TRIBUN/Prabowo Dokumentasi
Keluarga
korban tragedi Trisakti Mei 1998 bertemu dengan Ketua Dewan Pembina
Partai Gerindra Prabowo Subianto di Jakarta, Sabtu (10/5/2014). Dalam
kesempatan tersebut Prabowo menegaskan bahwa dirinya tidak terlibat
dalam kerusuhan Mei 1998 tersebut. (Dokumentasi Prabowo)
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mantan pengurus Senat
Mahasiswa Universitas Trisakti dan Tim Penuntasan Kasus Tragedi Trisakti
12 Mei 1998 (TPK 12 Mei 1998) protes manuver politik Alumni Trisakti.
Portes
ini setelah melihat manuver Alumni Trisaksi yang memberi dukungan
kepada calon Presiden Prabowo Subianto dengan menghadirkan wakil
keluarga pahlawan reformasi, 9 Mei lalu."Ini adalah ujian
terberat reformasi. Kita masih meragukan komitmen dari partai politik
maupun calon presiden. Langkah membawa korban menemui Prabowo itu tidak
didahului dengan musyawarah mufakat, jadi sulit bagi mereka mewakili
seluruh kalangan alumni, apalagi Trisakti" kata John Muhammad, mantan
Koordinator Lapangan 12 Mei 1998.
Lebih jauh, tambah John, sikap
politik itu bisa berimplikasi pecahnya sikap korban tragedi penembakan
terhadap mahasiswa 1998-1999. Namun begitu, kami siap untuk berseberangan dengan mereka yang bosan, termasuk keluarga korban sekalipun.
Tommy
Rahaditia, mantan Ketua Badan Kajian Strategis Senat Mahasiswa Usakti
1998 menilai perjuangan pengungkapan kebenaran dan penegakan HAM adalah
milik seluruh korban, penyintas (survivor) dan aktivis dalam tragedi
Trisakti. “Dukungan keluarga korban pada Prabowo, tidak menyurutkan perjuangan kami,” tegas Tommy. Tommy
juga menilai Tragedi Trisakti berhubungan erat dengan Tragedi Kerusuhan
Mei (13-16 Mei 1998), dimana dalam Tragedi Mei tersebut, seluruh aparat
keamanan seharusnya dimintai tanggungjawab, tidak terkecuali Prabowo.
Sementara,
Dorri Herlambang, mantan Ketua Satgas Himpunan Mahasiswa Arsitektur
1998, menganggap tidak sepantasnya ada pihak-pihak yang memanfaatkan
status korban kekerasan negara dan pelanggaran HAM berat atau
keluarganya untuk kepentingan politik dengan melakukan klaim atau
dukungan politik terhadap tokoh tertentu. “Siapapun calonnya, tetap saja tidak bijaksana memfasilitasi keluarga korban untuk memberi dukungan politik.”
Bagi
Pramudya Wardhana, mantan Koordinator Penyelidik Tim Penuntasan Kasus
12 Mei 1998, semua kasus kekerasan oleh negara atau pelanggaran HAM
berat harus diselesaikan secara hukum dengan meminta ketegasan dari
setiap calon untuk menjabarkan rencana penanganan proses hukumnya. “Kami
kuatir dengan Prabowo yang memiliki visi yang ingin membubarkan
Pengadilan HAM. Hal ini kontradiksi dengan tuntutan keadilan.” ujar
Pram.
John Muhammad juga menyimpulkan bahwa perkembangan yang
terjadi saat ini adalah ujian kesetiaan bagi cita-cita reformasi dan tes
kesabaran atas penegakan HAM. Bagi John, hanya kehadiran penegakan HAM yang bisa membedakan antara jaman Orde Baru dengan jaman reformasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar