Budi: Novel Tetap Diperiksa, Perintah Jokowi Bukan Stop Kasus
Aulia Bintang Pratama, CNN Indonesia, Senin, 04/05/2015 12:52 WIB
Penyidik KPK Novel Baswedan saat tiba di
Lapangan Terbang Pondok Cabe, Tangerang, Sabtu (2/5), usai dibawa tim
Polri ke Bengkulu untuk rekonstruksi kasus. (Dok. Istimewa)
Jakarta, CNN Indonesia
--
Penangguhan penahanan terhadap penyidik KPK Novel
Baswedan tak lantas berarti menghentikan proses hukum atasnya.
Sebaliknya, pemeriksaan terhadap Novel akan terus dilanjutkan.“Pemeriksaan Novel tetap jalan, tetap ditindaklanjuti. Sudah ada kesepakatan antara pimpinan Pori dan KPK,” kata Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Komisaris Jenderal Budi Waseso di kantor Bareskrim Polri, Senin (4/5).
“Instruksi Presiden Jokowi bukan penghentian kasus, melainkan penundaan penahanan demi kepentingan situasi. Itu bagus saja,” ujar Budi Waseso. (Baca Anies: Saya Tahu Perintah Jokowi soal Novel Pasti Dipatuhi)
Sementara terkait kabar ada satu keluarga korban yang mencabut gugatan terhadap Novel, Budi mengatakan hal itu tak akan menghentikan keberlangsungan kasus, sebab perkara Novel harus diselesaikan secara hukum.
"Boleh saja keluarga korban tidak ingin melanjutkan kasus, tapi kejadian ini harus diselesaikan secara hukum. Jadi kami lanjutkan (pengusutan kasus Novel)," kata Budi.
Novel dijerat perkara 11 tahun silam. Ia sesungguhnya telah dijadikan tersangka oleh Polres Bengkulu sejak 1 Oktober 2012 atas dugaan penganiayaan seorang pencuri sarang burung walet hingga tewas pada 2004, saat ia menjabat sebagai Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Bengkulu.
Namun Novel menyatakan kasus pidana yang menjadikan dia tersangka tersebut adalah rekayasa. Ia membantah menganiaya pencuri sarang walet hingga tewas. Pada 2004 itu, kata Novel, dia baru seminggu menjabat Kasat Reskrim Polres Bengkulu saat ada pencuri sarang walet yang ditangkap, ditembak, dan dihakimi massa. Ketika dia tiba di lokasi, ujar Novel, pencuri itu telah tewas.
Pada akhir 2012, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memerintahkan Kapolri Jenderal Timur Pradopo untuk menghentikan kasus Novel demi meredakan ketegangan hubungan antara KPK dan Polri.
Namun kasus Novel tak pernah benar-benar ditutup. Kapolri Jenderal Badrodin Haiti menyatakan Novel dijemput paksa Jumat kemarin atas permintaan Jaksa Penuntut Umum yang menangani berkas perkara Novel, sebab kasus itu mendekati batas kedaluwarsa, yakni tahun depan.(agk)PSHK: Penahanan Novel Baswedan adalah Kriminalisasi KPK
Jumat, 01 Mei 2015, 18:25 WIB
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penangkapan dan penahanan terhadap
penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan menuai
kecaman dari kelompok aktivis antikorupsi. Salah satunya, Pusat Studi
Hukum dan Kebijakan (PSHK) Indonesia, yang menilai tindakan oleh
Bareskrim Polri itu adalah kriminalisasi terhadap KPK.
"Penangkapan dan penahanan terhadap Novel Baswedan adalah bagian dari kriminalisasi yang terjadi pasca KPK menetapkan Komjen Budi Gunawan sebagai tersangka," tegas peneliti PSHK Miko Susanto Ginting, dalam rilis yang diterima, Jumat (1/5).
Miko juga menyatakan, proses penangkapan dan penahanan terhadap Novel Baswedan telah mencederai prinsip 'due process of law' sekaligus melanggar hukum acara pidana. "Dalam penangkapan dan pemeriksaan terhadapnya, hak atas penasehat hukum tidak diberikan secara optimal kepada Novel Baswedan," ujar Miko.
Menurut Miko, substansi kasus Novel Baswedan sarat dengan kejanggalan dan motif balas dendam institusional. Dugaan tindak pidana yang disangkakan kepada Novel Baswedan, lanjut Miko, sejatinya dimulai pada 2004. Namun, hal itu lalu diungkit-ungkit pada 2012 persis ketika KPK mengusut perkara korupsi yang melibatkan pejabat tinggi Kepolisian, Djoko Susilo.
Lantas, tutur Miko, pada 2015 kasus Novel Baswedan kembali mencuat pasca KPK melakukan pengusutan terhadap kasus Komjen (Pol) Budi Gunawan. Hal ini jelas mengundang tanda tanya besar publik antikorupsi.
"Kepolisian harus segera menghentikan penyidikan dan mengeluarkan Novel Baswedan dari tahanan. Penghentian penyidikan juga harus dilakukan terhadap Abraham Samad dan Bambang Widjojanto sebagai rangkaian kriminalisasi terhadap KPK," tegas dia.
Presiden Joko Widodo, menurut Miko, juga harus turun tangan, dengan segera memerintahkan Kapolri untuk mencopot Kabareskrim, Komjen (Pol) Budi Waseso.
"Di titik kritis ini, keberpihakan Presiden Joko Widodo terhadap penyelamatan KPK dan gerakan pemberantasan korupsi lagi-lagi akan diuji," pungkasnya.
Relawan Prabowo-Hatta: Luhut Mirip Plt Presiden"Penangkapan dan penahanan terhadap Novel Baswedan adalah bagian dari kriminalisasi yang terjadi pasca KPK menetapkan Komjen Budi Gunawan sebagai tersangka," tegas peneliti PSHK Miko Susanto Ginting, dalam rilis yang diterima, Jumat (1/5).
Miko juga menyatakan, proses penangkapan dan penahanan terhadap Novel Baswedan telah mencederai prinsip 'due process of law' sekaligus melanggar hukum acara pidana. "Dalam penangkapan dan pemeriksaan terhadapnya, hak atas penasehat hukum tidak diberikan secara optimal kepada Novel Baswedan," ujar Miko.
Menurut Miko, substansi kasus Novel Baswedan sarat dengan kejanggalan dan motif balas dendam institusional. Dugaan tindak pidana yang disangkakan kepada Novel Baswedan, lanjut Miko, sejatinya dimulai pada 2004. Namun, hal itu lalu diungkit-ungkit pada 2012 persis ketika KPK mengusut perkara korupsi yang melibatkan pejabat tinggi Kepolisian, Djoko Susilo.
Lantas, tutur Miko, pada 2015 kasus Novel Baswedan kembali mencuat pasca KPK melakukan pengusutan terhadap kasus Komjen (Pol) Budi Gunawan. Hal ini jelas mengundang tanda tanya besar publik antikorupsi.
"Kepolisian harus segera menghentikan penyidikan dan mengeluarkan Novel Baswedan dari tahanan. Penghentian penyidikan juga harus dilakukan terhadap Abraham Samad dan Bambang Widjojanto sebagai rangkaian kriminalisasi terhadap KPK," tegas dia.
Presiden Joko Widodo, menurut Miko, juga harus turun tangan, dengan segera memerintahkan Kapolri untuk mencopot Kabareskrim, Komjen (Pol) Budi Waseso.
"Di titik kritis ini, keberpihakan Presiden Joko Widodo terhadap penyelamatan KPK dan gerakan pemberantasan korupsi lagi-lagi akan diuji," pungkasnya.
[JAKARTA] Relawan pemenangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dalam Pilpres 2014 yang
tergabung dalam Gema Nusantara menilai posisi Kepala Staf Kepresidenan
Luhut Binsar Pandjaitan dengan berbagai kewenangannya saat ini, sudah
mirip pelaksana tugas Presiden RI.
"Pak Luhut memiliki sejumlah kewenangan yang besar, setara bahkan melampaui kewenangan Wakil Presiden yang diatur dalam konstitusi. Pak Luhut lebih mirip sebagai Plt Presiden," kata Koordinator Nasional Relawan Gema Nusantara M Adnan Rarasina, melalui siaran pers di Jakarta, Selasa (14/4).
Adnan menilai kewenangan Luhut yang begitu besar dapat mengganggu jalannya pemerintahan karena kewenangannya tumpang tindih dengan Wakil Presiden RI, Menteri Koordinator, Sekretaris Negara dan Sekretaris Kabinet.
"Contoh kecilnya dapat dilihat besarnya peran pak Luhut dalam persiapan Konferensi Asia Afrika yang melebihi Menteri Luar Negeri. Belum lagi soal penempatan jabatan di pemerintahan dan BUMN," kata dia.
Menurut dia, hal tersebut mencerminkan janji kabinet ramping dan birokrasi efektif yang pernah dijanjikan Jokowi-JK pada masa kampanye, faktanya kini ’jauh panggang dari api.’ Adnan memandang Luhut seolah memanfaatkan minimnya pengalaman kenegaraan Presiden Jokowi untuk mengambil alih pengelolaan negara bak pelaksana tugas Presiden.
Dia meminta Presiden Jokowi untuk segera memotong infiltrasi Luhut yang dinilainya membahayakan keberlangsungan pemerintahan Kabinet Kerja.
"Jokowi jangan ragu-ragu untuk mencabut kewenangan besar Luhut atau bersiap menghadapi pemakzulan karena blunder-blunder yang berulang kali dilakukan dengan pak Luhut sebagai orang di belakangnya," jelas dia. [Ant/L-8]
"Pak Luhut memiliki sejumlah kewenangan yang besar, setara bahkan melampaui kewenangan Wakil Presiden yang diatur dalam konstitusi. Pak Luhut lebih mirip sebagai Plt Presiden," kata Koordinator Nasional Relawan Gema Nusantara M Adnan Rarasina, melalui siaran pers di Jakarta, Selasa (14/4).
Adnan menilai kewenangan Luhut yang begitu besar dapat mengganggu jalannya pemerintahan karena kewenangannya tumpang tindih dengan Wakil Presiden RI, Menteri Koordinator, Sekretaris Negara dan Sekretaris Kabinet.
"Contoh kecilnya dapat dilihat besarnya peran pak Luhut dalam persiapan Konferensi Asia Afrika yang melebihi Menteri Luar Negeri. Belum lagi soal penempatan jabatan di pemerintahan dan BUMN," kata dia.
Menurut dia, hal tersebut mencerminkan janji kabinet ramping dan birokrasi efektif yang pernah dijanjikan Jokowi-JK pada masa kampanye, faktanya kini ’jauh panggang dari api.’ Adnan memandang Luhut seolah memanfaatkan minimnya pengalaman kenegaraan Presiden Jokowi untuk mengambil alih pengelolaan negara bak pelaksana tugas Presiden.
Dia meminta Presiden Jokowi untuk segera memotong infiltrasi Luhut yang dinilainya membahayakan keberlangsungan pemerintahan Kabinet Kerja.
"Jokowi jangan ragu-ragu untuk mencabut kewenangan besar Luhut atau bersiap menghadapi pemakzulan karena blunder-blunder yang berulang kali dilakukan dengan pak Luhut sebagai orang di belakangnya," jelas dia. [Ant/L-8]
Jumat, 20/03/2015 16:51 WIB
Tim 9 Prihatin Kriminalisasi Terhadap KPK, Denny dan Tempo Jalan Terus
"Tidak hanya Denny ya. Saya menjadi prihati karena baik kasus AS, BW dan Adnan Pandu Praja yang saya tahu sudah jelas-jelas ada kesepakatan untuk tidak dilanjutkan, masih dilanjutkan," ujar anggota Tim 9, Imam Prasodjo, di sela aksi demo 'UI Bergerak' di kampus UI Salemba, Jakpus, Jumat (20/3/2015).
Tim 9 adalah tim konsultatif yang dibentuk Presiden Joko Widodo untuk menengahi konflik KPK-Polri. Menurut Imam, langkah Bareskrim yang tetap mengusut kasus-kasus itu akan terus menimbulkan ketegangan.
"Dan menjadi momok. Itu yang saya perhatiakan karena kalau alat negara kemudian merangsek terus dan mengancam kebebasan pers seperti Tempo itu mengancam freedom of speech. Kebebasan berbicara itu sendi-sendi demokrasi yang paling terancam, bukan hanya korupsi," ujar Imam.
"Isunya beralih dari awalnya gerakan antikorupsi sekarang menjadi demokrasi. Sekarang juga ada kemungkinan berkembang menjadi hak-hak asasi manusia. Kemarin Komnas HAM ada potensi karena disomasi," ujar Imam.
Denny Indrayana dibidik Bareskrim dalam kasus payment gateway, sewaktu pakar hukum tatanegara itu masih menjabat sebagai Wamenkum HAM. Pengusutan itu dilakukan tak lama setelah Denny mengkritik Polri terkait konflik dengan KPK.
Kabareskrim Komjen Budi Waseso kemarin mengatakan Bareskrim Polri tetap saja mengusut kasus yang melibatkan pimpinan KPK non aktif dan para pendukungnya"
Jalan terus! Kasus Pak BW dan AS jalan terus, maju. Yang lain-lain kita pending dulu tapi kasusnya jalan terus. Kalau Pak Denny jalan terus, kan hari Selasa diperiksa, dipanggil lagi," kata Buwas di Istana Negara, Jl Veteran, Jakarta Pusat, Kamis (19/3/2015).
Kasus yang melibatkan Tempo juga tetap dilanjutkan. Namun masih mengumpulkan saksi-saksi. "Kalau ini menyangkut UU Pers ya kita serahkan ke Dewan Pers. Tapi kalau pidana murni ya akan dilanjutkan terus," kata Buwas.
jum'at, 20 Maret 2015 | 06:54 WIB
Kisruh Jokowi Dijepit Kalla-Mega: Hanya Tsunami dalam...
"Hanya tsunami dalam gelas, tidak ada apa-apa," katanya saat dihubungi Tempo, Rabu, 18 Maret 2015.
Selain kasus Budi, mereka juga berbeda pendapat soal pengangkatan Wakil Kapolri Komisaris Jenderal Badrodin Haiti menjadi Kapolri. Mega tak sendiri. Wakil Presiden Jusuf Kalla sependapat dengannya.
"Karena saat kasus BG, Kalla dan Mega mempunyai kepentingan serupa," ujarnya.
Mega, kata Kristiadi, menganggap Budi dapat dipercaya lantaran pernah menjadi ajudannya. Sedangkan Kalla juga merasa Budi berjasa melalui ajudannya untuk meyakinkan Mega agar menjadi wakil Jokowi. Dengan demikian, keduanya mempunyai kedekatan emosional dengan Budi dan tak menghendaki calon lainnya menjadi Kapolri, termasuk Badrodin.
Perkara terbaru terkait dengan dualisme kepengurusan Partai Golkar. Menurut Kristiadi, baik Mega, Kalla, ataupun Jokowi akan satu suara. Mereka akan menyetujui kepengurusan Agung Laksono yang sejak awal menyatakan pro-pemerintahan. Persetujuan tersebut dimaksudkan untuk memperkuat koalisi pemerintah di parlemen.
"Tinggal tunggu waktunya Jokowi akan bicara. Sudah selesai Ical (Aburizal Bakrie) itu," ujarnya.
DEWI SUCI RAHAYU
Imam Prasodjo Anggap Jokowi Tak Solutif Tangani Kisruh KPK-Polri
Sabtu, 14 Maret 2015 | 00:10 WIB
"Tatarannya memang ada leadership di atas yang harus segera menentukan secara lebih decisive (menentukan). Tapi ketika di atas itu tidak melakukan langkah-langkah yang lebih decisive, apa terus kemudian akan diam saja?" kata Imam di Gedung KPK, Jakarta, Jumat (13/3/2015) malam.
Oleh karena itu, kata Imam, peran masyarakat juga diperlukan untuk menyelesaikan peraoalan tersebut. Salah satunya adalah upaya komunikasi yang dilakukan oleh dua pihak yang terlibat, yaitu KPK dan Polri.
"Yang kita tanyakan, apa yang diusahakan pihak KPK agar hal seperti itu bisa terhenti? Kan harus ada unsur di tengah mau pun di bawah ikut menyelesaikan," kata Imam.
Saat ini, KPK telah menggulirkan penanganan kasus Komjen Budi Gunawan ke KPK. Polri pun sepakat untuk menghentikan sementara pemeriksaan terhadap dua pimpinan nonaktif KPK sesuai surat permintaan yang ditulis Ketua sementara KPK Tauciequrachman Ruki kepada Wakil Kepala Polri Badrodin Haiti. Namun, apakah langkah tersebut cukup untuk menghentikan kisruh keduanya?
"Ini kan sudah ada pelimpahan. Problem-nya, apakah ini menyelesaikan masalah? Kan pertanyaan-pertanyaan itu akan muncul," jawab Imam.
Jangan sampai, kata Imam, permasalahan di antara dia instansi penegak hukum itu meluas ke pihak lain. Ia mengatakan, upaya yang dilakukan ke depan semestinya tidak memperkeruh situasi di masyarakat.
"Kan khawatir penersangkaan semakin masuk lagi ke wilayah-wilayah yang sebetulnya melebar. Ini yang kita tidak ingin upaya-upaya yang selama ini kita perjuangkan melebar ke mana-mana," kata Imam.
Penulis | : Ambaranie Nadia Kemala Movanita |
Editor | : Bayu Galih |
Rabu, 11 Maret 2015 | 07:46 WIB
Zaenal Heran Perintah Jokowi Dibantah Langsung Pembantunya
Presiden Joko Widodo didampingi
Wakil Presiden Jusuf Kalla saat akan konperensi pers di Istana Merdeka,
Jakarta, 18 Februari 2015. Presiden Jokowi mengeluarkan Kepres pemberhentian
dua pimpinan KPK Bambang Widjojanto dan Abraham Samad. TEMPO/Subekti.
TEMPO.CO, Yogyakarta -
Direktur Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT) UGM, Zaenal Arifin Mochtar
mengingatkan wibawa Presiden Joko Widodo (Jokowi) bisa semakin merosot apabila
kriminalisasi terus berlanjut. Dia mendesak Jokowi mengeluarkan tindakan
sebagai penegas perintahnya. "Mana buktinya, kami menagih janji dia,"
kata Zaenal setelah Seminar Nasional "Kajian Strategi Nasional
Penanggulangan Korupsi" di Grha Sabha Pramana UGM pada Selasa, 10 Maret
2015.
Saat ini, dia mencatat, masih ada 21 kasus yang diproses di Badan Reserse Kriminal Polri menyangkut mantan komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), penyidik dan pegiat antikorupsi pendukungnya. Kasus-kasus, yang diduga oleh para aktivis Antikorupsi berbau kriminalisasi, itu masih ditambah pelaporan Komnas HAM. "Kasus ini (konflik KPK-Polri) dibiarkan berlarut hampir dua bulan, ongkos sosialnya sudah ketinggian," kata Zaenal.
Dia menambahkan wibawa Jokowi merosot karena selama dua bulan terakhir perintahnya seringkali tidak terealisasi. Pernyataan sejumlah pembanti presiden, bahkan wakilnya ke media, justru berseberangan dengan perintah itu.
Zaenal menilai ada keanehan di fenomena ini sebab di sistem presidensial semestinya presiden memiliki kewenangan besar. "Tapi, presiden beri perintah ke utara, pembantunya malah ke selatan," kata dia.
Dia mencontohkan itu terjadi sejak Jokowi memerintahkan penundaan pelantikan Budi Gunawan (BG) sebagai Kepala Polri ditunda. Dia mencatat, Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly justru pernah menyatakan semestinya pelantikan bisa dilakukan. Pekan kemarin, setelah Jokowi memerintahkan penghentian kriminalisasi, Wakilnya, Jusuf Kalla (JK) menyatakan kebalikannya, yakni penanganan kasus harus berlanjut. "Pernyataan Wapres itu fatal," kata Zaenal.
Dia heran para pembantu Jokowi bisa berani berbeda pendapat secara langsung dengannya. Pakar hukum tata negara itu menyimpulkan wibawa Jokowi jatuh sebab selama ini tidak tegas menyikapi pelemahan agenda pemberantasan korupsi. "Padahal kalau tegas, ada banyak (masalah) yang bisa selesai dengan cepat dan murah (tanpa ongkos sosial tinggi)," kata dia.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan, Tedjo Edhi Purdijatno membantah ada perbedaan pendapat antara Jokowi dengan JK mengenai kriminalisasi. Menurut dia, sikap keduanya sama, tapi cara penyampaiannya berbeda. "Penjelasan wapres sudah benar itu," kata Edhi saat berkunjung ke Fakultas Hukum UGM pada Senin, 9 Maret 2015.
ADDI MAWAHIBUN IDHOM
Saat ini, dia mencatat, masih ada 21 kasus yang diproses di Badan Reserse Kriminal Polri menyangkut mantan komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), penyidik dan pegiat antikorupsi pendukungnya. Kasus-kasus, yang diduga oleh para aktivis Antikorupsi berbau kriminalisasi, itu masih ditambah pelaporan Komnas HAM. "Kasus ini (konflik KPK-Polri) dibiarkan berlarut hampir dua bulan, ongkos sosialnya sudah ketinggian," kata Zaenal.
Dia menambahkan wibawa Jokowi merosot karena selama dua bulan terakhir perintahnya seringkali tidak terealisasi. Pernyataan sejumlah pembanti presiden, bahkan wakilnya ke media, justru berseberangan dengan perintah itu.
Zaenal menilai ada keanehan di fenomena ini sebab di sistem presidensial semestinya presiden memiliki kewenangan besar. "Tapi, presiden beri perintah ke utara, pembantunya malah ke selatan," kata dia.
Dia mencontohkan itu terjadi sejak Jokowi memerintahkan penundaan pelantikan Budi Gunawan (BG) sebagai Kepala Polri ditunda. Dia mencatat, Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly justru pernah menyatakan semestinya pelantikan bisa dilakukan. Pekan kemarin, setelah Jokowi memerintahkan penghentian kriminalisasi, Wakilnya, Jusuf Kalla (JK) menyatakan kebalikannya, yakni penanganan kasus harus berlanjut. "Pernyataan Wapres itu fatal," kata Zaenal.
Dia heran para pembantu Jokowi bisa berani berbeda pendapat secara langsung dengannya. Pakar hukum tata negara itu menyimpulkan wibawa Jokowi jatuh sebab selama ini tidak tegas menyikapi pelemahan agenda pemberantasan korupsi. "Padahal kalau tegas, ada banyak (masalah) yang bisa selesai dengan cepat dan murah (tanpa ongkos sosial tinggi)," kata dia.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan, Tedjo Edhi Purdijatno membantah ada perbedaan pendapat antara Jokowi dengan JK mengenai kriminalisasi. Menurut dia, sikap keduanya sama, tapi cara penyampaiannya berbeda. "Penjelasan wapres sudah benar itu," kata Edhi saat berkunjung ke Fakultas Hukum UGM pada Senin, 9 Maret 2015.
ADDI MAWAHIBUN IDHOM
Tambah Kewenangan Luhut, Jokowi Dianggap Jadi "Setengah Presiden"
Jumat, 6 Maret 2015 | 16:37 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com — Bendahara Umum Partai Golkar Bambang Soesatyo menilai Presiden Joko Widodo kini hanya menjadi "setengah Presiden" karena telah menambah kewenangan Kepala Staf Kepresidenan Luhut Binsar Panjaitan. Pasalnya, kata dia, kewenangan, yang semula seharusnya dijalankan oleh Presiden, kini dijalankan oleh Luhut.
"Pandangan kami, Presiden sudah membelah dirinya, tidak lagi full Presiden, tetapi setengah Presiden," kata Bambang di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Jumat (6/3/2015).
Kewenangan yang diberikan kepada Luhut, kata Bambang, dapat menjadikan Luhut layaknya presiden harian. Luhut nantinya bisa menjalankan tugas Presiden sehari-hari, seperti melakukan koordinasi dengan menteri-menteri di kabinet kerja hingga menentukan program prioritas.
"Istilahnya, kalah di partai, ada ketua umum, ada ketua harian. Nah, sekarang juga ada Presiden, ada presiden harian," ucapnya.
Kendati demikian, anggota Komisi III DPR ini enggan mempermasalahkan penambahan kewenangan terhadap Luhut itu. Menurut dia, setiap Presiden memang punya cara masing-masing dalam menjalankan pemerintahannya.
"Justru saya beri apresiasi ke Presiden, artinya dia mengetahui kemampuannya sejauh mana," ucap Bambang.
Sekretaris Kabinet Andi Widjajanto sebelumnya menegaskan bahwa Kepala Staf Kepresidenan tidak memiliki tugas mengevaluasi menteri Kabinet Kerja. Menurut Andi, kewenangan tertinggi Kepala Staf Kepresidenan adalah melakukan koordinasi lintas kementerian koordinator.
Presiden Joko Widodo menerbitkan Perpres No 26/2015 tentang Kepala Staf Kepresidenan. Luhut, selaku Kepala Staf Kepresidenan yang sebelumnya mendukung komunikasi politik dan mengelola isu-isu strategis kepresidenan sesuai Perpres Nomor 190 Tahun 2014 tentang Unit Kantor Presiden, kini ikut mengendalikan program prioritas.
Penulis | : Ihsanuddin |
Editor | : Sandro Gatra |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar