang lain filmnya cepat turun layar. Sebel. Hehe. Makanya saya jarang banget nonton film di bioskop. Udah bosan duluan liat pemerannya :D
Jadi, ketika Dilan ini diputuskan Iqbal sebagai aktor utama. Saya sebenarnya biasa-biasa aja, dan agak kecewa, sedikit. Karena dalam ekpetasi saya, Dilan ini cocoknya diperankan sama si Jefri Nichol, yang pernah menjadi Nathan, yang filmnya diambil dari novel juga. Tapi ya mbuh, setiap orang kan punya bayangan sendiri seperti apa karakter Dilan itu. Kalau Milea-nya sendiri sih udah cocok. Karena digambarkan cantik.
Iqbal? Hmm, tapi setelah melihat beberapa teaser foto dan settingannya dibuat anak muda jaman 90-an. Saya mulai setuju, apalagi ketika melihat foto-foto mereka, saya jadi inget Drama Korea Reply 1988. Anak muda masa kini namun didandanin seperti anak tahun 80-90an. Iqbal, cocok, malah jadinya lucu, gemesin hahaha.
Dan tampilan mereka dengan fashion style anak muda masa itu, jadi bikin penasaran. Saya penasaran filmnya nanti bakal gimana, terutama ngambil settinganya. Saya penasaran dan rindu melihat aktivitas orang-orang saat itu yang hanya mengandalkan telpon rumah dan surat untuk berkomunikasi. Saya pengen tau, geng motor jaman itu, yang diceritakan cukup meresahkan warga. Ahh, banyak deh.
Jadi, saya nggak akan begitu mementingkan, apakah pemerannya cocok atau nggak. Tapi saya lebih penasaran bagaimana Film Dilan ini akan menggambarkan setting tahun 90-an. Khususnya remaja saat itu.
Mungkin ini akan jadi pelajaran menarik, terutama ketika gadget sudah tak bisa dilepaskan lagi dari anak-anak jaman sekarang. Mungkin kita akan belajar juga, dari cara Dilan berpikir ketika menghadapi sebuah masalah, ketika lagi mendekati seorang perempuan, bagaimana cara dia merayu dan berkomitmen dengan janjinya. Sesakit apapun yang dia rasa, janji adalah janji (seorang laki-laki) Cieee, bacanya endingnya pasti baper hahaha.
Dan yang terpenting, saya penasaran sama begitu hangatnya masing-masing keluarga Dilan dan Milea. Orang tua dan keluarga yang diceritakan begitu asik, mampu mengerti perasaan anak muda. Nggak mudah menjugde seseorang dari tampilannya saja.

Tidak ada komentar: