Foto dari instagram @falconpicture_
Saya lupa kapan pertama kali ngabisin baca novel dalam sekali duduk.
Ntah itu novel berat atau ringan. Yang saya ingat terakhir kalinya baca
novel sampai habis itu beberapa tahun yang lalu, waktu membaca buku Taj
Mahal karangan John Shors. Setelah itu, sepertinya saya belum membaca
lagi novel sampai selesai. Belum ada yang menarik hati, jadi seringnya
saya tinggalin ketika novel yang saya baca itu baru separuh jalan.
Terutama jika alur ceritanya sudah mudah ditebak, banyak typo dan
temanya standar.
Apalagi sekarang, sehari-hari nggak bisa
lepas dari gadget. Baca buku jadi sebuah kegiatan yang sangat istimewa
buat saya. Tapi dari pada saya nggak baca buku sama sekali, gadget
memang jadi pilihan terbaik untuk melepas penat. Contohnya, sekarang
saya lebih banyak koleksi e-book dari pada buku fisik. Beberapa judul
buku yang selama ini saya cari, harganya lebih murah jika membeli dalam
bentuk digital dibandingkan buku dalam bentuk kertas.
Beberapa teman sempat berdebat soal ini,
sensasi baca buku dalam bentuk kertas dengan digital itu beda, katanya.
Yup, memang beda, ada kebanggaan tersendiri ketika kita bisa memegang
buku tebal dan membacanya lembar perlembar. Kalau digital, jika
kebanyakan melihat layar mata akan sakit. Tapi keuntungannya, buku
digital ini lebih praktis dan bisa dibawa kemana-mana tanpa ngabisin
tempat atau nambah beban dalam tas. Well, cukup dalam satu genggaman
lah. Nggak repot, hehe. Rak buku juga jadi nggak sesak.
Eh, balik ke judul postingan ini.
Kemarin dalam dua hari saya ngabisin dua
novel sekaligus. Buku Dilan dan Milea yang lagi ramai jadi
perbincangkan netizen, oleh karena cerita yang diakui dari kisah nyata
ini akan difilmkan.
Ada yang belum tau Novel Dilan?
Ituu lho, buku karangan Pidi Baiq yang
mengaku Imam Besar nya The Panas Dalam, tapi The Panas Dalam ini aja
saya nggak tau. Kalau Dilan, sih udah lama banget taunya. Cuma baru
kesempatan baca bukunya sekarang. Bukan karena mau difilmkan, tapi
karena belum sempat beli bukunya. Mau pinjam, nggak ada teman yang
punya. Yaudah, bersabar aja.
Tapi kemarin akhirnya ‘memaksa’ beli
buku dua seri buku Dilan di Playstore. Oh ya, Buku Dilan ini ada 3 seri
lho. Pertama Dilan, Dia Adalah Dilanku 1990, kedua Dilan, Dia adalah
Dilanku 1991. Dan ketiga, Milea, Suara dari Dilan. Ketiga buku ini saya
beli online dalam bentuk digital, e-book. Harganya lebih murah dibanding
buku fisik. Bedanya sekitar 20ribuan gitu deh. Lumayan kan. Belinya
pakai pulsa provider yang kebetulan saya pakai IM3 Ooredoo (Indosat),
Dilan dan Milea
Nah, jadi dalam waktu dua atau tiga hari
ya? Saya bisa menyelesaikan dua buku sekaligus. Kalau dilihat dari buku
fisiknya, Novel Dilan ini cukup tebal, semuanya ada sekitar 300 lembar.
Tapi menariknya, Novel Dilan ini nggak perlu harus banyak berpikir
untuk bisa memahami isi cerita. Karena dua seri yang pertama, ceritanya
sangat ringan khas remaja, lebih banyak ketawa oleh tingkah dan kelakuan
Dilan yang diceritakan lagi masa pedekate dan berpacaran ke Milea,
perempuan yang dia suka dalam cerita ini.
Saya pikir novel ini akan benar-benar
lucu sampai akhir dan happy ending, karena saya pikir ini fiksi. Jadi
bebas pengarangnya mau membuat ending seperti apa. Tapi menilik dari
beberapa review dan berita yang sekarang ramai, yaitu tadi, katanya
novel ini nyata, ceritanya tetap happy ending, tapi ya gitu deh, agak nyesek ketika
tau jika pemeran utama dalam cerita ini nggak bersatu. Orang-orang yang
ada di dalam buku itu katanya masih ada, dan pada saat proses pembuatan
film, Pidi Baiq terlebih dahulu meminta persetujuan mereka. Apakah
aktor yang akan berperan sebagai Dilan dan Milea itu cocok sebagai mana
bentuk karakter aslinya.
Dilan dan Geng
Ketika sudah diumumkan siapa-siapa
pemeran Film Dilanku 1990, banyak pembaca yang kecewa. Karena ternyata
Iqbal (CJR-Cowboy Junior) didapuk untuk berperan sebagai Dilan dan
Vanesha sebagai Milea. Banyaknya sih yang nggak setuju dengan Iqbalnya.
Kenapa?
Saya awalnya juga seperti itu, agak
sedikit kecewa, waktu pertama kali membaca berita kalau Iqbal yang akan
berperan menjadi Dilan. Ah, serius, kayaknya nggak cocok deh? Karena
dalam bayangan saya, Dilan itu tampangnya tengil, agak bengal, badung,
nakal, slengekan dan semacam itulah. Tampang nakal dalam diri Iqbal itu
nggak ada, itu menurut saya. Dan Iqbal itu terlalu manis dengan tampang
baik-baik, mungkin berbanding terbalik dengan imajinasi ketika membaca
Dilan dalam bukunya.
Tapi saya mencoba berpikir lagi, buku
ini kan bercerita tentang anak SMA. Jadi ya itu pemerannya juga
setidaknya nggak beda jauh umurnya dengan yang diceritakan. Dilan dan
Milea yang berumur belasan tahun. Nggak mungkin kan kita meminta Rio
Dewanto atau Reza Rahadian menjadi Dilan? Bener nggak? Hahaha.
Ya abisnya bosan banget, kan? Tiap liat
poster film aktor utamanya nggak jauh-jauh dari wajah-wajah itu. Kalau
nggak si A ya si B atau si C. Jarang menampilkan si D, E atau
huruf-huruf lainnya. Sekalinya ada yang lain filmnya cepat turun layar.
Sebel. Hehe. Makanya saya jarang banget nonton film di bioskop. Udah
bosan duluan liat pemerannya :D
Jadi, ketika Dilan ini diputuskan Iqbal sebagai aktor utama. Saya
sebenarnya biasa-biasa aja, dan agak kecewa, sedikit. Karena dalam
ekpetasi saya, Dilan ini cocoknya diperankan sama si Jefri Nichol, yang
pernah menjadi Nathan, yang filmnya diambil dari novel juga. Tapi ya
mbuh, setiap orang kan punya bayangan sendiri seperti apa karakter Dilan
itu. Kalau Milea-nya sendiri sih udah cocok. Karena digambarkan cantik.
Iqbal? Hmm, tapi setelah melihat
beberapa teaser foto dan settingannya dibuat anak muda jaman 90-an. Saya
mulai setuju, apalagi ketika melihat foto-foto mereka, saya jadi inget
Drama Korea Reply 1988. Anak muda masa kini namun didandanin seperti anak tahun 80-90an. Iqbal, cocok, malah jadinya lucu, gemesin hahaha.
Dan tampilan mereka dengan fashion style
anak muda masa itu, jadi bikin penasaran. Saya penasaran filmnya nanti
bakal gimana, terutama ngambil settinganya. Saya penasaran dan rindu
melihat aktivitas orang-orang saat itu yang hanya mengandalkan telpon
rumah dan surat untuk berkomunikasi. Saya pengen tau, geng motor jaman
itu, yang diceritakan cukup meresahkan warga. Ahh, banyak deh.
Jadi, saya nggak akan begitu
mementingkan, apakah pemerannya cocok atau nggak. Tapi saya lebih
penasaran bagaimana Film Dilan ini akan menggambarkan setting tahun
90-an. Khususnya remaja saat itu.
Mungkin ini akan jadi pelajaran menarik,
terutama ketika gadget sudah tak bisa dilepaskan lagi dari anak-anak
jaman sekarang. Mungkin kita akan belajar juga, dari cara Dilan berpikir
ketika menghadapi sebuah masalah, ketika lagi mendekati seorang
perempuan, bagaimana cara dia merayu dan berkomitmen dengan janjinya.
Sesakit apapun yang dia rasa, janji adalah janji (seorang laki-laki)
Cieee, bacanya endingnya pasti baper hahaha.
Dan yang terpenting, saya penasaran sama
begitu hangatnya masing-masing keluarga Dilan dan Milea. Orang tua dan
keluarga yang diceritakan begitu asik, mampu mengerti perasaan anak
muda. Nggak mudah menjugde seseorang dari tampilannya saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar