Selasa, 22 September 2015

Cerita Gubernur Papua ngamuk gara-gara aksi menteri Jokowi

Reporter : Mohammad Yudha Prasetya | Selasa, 22 September 2015 09:03
Cerita Gubernur Papua ngamuk gara-gara aksi menteri Jokowi
Gubernur Papua Lukas Enembe. ©2013 Merdeka.com/m. luthfi rahman
Merdeka.com - Gubernur Papua Lukas Enembe dikabarkan sangat murka, karena kedatangan tiga orang menteri kabinet Jokowi-JK ke PT Freeport Indonesia, pada pekan lalu. Pasalnya, kedatangan tiga menteri yang terdiri dari Menteri Perindustrian Saleh Husin, Menteri Energi Sumber Daya Mineral Sudirman Said, dan Menteri Perencanaan Pembangunan/Kepala Bappenas Sofyan Djalil itu, sama sekali tanpa koordinasi dengan pemerintah setempat.

"Pak Gubernur sangat marah. Kami juga marah karena tiga menteri itu datang melakukan kunjungan kerja ke PT Freeport tanpa terlebih dahulu berkoordinasi dengan pemda. Apakah memang aturan protokoler kementerian seperti itu?" kata Bupati Mimika Eltinus Omaleng, di Timika, Senin (21/9).

Eltinus mengatakan, dirinya yang saat ini sedang berada di Manado, Sulawesi Utara, guna menghadiri rapat kerja dengan Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Agraria, dan kementerian terkait lainnya, baru mengetahui kedatangan ketiga menteri tersebut sehari setelahnya.

Sebab, ketiga menteri yang didampingi sejumlah pejabat teras BUMN itu, sudah tiba di Bandara Moses Kilangin, Timika, pada Sabtu (19/9) pukul 04.30 WIT, dengan menumpang pesawat Airfast milik PT Freeport Indonesia. Rombongan kemudian melanjutkan perjalanan ke Tembagapura dengan menumpang helikopter Airfast milik PT Freeport.

Eltinus mengaku, sebelumnya pihak pemerintah setempat memang sempat menerima permintaan rapat dari rombongan menteri tersebut. Namun, dikarenakan hari libur, hal itu pun ditolak oleh pihaknya.

"Mereka meminta untuk melakukan rapat dengan kami dari Pemda Papua, dan Pemda Mimika di Pendopo Rumah Negara (rumah jabatan Bupati Mimika di Karang Senang) pada hari Minggu jam 10 pagi. Saya langsung lapor ke Pak Gubernur. Kami menolak permintaan mereka, karena itu hari libur. Apalagi bertepatan dengan kegiatan ibadah," ujar Eltinus.
 Merdeka.com - Karena merasa tidak dianggap, Eltinus mengaku pihak Pemkab Mimika dan pihak Pemprov Papua akan menyampaikan surat protes keras kepada Presiden Joko Widodo di Jakarta. "Kami akan sampaikan surat protes keras ke Presiden di Jakarta. Lain kali tidak boleh pakai cara-cara seperti ini. Kalau ada menteri mau datang, terlebih dahulu harus koordinasi dengan pemda," ujar Eltinus.

Dalam surat kepada presiden itu, Eltinus mengaku pihaknya juga akan mempertanyakan kepentingan apa yang ada di balik kunjungan ketiga menteri Jokowi tersebut ke Freeport secara diam-diam. Dirinya bahkan menilai, selama ini pemerintah pusat selalu memberikan hak-hak sangat istimewa kepada PT Freeport Indonesia.

Akibat adanya perlakuan istimewa itu, lanjut Eltinus, terkadang para pejabat Jakarta tidak pernah merasa ada pemerintahan di Papua yang juga punya hak dan kewenangan mengatur dan mengawasi Freeport.

Diketahui, kunjungan kerja ketiga menteri Jokowi itu berlangsung, saat tengah bergolak sengketa antara PT Freeport dengan warga Suku Amungme, Papua, yang meminta perusahaan penambangan emas asal Amerika Serikat itu membayar ganti rugi lebih dari Rp 400 triliun, atas pemanfaatan lahan jutaan hektare demi kelangsungan bisnis pertambangannya.

Mereka menuntut imbal balik pemanfaatan tanah hak ulayat itu, berdasarkan fakta bahwa selama lebih dari 40 tahun Freeport Indonesia beroperasi di Papua, perusahaan itu belum pernah sepeser pun membayar ganti rugi hak ulayat kepada Suku Amungme. Mereka hanya membayar dana satu persen, atau sekarang yang disebut sebagai dana kemitraan, dari pendapatan kotornya sejak 1996. Hal itu mereka anggap sudah sangat cukup sebagai bentuk tanggung jawab sosial mereka kepada masyarakat setempat.

Hal itu tentunya bukanlah keinginan warga setempat, yang menginginkan tanah mereka dihargai dengan layak, bukan dengan jumlah yang sangat jauh dari harapan mereka tersebut. Padahal, PT Freeport Indonesia merupakan perusahaan penanaman modal asing (PMA) pertama di Indonesia, yang menjalin kontrak karya I dengan Pemerintah Indonesia sejak 1967.

Mereka memperpanjang kegiatan pengerukan emas dan hasil tambang lainnya melalui kontrak karya tahap II pada 1991, semasa pemerintahan Presiden Soeharto. Menjelang masa akhir kontrak karya tahap II PT Freeport pada 2021, mereka kini terus melobi pemerintah Indonesia, guna mendapatkan izin perpanjangan kegiatan pertambangan khusus.

Tidak ada komentar: