Membaca judul di atas, serta-merta
sebagian besar orang akan tanpa ragu membenarkan bahwa Jokowi telah sah
dinilai sebagai Satrio Piningit, sosok yang ada dalam ramalan Jayabaya,
raja Kerajaan Kadiri kuno. Di antaranya mungkin netizen berikut:
Blogger dengan nick name “minto” yang mana
pada Minggu, 19 Oktober 2014, menulis demikian, “Kesederhanaan,
tegas, jujur, amanah, senang berbagi dan merasa senasib sepenanggungan
menjadi karakter Jokowi yang tidak dibuat-buat. Dan hal itu dalam
ramalan Jaya baya juga menjadi ciri dari Satrio Piningit Sinisihan Wahyu
yang didambakan kedatangannya.
Kecintaan, usaha melestarikan budaya luhur
bangsa, juga melekat pada Jokowi. Hal itu juga menjadi pribadi Satrio
Piningit yang diramalkan Jayabaya dan datang dari daerah Semarang Jawah
Tengah.Maka tidaklah berlebihan jika akhirnya penulis memperkenalkan
sosok pemimpin masa depan dengan caranya sendiri.” (Cek sumbernya di sini).
Pada beberapa bulan sebelumnya yakni pada
31 Januari 2014, Adhin Busro, seorang kompasioner, bahkan blak-blakan
mengatakan bahwa Jokowilah Satrio Piningit yang diidam-idamkan seturut
ramalan Jayabaya.“Jika SBY adalah Satrio Pambukaning Gapuro
artinya tidak bisa tidak the next presiden adalah sang Piningit, yang
muncul tiba-tiba. Dialah Ir Joko Widodo”, demikian katanya. (Cek sumbernya di sini).
Kedua netizen di atas hanyalah sample acak
yang saya ambil dari sedemikian banyaknya netizen dan juga bahkan yang
tak sempat mengunggahnya ke jejaring sosial, orang-orang yang sedemikian
yakin bahwa benar Jokowi adalah sosok pemimpin yang lama diramalkan
Jayabaya yakni Satrio Piningit.
Mohon diperhatikan bahwa tulisan kedua
netizen di atas itu terjadi sebelum Jokowi resmi memimpin Republik
Indonesia. Itu artinya, mereka hanya memperhatikan “keserbakebetulanan”
yang tergenapi antara ramalan dan yang terjadi secara personal tentang
siapa Jokowi. Jadi, belum “melihat” apa yang dikerjakan Jokowi bagi
negeri ini sampai pantas disebut Satrio Piningit.
Tentu saja, bila dipandang dari waktu
ketika Jokowi belum resmi menjabat sebagai Presiden RI, keyakinan ini
patut disebut sebagai kesimpulan prematur. Sebab, idealnya biar
menggenapi betul ramalan kuno itu, harusnya karya Jokowi bagi nusa dan
bangsa ikut dipatut-patutkan. Maka, waktu yang tepat ialah saat ini dan
seterusnya. Mengapa? Karena, Jokowi sudah resmi menjabat selama 2 tahun
lebih dan masih akan memerintah hingga 2019 sampai presiden baru
terpilih.
Satrio Piningit Itu Sosok dalam Ramalan, Bagaimana Jokowi Bisa Dibilang Menggenapinya?
Kedua netizen dan sebahagian lagi
orang-orang dengan keyakinan yang sama tentang sosok Jokowi sebelum
beliau resmi menjabat Presiden RI “bisa boleh” dikatakan benar secara
rasional.
Mari kita tengok penggenapan beberapa ayat
ramalan dalam Jangka Jayabaya tersebut dalam diri Jokowi (ayat-ayat ini
adalah dari 157-173. Adapun yang kami kutip di sini, hanya yang
tergenapi dalam diri Jokowi).
- Selambat-lambatnya kelak menjelang tutup tahun. Tutup tahun 2014 yang lalu adalah pemilihan Presiden RI. Tutup tahun setelah jaman kalabendu atau jaman edan. Tahun di mana Joko Widodo dan Yusuf Kalla memenangi pilpres dengan kemenangan yang dramatis dan fenomenal, mengakhiri masa kepemimpinan SBY yang penuh dengan kasus-kasus mega korupsi dan kisah-kisah intoleransi yang seperti sengaja dibiarkan.
- Akan ada dewa tampil berbadan manusia berparas seperti Batara Kresna berwatak seperti Baladewa bersenjata trisula wedha. Sampai saat ini banyak pengagum Jokowi yang begitu mencintainya bahkan menganggapnya manusia setengah dewa. Senjata andalannya adalah jujur, bersih dan merakyat.
- Tanda datangnya perubahan zaman orang pinjam mengembalikan, orang berhutang membayar hutang, nyawa bayar nyawa, hutang malu dibayar malu. Tax Amnesty, koruptor-koruptor kakap ditangkap dan dipaksa kembalikan kerugian negara atau diantar ke balik penjara dengan lugas baru terjadi di era kepemimpinan Jokowi. Penghormatannya kepada mekanisme hukum juga tercermin dari bergemingnya sikap beliau di hadapan kasus Al-Maidah yang menjerat Ahok mantan tandemnya semasa menjabat Gubernur DKI Jakarta. Andaikata dia mau, dia bisa saja membebaskan Ahok dari berbagai tuduhan tak berdasar yang kemudian mengantarnya ke balik jeruji bui. Namun, Jokowi memilih membiarkan proses hukum berjalan sampai-sampai para pendukung Ahok dibuat gemas karena kebanyakan dari mereka tidak tahu permainan catur seperti apa yang ditempuh Jokowi di hadapan kasus tersebut. Meski kontroversial, toh fenomena Jokowi diam terhadap kasus hukum Ahok adalah teladan nyata seorang pemimpin terhadap lembaga hukum dan peradilan. Fenomena ini tergolong praktis membuncahkan harapan segenap rakyat terhadap jatuhnya para sengkuni dan brahmana dari istana mapan milik mereka selama ini yang nyaris tak tersentuh hukum meski nyata menciderai kepentingan orang banyak. Dahaga jelata pun jelas terpuaskan.Masih di ranah hukum, KPK benar-benar diperkuatnya dan dijadikan mesin pembunuh para politisi karir yang selama ini terkesan kebal hukum meski nyata-nyata menilep uang hasil keringat rakyat. Wajar kalau markas para politisi karir ini yakni Senayan sampai mewacanakan Pansus KPK sebab nasib mereka di masa pemerintahan Jokowi ini benar-benar dibuat tak berkutik di hadapan KPK, bahkan kawan sesama partai pun dibabat habis tanpa ampun bila melakukan korupsi.
- Asalnya dari kaki Gunung Lawu sebelah timurnya bengawan. Asal Jokowi adalah dari Solo atau sisi Bengawan Solo.
- Banyak suara aneh tanpa rupa, pasukan makhluk halus sama-sama berbaris, berebut garis yang benar, tak kelihatan, tak berbentuk. Setelah resminya Jokowi jadi Presiden dan bahkan semenjak jadi Gubernur DKI Jakarta, sejak itu pula mulai terasa sebuah kekuatan yang entah dari mana datangnyanya, seolah-olah seperti tentara dari langit yang bahu-membahu membantu kinerjanya. Bahkan sampai pernah ada seorang kaskuser mencurigai bahwa pasukan tak kasat mata ini adalah keyboard warrior, pasukan bayaran Jokowi. Ini jelas sebuah tuduhan yang sulit dibuktikan hingga sekarang. Bahwa Jokowi memiliki timses saat hendak membidik kursi RI 1 atau DKI 1 adalah wajar, namun bila dibilang Jokowi masih membayar orang untuk membantu kinerjanya hingga kini, itu sudah tidak masuk di akal.Sekuat berapa sih kekayaan Jokowi dalam membayar jutaan netizen yang seolah tak pernah kehabisan bahan dalam memberitakan hal-hal positif terkait kinerja Jokowi hingga saat ini? Yang benar-benar dibayar ya tentu saja PNS, sebab secara hukum mereka adalah para pembantu presiden hingga tingkat akar rumput. Itupun negara yang bayar. Jadi, dari mana dalilnya bahwa yang yang membantu Jokowi selama ini adalah pasukan bayaran.
- Jika berperang tanpa pasukan sakti mandraguna tanpa azimat. Ia seakan bekerja sendiri, berperang sendiri, blusukan sendiri tanpa pasukan, kecuali pasukan yang tak terlihat. Namun kesendiriannya tidak melunturkan kesaktiannya.
- Bergelar pangeran perang, kelihatan berpakaian kurang pantas namun dapat mengatasi keruwetan orang banyak. Pada Jokowi kita melihat presiden sederhana yang berpakaian apa adanya namun di situlah dia mampu mengurai keruwetan. Dia tak perlu memakai seragam kebesaran ala seorang raja atau panglima perang, namun lihatlah OPM (Organisasi Papua Merdeka) pun bahkan kini berikrar setia pada NKRI (Cek di sini).Demikian pula saat tampil di Monas pada saat Aksi Bela Islam Jilid II, semua jadi tenang tanpa huru-hara berlebihan, ancaman negara chaos pun berlalu raib tanpa jejak.
- Ludahnya ludah api, sabdanya sakti. Sederhana namun tegas luar biasa. Heran seribu heran semua patuh tunduk dengan perintahnya. Meski dari kalangan sipil, tentara dan polisi pun bahkan mampu dibuatnya bertekuk lutut di hadapan perintah-perintah tegasnya.
- Yang membantah pasti mati. Ingat Foke, Rhoma dan beberapa tokoh lainnya? Mereka terkena batunya dikarenakan mengritik Jokowi. Bahkan saat Jokowi menjabat Gubernur DKI, ada wakil DPRD yang sedikit saja menghujat kinerja Jokowi, ia jadi bahan cacian orang. Seperti tidak rela Sang Pemimpin ini dihujat. Ada juga seorang wartawan yang menyudutkan Jokowi mengenai banjir jakarta, dalam waktu sekejap sang reporter mendapat ribuan hujatan lewat jejaring sosial. Sebuah kecintaan kepada pemimpin yang nyaris di luar nalar. Sebuah kecintaan kepada pemimpin yang baru kali pertama ada di Indonesia
- Orang tua, muda maupun bayi orang yang tidak berdaya minta apa saja pasti terpenuhi. Nenek-nenek minta ongkos, ibu-ibu, anak yang menangis karena tak bisa menemui Jokowi ditemuinya lewat video call, tukang bajaj dan banyak yang lainnya telah membuktikan magic Jokowi. Semua dilayani dengan tulus hati, dikasihi tak terkecuali.
- Menyerang tanpa pasukan, bila menang tak menghina yang lain. Jokowi menang dan menang terus. Siapa yang menghambat kena getahnya. Rakyat ada di belakangnya. Tetapi kemenangan yang selalu ada di pihaknya tidak serta-merta membuatnya angkuh. Tetap menghormati dan menghargai lawan. Perhatikan dia mendatangi Prabowo, mantan kompetitornya di seputaran Pilpres 2014 pada akhir tahun lalu. Atau GNPF-MUI yang selama ini getol ingin merong-rong kewibawaannya sebagai RI-1. Ditemuinya, dihormatinya dan ya…Jokowi memenangkan perang kepentingan di situ, saat itu juga. Prabowo mati kutu, GNPF-MUI berubah melunak dan nyaris tak lagi terdengar ujaran-ujaran para tokohnya mendiskreditkan Jokowi di media-media sebagaimana sebelumnya getol mereka lakukan.
- Rakyat bersuka ria karena keadilan Yang Kuasa telah tiba, raja menyembah rakyat. Baru saat ini harapan yang melambung tinggi dikalungkan di pundaknya. Seorang pemimpin yang mengajak melayani rakyat dengan sebenar-benarnya.
- Garis sabdanya tidak akan lama, beruntunglah bagi yang yakin dan percaya serta menaati sabdanya, tidak mau dihormati orang setanah Jawa tetapi hanya memilih beberapa saja. Karena ia tidak lama menjadi Gubernur DKI Jakarta. Hanya 2 tahun namun sudah berhasil mengurai benang kusut Jakarta. Naik level ke tingkat berikutnya menjadi raja bagi sebuah bangsa yakni menjadi Presiden RI pada Oktober 2014.
Demikianlah sekelumit bukti bahwa apa yang
diyakini banyak orang tentang sosok Jokowi adalah Satrio Piningit dalam
ramalan Jayabaya itu pantas dibenarkan. Hanya saja sebagai catatan
kritis dari saya bahwa meski beberapa hal di atas sudah pantas
membenarkan keyakinan orang-orang tentang sosok Satrio Piningit dalam
diri Presiden Joko Widodo, harus tetaplah menyediakan ruang pada
kemungkinan kekeliruan sebab Jayabaya bukanlah Tuhan yang patut dipatuhi
dan diindahkan semua perkataannya. Ramalan tetaplah ramalan, tak ada
kepastian kebenarannya, apalagi bila harus dicocokcocokkan dengan
seseorang sosok seperti Jokowi sekalipun.
Pada intinya, apa yang ditinggalkan
Jayabaya untuk kita senusantara berupa ramalannya tak lebih dari
kristalisasi akan harapan-harapan yang ada sejak nenek moyang kita
tentang datangnya zaman kesejahteraan dan keadilan sosial pada seluruh
aspeknya. Jadi, janganlah kita kemudian serta-merta melepaskan akal
sehat dengan melupakan daya kritis kita terhadap sepak terjang Jokowi ke
depannya hanya karena dia berhasil memenuhi sebagian besar ramalan
Jayabaya dalam dirinya.
Marilah kita, seraya tetap mendukung penuh
langkah-langkah politis Jokowi dalam menyukseskan program Nawacitanya,
memelihara selalu kemampuan kita mengritik beliau selaku pemimpin bangsa
ini agar sampai akhir masa bhaktinya kelak di 2019 atau 2024 bila
terpilih kembali untuk periode kedua, beliau tetap amanah, menjadi
Jokowi yang jujur, bersih dan merakyat bagi seluruh tumpah darah
Indonesia. Dan yang tak kalah pentingnya, selalu mendoakan kesehatan
beliau sekeluarga supaya bisa tetap optimal melayani kita sebangsa biar
benar-benar jadi bangsa yang gemah ripah loh jinawi. Amin.***
Catatan: Bahasan
mengenai Satrio Piningit dalam Serat Jayabaya tersebar begitu banyak di
internet. Yang kami pakai sebagai sumber telaah adalah http://www.hastamitra.net/p/ramalan-joyoboyo-ke-8-reinkarnasi-sabdo.html.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar