Sabtu, 13 Mei 2017

PAN Terbiasa Berdiri Di Dua Kaki, Upaya Meredam Prabowo & Senja Karir Bagi JK

Zulkifli & Jusuf Kalla
Pasca kemenangan Anies-Sandi di Pilgub DKI, sosok Prabowo seolah dianggap king maker. Tangan dingin Prabowo terbukti berhasil mendudukkan jagoannya di kursi gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta untuk periode 2017-2022.
Yang menarik adalah cerita di balik pencalonan Anies-Sandi yang ternyata ada campur tangan dari pihak lain di luar Prabowo Subianto.
Cerita dimulai dari Ketum PAN Zulkifli Hasan yang mengungkap peran Jusuf Kalla di balik munculnya Anies-Sandi di Pilgub DKI, kemudian Ketum PPP Romahurmuziy yang ikut mengklaim berada di balik munculnya Anies Baswedan di Pilgub DKI.
Wapres Jusuf Kalla pun akhirnya muncul. Memang JK tak menyebut dirinya berpengaruh besar dalam munculnya duet Anies-Sandi, namun JK membenarkan dirinya berkomunikasi dengan Prabowo jelang Pilgub DKI.
Menurut Peneliti Lingkaran Survei Indonesia Adjie Alfaraby melihat manuver ini sebagai upaya meredam kekuatan Prabowo. Lantaran begitu kuatnya panggung Prabowo pasca Pilgub DKI. Tak ingin Prabowo semakin digdaya, manuver mulai dilakukan, tujuannya untuk meredam kekutan Ketum Gerindra itu menuju Pilpres 2019. (Sumber)
Benarkah seperti itu?
Jawabannya bisa iya, bisa juga tidak! Masing-masing partai politik tentunya punya strategi dan cara masing-masing. Tujuannya jelas untuk keuntungan masing-masing partai tersebut. Masalah apakah harus meredam atau menjegal pihak lain itu hanya salah satu cara yang dipakai untuk memuluskan tujuan politiknya.
Ketika pertama kali misteri kotak pandora penetapan pasangan Anies-Sandi itu dibuka ke publik, PAN adalah pihak yang pertama kali bermanuver untuk tujuan 2019. Saat ini PAN menempatkan ketua umumnya Zulkifli Hasan sebagai pemegang pucuk tertinggi di Majelis Permusyawaratan Rakyat dan satu kadernya ikut dalam gerbong kabinet Jokowi-Jk.
Sikap PAN yang membuka peran JK terhadap pencalonan Anies Baswedan bisa bermakna dua. Pertama, PAN membuka bahwa Prabowo bukan satu-satunya tokoh yang berperan dalam meminta Anies sebagai calon gubernur karena faktanya ada peran JK yang meyakinkan Prabowo untuk mengusung Anies. Kedua, PAN sekaligus menelanjangi JK sehingga publik dapat menangkap kesan bahwa JK tidak netral. Selama ini pihak tertentu menekan Jokowi untuk netral di Pilkada Jakarta.
Makna ganda lainnya dari sikap PAN dengan membongkar ‘kedok’  JK adalah untuk menarik simpati dari Jokowi dan sekaligus memberikan tekanan kepada Prabowo. PAN mungkin ingin berperan sebagai pihak yang berjasa terhadap Jokowi dan di sisi lainnya melalui Amien Rais, PAN menekan Prabowo agar konsisten dan tidak mengambil Anies Baswedan sebagai wapres untuk keperluan 2018 nanti. Dengan mengunci Anies Baswedan tetap sebagai gubernur di DKI, ada kemungkinan Prabowo kembali mengambil kader PAN untuk dijadikan sebagai calon wakil presiden seperti yang terjadi di 2014 lalu.
Jadi menurut saya upaya PAN bukan untuk meredam Prabowo maju sebagai calon presiden karena pamornya yang kembali mentereng tetapi lebih cenderung memanfaatkan situasi untuk kepentingan politik PAN itu sendiri. Seperti biasa, partai oportunis cenderung bermuka badak seperti PAN ini akan mengikuti arah angin berhembus untuk menuju kepada kenikmatan politiknya. Berdiri di dua kaki adalah hal yang dianggap wajar oleh PAN. Contoh sikap bertentangan dari PAN adalah ketika ada kadernya yang duduk di kabinet Jokowi-Jk, tapi di sisi lain dedengkotnya,  Amies Rais, selalu berteriak untuk melawan Jokowi di setiap ada momen unjuk rasa.
JK Masih Memiliki Syahwat Politik di 2019?
Setelah ‘kedok’ nya terbongkar dan ditelanjangi oleh oleh PAN lewat Zulkifli Hasan yang menyebut jika punya peran terhadap pencalonan Anies Baswedan lalu dilanjut dengan Amien Rais yang menyentil JK dengan mengungkit pernyataan JK bahwa negara akan hancur jika dipimpin oleh Jokowi, apakah JK sebenarnya masih punya ambisi politik di 2019?
Menurut saya peluangnya tetap ada, tapi lebih kecil mengingat usia JK yang sudah terlalu uzur. Gerak JK yang tidak selincah sewaktu menjadi wakil presidennya SBY juga ditengarai karena Jokowi mengetahui sepak terjang JK yang membuat kebijakan bertentangan dengan Jokowi. Satu persatu orang dekat JK di kabinet Jokowi-Jk sudah dipreteli melalui proses reshuffle.
Jikapun dipaksakan maju sebagai calon presiden nanti, JK belum cukup modal karena selama Golkar masih dipegang oleh Setya Novanto, Golkar akan tetap berkomitmen untuk mendukung Jokowi di 2019 nanti. Berbeda halnya jika Setnov pada akhirnya dilengserkan dari Ketum Golkar karena terbukti terlibat dalam kasus e-KTP yang menyeret namanya, kemudian Golkar dipegang oleh orang yang memiliki kedekatan dengan JK. Ada kemungkinan JK akan maju kembali di 2019.
Opsi terakhir bagi JK adalah bermain aman dan tidak lagi terjun ke politik. Dalam arti bisa mengamankan kepentingan bisnis pribadi dan keluarganya. Mendudukan Anies Baswedan sebagai gubernur terpilih dipercaya pihak akan menguntungkan JK dibanding jika Ahok yang terpilih. Ahok adalah pribadi tegas, anti memihak dan pantang untuk kongkalingkong dengan pengusaha manapun, malah pengusaha yang harus merogoh koceknya lebih dalam untuk menyalurkan kewajiban CSR kepada Pemprov Jakarta.
Di sisa waktu menjelang 2019, JK mungkin akan mencoba peruntungannya kembali untuk mendudukan orang kepercayaan menempati posisi strategis di kabinet melalui reshuffle maupun BUMN. Sekali lagi tujuannya tentu mengamankan aset-aset perusahaannya untuk masa depan anak cucu JK kelak.
Jadi kalau untuk kembali ke politik praktis apalagi ada kesan bahwa manuver JK adalah untuk meredam Prabwo sepertinya itu masih jauh panggang dari api. Karir politik JK sudah senja, sesenja usianya yang sudah semakin menua.
Meminjam istilah dari Bang Iwan untuk JK, “Pak Tuaaaa, Sudahlaah….!”

Tidak ada komentar: