Foto: Ilustrasi oleh Zaki Alfarabi
Jakarta -
Dengan segala kontroversinya, kesaktian mahadata mampu menyukseskan
Donald Trump di Pilpres Amerika Serikat (AS) 2016. Apakah elite politik
di Indonesia juga bakal menggunakan kesaktian mahadata?Mahadata alias big data informasi dalam jumlah sangat banyak dan jenis yang sangat beragam di internet. Data ini bersifat acak dan perlu pengolahan khusus untuk memanfaatkannya sesuai kepentingan.
Tersebutlah perusahaan bernama Cambridge Analytica yang punya kemampuan mengolah mahadata demi pemenangan suatu calon pemimpin politik. Mereka beroperasi di masyarakat-masyarakat melek internet yang tergantung dengan sosial media, khususnya ke Facebook.
Bak ahli nujum menarik pusaka di tempat keramat, ahli-ahli teknologi ini juga menjalankan laku penting untuk mendapatkan kesaktian mahadata. Dua laku penting itu adalah psikografi dan penargetan mikro (microtargeting). Apa pula itu?
Dilansir dari BBC, Jumat (6/4/2018), Cambridge Analytica mengatakan psikografi adalah alat yang paling efektif untuk mengendalikan kejiwaan calon pemilih dalam Pemilu. Perkawinan antara data pribadi dengan tes psikologi menghasilkan anak yang sangat berguna, yakni pemetaan psikologi pemilih.
Foto: DW (News)
|
"Kehadiran psikologi adalah untuk memastikan ada sains di sana (SCL) juga. Dan klaim itu tidak terlalu aneh. Akhirnya, kita berpisah karena ada ketidaksepakatan," kata Barrie Gunter dalam tayangan BBC.
BBC menggambarkan metode kampanye politik model ini layaknya sihir, atau paling tidak hipnotis. Semakin pihak politisi banyak tahu tentang Anda, maka semakin mudah mereka memengaruhi Anda. Namun ini bukan sihir dalam artian biasa, bukan pula kisah film fiksi-saintifik.
Banyak orang secara sukarela mengisi survei online yang tampil di laman Facebook mereka. Hasilnya dikombinasikan dengan data pribadi pemilik akun Facebook itu sendiri, misalnya kebiasaan berbelanja, mobil apa yang biasa mereka gunakan, hingga tema apa yang mereka sukai di media sosial. Hasilnya adalah profil psikologis pemilik akun Facebook yang mempermudah politisi untuk menyajikan materi kampanye khusus kepada seorang pemilik akun, atau segolongan pemilik akun itu.
Persis di titik inilah orang-orang dengan karakter tertentu disajikan materi kampanye dengan karakter tertentu juga. Orang-orang dengan karakter lain juga bakal disajikan materi kampanye dengan karakter lain pula. Ini yang dinamakan microtargeting.
Dilansir dari The Verge, microtargeting berarti adalah menganalisa data untuk memprediksi perilaku, ketertarikan, dan opini dari suatu kelompok dan kemudian menyajikan mereka pesan yang paling mereka sukai supaya direspons.
Bila di Abad Pertengahan orang Eropa menyatakan 'pengetahuan adalah kekuatan', kini di era internet orang mengatakan 'data adalah kekuatan'. Dulu melalui pengetahuan tentang persenjataan dan pelayaran, bangsa yang satu bisa menjajah bangsa lain. Kini beda lagi, dengan kesaktian mahadata, sebuah perusahaan bisa beroperasi di suatu negara.
"Mereka adalah contoh dari wujud kolonialisme modern. Anda punya perusahaan yang sukses berkat satu negara yang sedang berusaha berkembang di bidang ekonomi dan demokrasi," kata Whistleblower skandal Facebook-Cambridge Analytica, yakni Chritopher Wylie saat rapat dengar pendapat dengan parlemen Inggris Raya pada 27 Maret, dilansir dari CNBC.
Dia sedang berrefleksi soal operasi Cambridge Analytica di Kenya, satu negara di Afrika. Cambridge Analytica berhasil memenangkan Uhuru Kenyatta sebagai Presiden Kenya di Pemilu 2013. Perusahaan ini dibayar US$ 6 juta untuk menyukseskan Uhuru Kenyatta.
"Ini adalah perusahaan yang pergi ke seluruh dunia dan menghancurkan institusi masyarakat negara yang sedang berjuang untuk berkembang," ujar Wylie.
Christopher Wylie, whistelblower skandal Cambridge Analytica (Reuters)
|
Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) mengungkapkan pengguna internet di Indonesia tahun 2017 itu mencapai 143,26 juta dari total populasi penduduk Indonesia yang berada di angka 262 juta orang. Dengan demikian akses internet telah menjangkau 54,68% warga Indonesia. Masih berdasarkan data APJII, 97,4% persen penggunaan internet di Indonesia untuk membuka media sosial.
Melihat potensi itu, mungkinkah pemanfaatan big data bisa benar-benar diterapkan di Pemilu 2019 di Indonesia? Adakah yang mau dan yang mampu menggunakan kesaktian mahadata untuk kesuksesan pencapresan?
(dnu/tor)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar