
Zulkifli & Jusuf Kalla
Pasca kemenangan Anies-Sandi di Pilgub DKI, sosok Prabowo seolah dianggap king maker.
Tangan dingin Prabowo terbukti berhasil mendudukkan jagoannya di kursi
gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta untuk periode 2017-2022.
Yang menarik adalah cerita di balik
pencalonan Anies-Sandi yang ternyata ada campur tangan dari pihak lain
di luar Prabowo Subianto.
Cerita dimulai dari Ketum PAN Zulkifli
Hasan yang mengungkap peran Jusuf Kalla di balik munculnya Anies-Sandi
di Pilgub DKI, kemudian Ketum PPP Romahurmuziy yang ikut mengklaim
berada di balik munculnya Anies Baswedan di Pilgub DKI.
Wapres Jusuf Kalla pun akhirnya muncul.
Memang JK tak menyebut dirinya berpengaruh besar dalam munculnya duet
Anies-Sandi, namun JK membenarkan dirinya berkomunikasi dengan Prabowo
jelang Pilgub DKI.
Menurut Peneliti Lingkaran Survei
Indonesia Adjie Alfaraby melihat manuver ini sebagai upaya meredam
kekuatan Prabowo. Lantaran begitu kuatnya panggung Prabowo pasca Pilgub
DKI. Tak ingin Prabowo semakin digdaya, manuver mulai dilakukan,
tujuannya untuk meredam kekutan Ketum Gerindra itu menuju Pilpres 2019. (Sumber)
Benarkah seperti itu?
Jawabannya bisa iya, bisa juga tidak!
Masing-masing partai politik tentunya punya strategi dan cara
masing-masing. Tujuannya jelas untuk keuntungan masing-masing partai
tersebut. Masalah apakah harus meredam atau menjegal pihak lain itu
hanya salah satu cara yang dipakai untuk memuluskan tujuan politiknya.
Ketika pertama kali misteri kotak pandora
penetapan pasangan Anies-Sandi itu dibuka ke publik, PAN adalah pihak
yang pertama kali bermanuver untuk tujuan 2019. Saat ini PAN menempatkan
ketua umumnya Zulkifli Hasan sebagai pemegang pucuk tertinggi di
Majelis Permusyawaratan Rakyat dan satu kadernya ikut dalam gerbong
kabinet Jokowi-Jk.
Sikap PAN yang membuka peran JK terhadap
pencalonan Anies Baswedan bisa bermakna dua. Pertama, PAN membuka bahwa
Prabowo bukan satu-satunya tokoh yang berperan dalam meminta Anies
sebagai calon gubernur karena faktanya ada peran JK yang meyakinkan
Prabowo untuk mengusung Anies. Kedua, PAN sekaligus menelanjangi JK
sehingga publik dapat menangkap kesan bahwa JK tidak netral. Selama ini
pihak tertentu menekan Jokowi untuk netral di Pilkada Jakarta.
Makna ganda lainnya dari sikap PAN dengan
membongkar ‘kedok’ JK adalah untuk menarik simpati dari Jokowi dan
sekaligus memberikan tekanan kepada Prabowo. PAN mungkin ingin berperan
sebagai pihak yang berjasa terhadap Jokowi dan di sisi lainnya melalui
Amien Rais, PAN menekan Prabowo agar konsisten dan tidak mengambil Anies
Baswedan sebagai wapres untuk keperluan 2018 nanti. Dengan mengunci
Anies Baswedan tetap sebagai gubernur di DKI, ada kemungkinan Prabowo
kembali mengambil kader PAN untuk dijadikan sebagai calon wakil presiden
seperti yang terjadi di 2014 lalu.
Jadi menurut saya upaya PAN bukan untuk
meredam Prabowo maju sebagai calon presiden karena pamornya yang kembali
mentereng tetapi lebih cenderung memanfaatkan situasi untuk kepentingan
politik PAN itu sendiri. Seperti biasa, partai oportunis cenderung
bermuka badak seperti PAN ini akan mengikuti arah angin berhembus untuk
menuju kepada kenikmatan politiknya. Berdiri di dua kaki adalah hal yang
dianggap wajar oleh PAN. Contoh sikap bertentangan dari PAN adalah
ketika ada kadernya yang duduk di kabinet Jokowi-Jk, tapi di sisi lain
dedengkotnya, Amies Rais, selalu berteriak untuk melawan Jokowi di
setiap ada momen unjuk rasa.
JK Masih Memiliki Syahwat Politik di 2019?
Setelah ‘kedok’ nya terbongkar dan
ditelanjangi oleh oleh PAN lewat Zulkifli Hasan yang menyebut jika punya
peran terhadap pencalonan Anies Baswedan lalu dilanjut dengan Amien
Rais yang menyentil JK dengan mengungkit pernyataan JK bahwa negara akan
hancur jika dipimpin oleh Jokowi, apakah JK sebenarnya masih punya
ambisi politik di 2019?
Menurut saya peluangnya tetap ada, tapi
lebih kecil mengingat usia JK yang sudah terlalu uzur. Gerak JK yang
tidak selincah sewaktu menjadi wakil presidennya SBY juga ditengarai
karena Jokowi mengetahui sepak terjang JK yang membuat kebijakan
bertentangan dengan Jokowi. Satu persatu orang dekat JK di kabinet
Jokowi-Jk sudah dipreteli melalui proses reshuffle.
Jikapun dipaksakan maju sebagai calon
presiden nanti, JK belum cukup modal karena selama Golkar masih dipegang
oleh Setya Novanto, Golkar akan tetap berkomitmen untuk mendukung
Jokowi di 2019 nanti. Berbeda halnya jika Setnov pada akhirnya
dilengserkan dari Ketum Golkar karena terbukti terlibat dalam kasus
e-KTP yang menyeret namanya, kemudian Golkar dipegang oleh orang yang
memiliki kedekatan dengan JK. Ada kemungkinan JK akan maju kembali di
2019.
Opsi terakhir bagi JK adalah bermain aman
dan tidak lagi terjun ke politik. Dalam arti bisa mengamankan
kepentingan bisnis pribadi dan keluarganya. Mendudukan Anies Baswedan
sebagai gubernur terpilih dipercaya pihak akan menguntungkan JK
dibanding jika Ahok yang terpilih. Ahok adalah pribadi tegas, anti
memihak dan pantang untuk kongkalingkong dengan pengusaha manapun, malah
pengusaha yang harus merogoh koceknya lebih dalam untuk menyalurkan
kewajiban CSR kepada Pemprov Jakarta.
Di sisa waktu menjelang 2019, JK mungkin
akan mencoba peruntungannya kembali untuk mendudukan orang kepercayaan
menempati posisi strategis di kabinet melalui reshuffle maupun BUMN.
Sekali lagi tujuannya tentu mengamankan aset-aset perusahaannya untuk
masa depan anak cucu JK kelak.
Jadi kalau untuk kembali ke politik
praktis apalagi ada kesan bahwa manuver JK adalah untuk meredam Prabwo
sepertinya itu masih jauh panggang dari api. Karir politik JK sudah
senja, sesenja usianya yang sudah semakin menua.
Meminjam istilah dari Bang Iwan untuk JK, “Pak Tuaaaa, Sudahlaah….!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar