Kamis, 15 Mei 2014

Disalami Prabowo, Megawati Ogah Berdiri. Disalami SBY juga dingin ...emang bukan muhrimnya!

Inilah 5 Kisah Jabat Tangan Dingin SBY – Mega

 
Jabat tangan dingin SBY – Mega
Pertemuan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Megawati Soekarnoputri dalam suatu forum selalu menjadi berita. Wajar saja, rivalitas kedua tokoh politik ini sudah berlangsung hampir 9 tahun.
Dalam kurun waktu 9 tahun itu, sikap politik Megawati yang beroposisi dan SBY yang berkuasa hampir selalu berseberangan. Saling kritik secara terbuka antara mereka juga kerap menjadi makanan rutin media-media.
Rivalitas kedua tokoh politik itu dimulai pada 2004 saat SBY yang menjadi Menkopolhukam atau anak buah Presiden Megawati di Kabinet Gotong Royong, mengundurkan diri. SBY mundur untuk menyiapkan pencapresannya di 2004.
Kabar yang beredar, Mega kesal dengan SBY karena si jenderal ketika ditanya tidak pernah terbuka soal rencana pencapresannya, sampai akhirnya putri Bung Karno itu menerima surat pengunduran diri darinya.
Karena bumbu konflik itulah, pertemuan SBY-Mega selalu menarik dan menjadi berita. Terlebih, jika pertemuan diwarnai jabat tangan antara keduanya. Memang tidak semua pertemuan SBY-Mega diselingi jabat tangan, namun salaman keduanya memang selalu terkesan dingin.
Berikut 5 kisah jabat tangan dingin SBY-Mega yang terjadi dalam kurun waktu 9 tahun terakhir:

1. Pengambilan nomor urut Pilpres 2009

Peristiwa ini terjadi pada 30 Mei 2009. Saat itu, baik SBY maupun Mega sama-sama mendatangi kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk mengambil nomor urut dalam Pilpres 2009. Tercatat, ini adalah jabat tangan pertama setelah rivalitas keduanya dimulai pada 2004.
Dalam kesempatan itu, dua kali SBY-Mega saling berjabat tangan. Pertama, jabat tangan dilakukan setelah Mega tiba di ruang sidang utama gedung KPU. Ketika itu, SBY berdiri, meninggalkan mejanya langsung dan mengulurkan tangan ke Megawati.
Jabat tangan kedua terjadi setelah penyerahan berita acara penetapan calon dan nomor urut. Usai menunjukkan nomor urut satu yang diperolehnya, Megawati berjalan menuju meja yang disediakan KPU.
Setelah beberapa langkah, Megawati kembali dan menghampiri SBY yang mendapat nomor urut dua. Mega pun mengulurkan tangan dan menjabat Yudhoyono tanpa mengucapkan satu patah kata pun.
Dua kali jabat tangan itu berlangsung sangat singkat dan terkesan dingin. Tak ada kontak mata maupun kata-kata yang keluar dari Mega maupun SBY.

2. Debat Capres 2009

Masih dalam rangkaian Pilpres 2009, SBY dan Mega kembali bertemu dalam debat capres yang digelar KPU pada pertengahan Juni 2009. Mereka kembali berjabat tangan sebelum saling berdebat di depan pemirsa televisi.
Hanya saja, salaman keduanya tidak terekam oleh siaran langsung televisi. Karena peristiwa itu terjadi saat SBY-Mega baru tiba dan bertemu di ruang debat. Sementara, saat debat dimulai alias on camera, jabat tangan SBY-Mega tidak terjadi. Namun, beberapa kamera wartawan berhasil mengabadikan momen langka itu.

3. Peringatan Pidato Bung Karno 1 Juni

Barangkali ini adalah kunjungan pertama Mega ke Gedung MPR/DPR setelah tak lagi menjabat sebagai presiden pada 2004 silam. Saat itu, 1 Juni 2010, Mega datang untuk menghadiri peringatan Pidato Bung Karno di hadapan BPUPKI pada 1 Juni 1945. Sementara Presiden SBY juga hadir atas undangan Ketua MPR sekaligus suami Mega, Taufiq Kiemas.
Tepatnya di Gedung Nusantara V, Kompleks MPR/DPR, SBY-Mega bertemu. Namun, jabat tangan keduanya baru terjadi ketika acara selesai. Saat para tamu undangan berjabat tangan satu sama lain, SBY-Mega pun tak ketinggalan. Mereka saling bersalaman. Meski tetap dingin, jabat tangan kedua seteru politik mengembangkan senyum di antara tamu yang melihatnya.
Kiemas yang disebut-sebut sebagai “sutradara”  pertemuan itu hanya berkomentar singkat saat ditanya soal peristiwa politik langka tersebut. “Saya lihat tadi beliau berdua salaman, saya senang. Kalau peluk-pelukan, baru saya marah,” ujar Kiemas berseloroh.

4. Mendampingi Taufiq Kiemas di Istana

Peristiwa ini terjadi pada 12 Agustus 2011. Saat itu, Mega hadir di Istana Kepresidenan untuk mendampingi suaminya Ketua MPR Taufiq Kiemas yang menerima penghargaan Bintang Republik Indonesia Adipradana dari pemerintah.
Dalam pertemuan itu, SBY-Mega tidak bertegur sapa. Mereka hanya bersalaman, usai acara. Mengenakan kebaya cokelat muda, Mega bahkan tak senyum saat bersalaman dengan SBY. Demikian pula SBY. Salaman itu hanya sekilas, bahkan tangan SBY nyaris tak menyentuh tangan putri sulung Bung Karno itu.
Ketika menyalami tamu lainnya, SBY tersenyum sumringah dan sesekali bertutur sapa. Ketika bersalaman dengan Kiemas, SBY terlihat sangat akrab dengan suami Mega itu. Bahkan SBY membisikkan sesuatu pada Kiemas.

5. Menerima gelar Pahlawan Nasional Bung Karno

Kisah jabat tangan SBY-Mega ini terjadi kemarin, saat penyerahan gelar Pahlawan Nasional oleh pemerintah kepada Bung Karno dan Bung Hatta di Istana Negara.
Megawati datang ke Istana Kepresidenan, Rabu (7/11), sebagai anggota keluarga dari Soekarno. Namun demikian, bukan Megawati yang menerima langsung gelar Pahlawan Nasional buat sang proklamator, melainkan abangnya, Guntur Soekarnoputra.
Nah, jabat tangan antara SBY dan Megawati terjadi setelah gelar Pahlawan Nasional diberikan presiden kepada Guntur dan Meutia Hatta, perwakilan keluarga Bung Hatta. Saat itu, para tamu undangan satu per satu menyalami presiden dan perwakilan keluarga penerima gelar Pahlawan. Megawati yang hadir sebagai tamu undangan mau tidak mau ikut menyalami SBY. Salaman berlangsung sangat sebentar, bahkan tidak ada senyum yang terlontar dari kedua rival politik tersebut.
Saat presiden menghampiri keluarga Soekarno, jabat tangan SBY dan Megawati juga kembali terjadi. SBY tampak bercium pipi kiri dan kanan dengan Rachmawati Soekarnoputri, mantan anggota Dewan Pertimbangan Presiden. Namun dengan Megawati, salaman SBY datar seperti sebelumnya. (Merdeka.com)
Minggu, 1 Juni 2014 | 20:11 WIB
AP PHOTO / TATAN SYUFLANA Capres Prabowo Subianto (kanan) berdampingan dengan capres Joko Widodo saat mengikuti Rapat Pleno Terbuka Pengundian dan Penetapan Nomor Urut Capres dan Cawapres Pemilu 2014 di Kantor KPU, Jakarta, 1 Juni 2014.

JAKARTA, KOMPAS.com - Peristiwa cenderung janggal terjadi saat Prabowo Subianto- Hatta Rajasa serta Joko Widodo-Jusuf Kalla menghadiri rapat pleno KPU untuk mengundi nomor urut peserta Pilpres 9 Juli 2014, Minggu (1/6/2014).

Jokowi-JK, menjadi calon Presiden dan Wakil Presiden RI yang lebih dulu sampai di kantor KPU, ketimbang Prabowo-Hatta.

Mereka ditemani Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh, Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar dan Ketua Umum PKPI Sutiyoso.

Sementara Prabowo-Hatta datang terakhir. Sadar kubu pesaingnya hadir lebih dulu, pasangan tersebut lantas berinisiatif mendatangi serta mengulurkan tangan untuk berjabat.

Jokowi, JK, Surya Paloh, Muhaimin, dan Sutiyoso, sontak berdiri untuk menyambut itikad baik Prabowo-Hatta.

Tapi, Megawati tampak terlihat membalas salam capres yang diusung Koalisi Merah Putih tersebut sembari tetap duduk. Setelah menyalami mereka, Prabowo dan Hatta duduk di tempat tersedia.

Dari pantauan Tribunnews di KPU, Jakarta, Minggu (1/6/2014), terlihat Jokowi mengenakan kemeja kotak-kotak dengan lengan digulung. Sementara Kalla mengenakan kemeja putih-putih. Sedangkan Prabowo dan Hatta kompak mengenakan kemeja panjang putih-putih lengkap dengan peci hitam.
Kamis, 15 Mei 2014, 00:00 WIB
Ketua Umum DPP PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri bersama Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Umum PDI Perjuangan (PDIP) Megawati Sukarnoputri menyebut Joko Widodo (Jokowi) tetap merupakan petugas partai jika terpilih menjadi presiden. Pernyataan itu pun menuai kritik.
Anggota fraksi DPR Partai Amanat Nasional (PAN) Taslim Chaniago menilai, justru pernyataan tersebut menunjukkan kalau Jokowi merupakan presiden boneka Megawati.
"Kalau terpilih sebagai presiden Jokowi hanya jadi boneka Megawati dan PDIP saja. Itu artinya apa pun kebijakan Jokowi harus sesuai perintah Megawati. Jokowi tidak punya kewenangan saat memimpin negeri," jelasnya, Rabu (14/5).
Taslim juga menilai pernyataan Megawati tersebut menunjukkannya belum legowo menunjuk Jokowi sebagai capres PDIP. "Sepertinya Megawati tidak pede elektabilitasnya lebih rendah dibandingkan Jokowi. Megawati masih menganggap dirinya jadi presiden. Cuma badan saja yang tidak jadi presiden.
Saya menangkap, apa yang disampaikan Megawati itu membuktikan bahwa Megawati ingin menjadi presiden," ujarnya.
Padahal, lanjut Taslim, siapa pun presiden terpilih tidak boleh disetir. Kalau terpilih jadi presiden, Jokowi tidak boleh disetir oleh siapa pun. Temasuk partai yang mengusungnya.
Ia pun mengingatkan, pengabdian pada negara jauh lebih penting dari pada pengabdian pada partai. "Megawati seharusnya belajar dari negarawan Inggris, Winston Churchill yang terkenal dengan prinsipnya, ketika pengabdian kepada negara dimulai, maka berakhirlah pengabdian kepada partai," tutupnya.
Sebelumnya, Megawati berpesan kepada Jokowi untuk tak melupakan perannya sebagai kader.
"Saya pesan ke Pak Jokowi, sampeyan tak jadikan capres. Tapi jangan lupa ingat capresnya saja, Anda adalah petugas partai yang harus melaksanakan apa yang ditugaskan partai," ucap Mega dalam pidatonya saat deklarasi koalisi PDIP, Partai Nasdem, dan PKB di kantor DPP PDIP, Lenteng Agung, Jakarta, Rabu (14/5).

Tidak ada komentar: