03 December 2014 | 16:28
Setiap tempat adalah sekolah, semua orang adalah guru
Bisa jadi karena bangsa ini sudah begitu lama memunggungi laut,
seketika muncul isyu yang berkenaan dengan laut khususnya perikanan,
sontak gagap dan kaget. Lebih khusus lagi isyu tentang pencurian ikan
oleh nelayan asing, komentar dan tanggapan yang bermunculan begitu
sumir. Penguasaan pengetahuan sangat ditentukan sampai seberapa jauh
orientasi dan kesadaran ekologi yang dimiliki. Dari tanggapan dan
komentar yang sumir itu, nampak drajat pengetahuan atas masalah-masalah
perikanan. Satu diantaranya tanggapan atas pencurian ikan oleh nelayan
asing dan ide menenggelamkan kapal. Masalah ini direduksi begitu
sederhana, yang berujung pada solusi yang sederhana pula.
Seperti
logika berpikir yang dirumuskan dalam pernyataan bahwa masalah
pencurian ikan oleh nelayan asing karena lemahnya pengamanan dan
pengawasan perairan Indonesia. Maka solusinya: tingkatkanlah pengamanan
dan pengawasan agar tidak terjadi pencurian ikan. Inilah yang saya
katakan tingkat drajat pengetahuan mempengaruhi cara berpikir. Padahal
faktanya (bukan logika), masalah pencurian ikan oleh nelayan asing
disebabkan oleh banyak faktor. Justru pengamanan dan pengawasan perairan
kita sudah cukup baik. Atas fakta ini, tentu menjadi aneh, mengapa
dengan pengamanan dan pengawasan yang sudah baik itu, malah pencurian
ikan bertambah marak dalam sepuluh tahun terkahir. Itu artinya ada
faktor lain yang determinan mempengaruhi.
Paling
tidak ada empat faktor dominan: (1) lemahnya penegakan hukum ; (2)
longgarnya aturan hukum; (3) mafia perikanan dan (4) imbas perkembangan
global. Empat faktor inilah yang saling terkait mempengaruhi terjadinya kejahatan Illegal, Unregulated, and Unreported (IUU) fishing atau lazim disebut illegal fishing.
Tetapi yang mesti diluruskan terlebih dahulu tentang istilah “nelayan asing”. Dalam tindak pidana perikanan tentang illegal fishing, tak
dikenal istilah “nelayan asing” sebagai subyek hukum. Hukum pidana
perikanan yang bersifat khusus itu mengenal dua subyek hukum : kapal dan
setiap orang. Setiap orang biasanya ditujukan pada nakhoda dan anak
buah kapal serta korporasi. Hal yang khusus tentang kapal sebagai subyek
hukum. Kapal perikanan dianggap sebagai representasi negara yang ditunjukan dengan bendera kebangsaan. Dengan kata lain, negara dianggap subyek hukum.
Oleh
karena itu ketika ada seruan untuk menenggelamkan kapal hal itu
ditujukan kepada kapal sebagai subyek hukum yang melakukan tindak pidana
perikanan. Menjadi aneh, jika menenggelamkan kapal dikaitkan dengan HAM
dan tidak manusiawi. Kapal tidak terikat oleh HAM. Meskipun sebagai
subyek hukum. Disinilah letak salah kaprah. Apa dikira TNI AL
meluncurkan roket atau torpedo untuk menghancurkan kapal itu beserta
awaknya lalu tenggelam. Tindakan ini bukan saja menyalahi aturan hukum
nasional dan internasional, tapi ngajak perang namanya.
Kejahatan Illegal, Unregulated, and Unreported (IUU) fishing
tak mengenal asing atau domestik. Kapal berbendera asing atau
berbendera Indonesia. Bila melanggar terkena jerat aturan ini. Jadi tak
bisa direduksi sekedar “kapal asing”. Kapal penangkap ikan berbendera
Indonesia sekalipun jika tak memiliki izin, tidak melaporkan hasil
tangkapan atau tidak menangkap di fishing ground
yang ditetapkan dikatagorikan sebagai pencurian ikan. Justru kapal
penangkap ikan berbendera Indonesia yang banyak melakukan pencurian
ikan. Lho? Bukankah warga negara Indonesia berhak menangkap ikan di
perairan negara sendiri. Inilah celah dan salah satu modus dari
pencurian ikan.
Saat
melakukan inspeksi mendadak, Menteri Susi menemukan kapal berbendera
Indonesia dengan nama lambung kapal KM Natuna (nama Indonesia) tapi
seluruh awak kapal dan pemilik kapal dari negara Thailand. Salah satu
modus dari pencurian ikan dengan double flagging (penggunaan bendera kapal ganda) atau
mengganti bendera kapal. Bagaimana mungkin pengawas perikanan memeriksa
satu persatu dokumen perizinan di tengah laut dari ribuan kapal setiap
harinya yang tengah menangkap ikan?. Sumber kesalahan utama berada di
Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP) sendiri yang mengeluarkan izin
(SIPI dan SIKPI) tanpa melakukan uji fisik sebagai prosedur standard.
Singkatnya, modus pencurian ikan disebabkan oleh illegal lisence yang dilakukan oleh mafia perikanan. Diantaranya melakukan manipulasi data dalam pendaftaran kapal eks asing (Delition Certificate dan Bill of Sale) dan membuat surat izin untuk beberapa kapal yang sengaja dibuat serupa.
Bila
ingin menghancurkan pencurian ikan, harus dimulai dari hulu. Dari KKP
sendiri, dengan memberantas mafia perikanan yang bisa mengeluarkan izin
dengan uang sogokan. Apa yang dilakukan oleh Menteri Susi dengan
moratorim perizinan hingga April 2015, sebagai langkah awal. Langkah
kecil inipun sudah membuahkan hasil. Dari 933 kapal asing yang marak
beroperasi di ZEEI kini hanya bersisa sekitar 164 kapal asing. Semuanya
pada kabur atas kebijakan moratorium perizinan. Thailand dan Vietnam
yang memohon-mohon pada Menteri Susi untuk segera mencabut moratorium
itu.
Pencurian ikan juga disebabkan oleh imbas perkembangan global. Diantaranya Australia menutup 70% kawasan laut coral kemudian Filipina dan Oman juga melakukan pengetatan (jumlah tangkapan ikan).
Sementara permintaan pasar internasional akan pasokan ikan begitu
tinggi. Peristiwa ini mengingatkan kita kembali pada tingginya harga
cengkeh dan lada di pasar Eropa pada abad ke 15, yang mengakibatkan
Portugis, Spanyol, Inggris dan VOC menyerbu Nusantara. Akibat penutupan
70% kawasan coral di Australia dan adanya perketat penangkapan ikan di
Afrika, India, pasar Hong Kong kekurangan pasokan. Luas perairan Indonesia yang terluas di dunia dengan ragam ikan tropis dan adanya kebijakan foreign fishing vessel menjadikan perairan Indonesia jadi ladang pencurian ikan besar-besaran dalam sepuluh tahun terakhir.
Indikator pengaruh pasokan ikan dari perairan Indonesia dapat dilihat pada pasar Singapura. Saat ini pasokan
ikan di Singapura berkurang sehingga mengakibatkan harga ikan
melambung. Ikan layang atau ikan selar yang biasanya dijual di kisaran
harga 7 dollar Singapura kini menjadi 8 dollar Singapura, atau naik
sekitar 14 persen. Lonjakan
harga ikan tersebut akibat Malaysia menghentikan pengiriman ikan ke
Singapura dengan dalih untuk mengantisipasi kekurangan jumlah pasokan
ikan saat musim hujan.
Padahal hasil tangkap kapal Malaysia rendah setelah takut mencuri ikan
di perairan Indonesia setelah ada ancaman menenggelamkan kapal dan
ditangkapnya ratusan kapal Malaysia oleh TNI AL.
Maraknya
pencurian ikan di perairan Indonesia juga disebabkan adanya celah hukum
atau longgarnya aturan hukum. Indonesia masih memberi kelonggaran kapal
asing untuk menangkap ikan di Indonesia dengan beberapa persyaratan
(yang kemudian banyak dilanggar). Padahal negara-negara lain ada yang
melarang atau memberi aturan yang sedemikian ketat. Seperti Australia,
biaya izin untuk menangkap ikan ditentukan seharga US$ 1 juta.
Itupun hanya berlaku untuk beberapa bulan dan jenis ikan tertentu.
Ketika pemerintah hendak meningkatkan Penerimaan Negara Bukan Pajak
(PNBP), justru ditentang oleh asosiasi perikanan yang notebenenya pelaku
usaha perikanan besar (korporasi). Sebaliknya nelayan-nelayan
tradisional menyambut gembira. Sudah bisa ketebak perusahaan-perusahaan
perikanan di Indonesia selama ini terlibat dalam mafia perikanan dan
hanya jadi tameng dan perusahaan fiktif dari perusahaan asing.
Celah lainnya, aturan Indonesia masih membolehkan adanya transhipment di
tengah laut. Kapal-kapal penangkap ikan yang memiliki izin memindahkan
hasil tangkapan ke kapal pengumpul yang sudah menunggu di batas luar
ZEEI. Tentu saja proses bongkar muat hasil tangkapan tidak terjadi di
pangkalan pendaratan ikan terdekat. Alasan sederhana, harga ikan di
Indonesia terlampau murah jika harus di-eksport. Keuntungan besar tidak
dapat diraih oleh perusahaan-perusahaan asing itu. Mending dibongkar di
Malaysia atau Vietnam yang harga jualnya lebih tinggi. Tetapi, sekali
lagi, saat Presiden Jokowi akan mengeluarkan Keputusan Presiden akan larangan transhipment,
ditentang oleh asosiasi perikanan nasional, dengan alasan biaya
operasional yang tak tertutupi. Termasuk aturan wajib untuk selalu
menghidupkan Vesel Monitoring System (
VMS ) di kapal yang dapat memantau posisi dan kordinat setiap kapal.
Modus yang berlangsung VMS dimatikan dan dipindahkan ke kapal lain.
Sementara
itu ada pelbagai alasan-alasan klasik yang digunakan sebagai kedok.
Seperti alasan tersesat dan menghindar dari badai atau mengangkut
manusia perahu. Ada juga melakukan lintas damai namun alat penangkap
ikan tidak disimpan dalam palka dan kedapatan dalam kondisi basah. Hal
ini banyak terjadi di lintas dari barat ke timur yang belum ditentukan
lorong ALKI. Gagasan Jokowi ingin membangun tol laut lintas barat timur dapat juga diartikan sebagai “ALKI IV”. Untuk juga mengawasi kapal-kapal yang melintas damai sebagai kedok mencuri ikan.
Tetapi
dari keseluruhan penyebab dan faktor maraknya pencurian ikan, faktor
penegakan hukum yang paling dominan. Satu contoh, badan pengawas di
Pontianak selama 2008-2014 telah menangkap sebanyak 253 kapal motor
berbendera asing. Angka ini mungkin dianggap prestasi, tapi jika
diperbandingkan dengan 5000an kapal ikan berbendera asing di wilayah
ZEEI, menjadi tak sebanding. Wilayah ZEEI hampir tak dapat dijangkan
oleh kapal-kapal nelayan tradisional yang rata-rata beratnya dibawah 30
GT. Sudah menjadi rahasia umum (sebagaimana razia polisi lalu lintas),
transaksi terjadi di tengah laut. Bayangkan saja, daripada ditangkap,
disidang dan divonis dengan ancaman denda maksimal Rp 20 miliar terus
kapal disita beserta hasil tangkapan, mending keluar uang Rp 500 juta –
Rp 1 Miliar. Rumitnya, ada 3 (tiga) lembaga yang punya kewenangan
sebagai penyidik: TNI AL, PPNS Perikanan dan Polisi Air. Ditambah
pengawas dari Bakamla (dari 12 instansi). Masing-masing bisa bertindak
bersama dan sendiri-sendiri. Ego sektoral lebih terasa dalam penegakan
hukum laut. Belum selesai satu instansi memeriksa dokumen kapal, naik
lagi instansi lain yang menanyakan hal serupa.
Makanya
kapal-kapal penangkap ikan asing yang ditangkap mayoritas kapal kecil
dibawah 100GT. Inipun belum selesai masalahnya. Kendala-kendala teknis
di lapangan yang kerap ditemui seperti: tidak adanya dermaga khusus
untuk tambat labuh kapal ikan asing yang ditangkap. Lalu ditumpuk begitu
saja di pangkalan pendaratan ikan (PPI) yang pasti mempengaruhi lalu
lintas keluar masuk kapal-kapal nelayan. Belum lagi mengurus anak buah
kapal asing non yustisia yang menunggu pelaksanaan deportasi. Dari soal
tidak adanya tempat, sampai biaya makan selama penahanan di tempat
terbuka itu. Karena masalah ini bukan ranah imigrasi maka beban
diserahkan sepenuhnya kepada penyidik. Baik UU Perikanan maupun UNCLOS
tidak membolehkan awak kapal asing dikenakan tahanan penjara atau
ditahan dalam rumah tahanan.
Masalah
selanjutnya pada status kapal yang dirampas oleh negara. Ketentuan
hukum kita menyatakan kapal sitaan itu dapat dilelang atau dihibahkan.
Tapi kedua alternatif pilihan ini punya konsekwensi yang tidak
sederhana. Para mafia perikanan lebih setuju dengan lelang. Kira-kira
modusnya seperti ini: Harga taksiran kapal sekitar Rp. 1,5 miliar. Para
pemilik kapal asing bekerjasama dengan mafia di Indonesia dengan
memberikan uang 50% atau sekitar Rp. 750 juta. Saat pelelangan, para
perusahaan domestik sudah diatur dalam satu group. Sehingga tidak akan
ada yang menawar di atas Rp 150 juta. Uang Rp 150 juta itulah masuk ke
kas negara. Sedangkan Rp 600 juta dibagikan kepada pihak-pihak terutama
pihak kejaksaan sebagai penuntut umum yang berwenang menyelenggarakan
lelang. Dari banyak kasus ditemukan Harga kapal sitaan sekitar Rp 150
juta, paling tinggi masuk ke kas negara hanya Rp 40 juta. Sialnya, kapal
hasil lelang itu, kembali lagi kepemilik aslinya di luar negeri. Dan
beroperasi lagi sebagai kapal pencuri ikan. Ditangkap lagi, disita lagi,
lelang, kembali ke pemilik dan beroperasi lagi. Begitulah siklusnya.
Padahal biaya operasi penangkapan, biaya adhoc kapal,
penambatan kapal dan memberi makan ABK selama proses pengadilan tidak
sepadan dengan hasil lelang yang masuk ke kas negara.
Pilihan
kedua, dihibahkan. Karena proses persidangan memakan waktu yang lama,
maka kapal sitaan jadi tidak terawat dan rusak. Kapal yang akan
dihibahkan ke kelompok nelayan harus diperbaiki terlebih dahulu sebelum
dihibahkan. Beban biaya diserahkan kepada pemda dimana kelompok nelayan
itu berada. Sudah bisa ketebak, Pemda akan berdalih APBD tidak
mengalokasikan anggaran untuk itu. Kecuali Kementrian Dalam Negeri dan
Kementrian Keuangan mengumpulkan semua Kepala Daerah untuk memberi
solusi atas masalah ini.
Cara
terakhir ya ditengelamkan menjadi rumpon. Bisa jadi tidak ada pemasukan
untuk kas negara dari kapal sitaan tersebut. Tetapi upaya ini juga
memutus mata rantai mafia perikanan yang begitu akut. Jadi seruan
menenggelamkan kapal sesungguhnya juga sebagai pesan Jokowi kepada para
mafia perikanan. Seruan ini sesungguhnya bukan ide baru. Pasal 69 ayat
(4) UU Perikanan lahir atas keinginan Menteri Freddy Numberi dan keinginan DPR saat itu. Agar adanya efek jera, kapal ditenggelamkan saja. Kedua,
UU perikanan Australia sudah lama menggunakan cara ini untuk mengatasi
pencurian ikan di negaranya. Jadi ketika Presiden Jokowi melontarkan
seruan untuk menenggelamkan kapal lantas ditanggapi negatif,
sesungguhnya karena dasar pengetahuan yang tidak memadai. Atau karena
Presiden Jokowi dan Menteri Susi yang melontarkannya. Ketika Menteri Freddy Numberi
atau Fadel Muhammad yang pernah melontarkannya, tanggapan tidak bergitu
reaktif. Bahkan pada tahun 2003 dan 2004, kapal ikan berbendera
Filipina dan Thailand sudah pernah ditenggelamkan oleh TNI AL.
Saya
kira soal menenggelamkan kapal asing pencuri ikan, bukan semata masalah
remeh temeh. Ini menyangkut soal sikap, cara pandang dan prinsip
sebagai anak bangsa. Tidak ada yang bisa ditawar jika sudah menyangkut
soal kejahatan dan kedaulatan. Berbeda dengan sengketa perbatasan yang
bukan masuk dalam katagori kejahatan dan batas kedaulatan abu-abu. Tapi
pencurian ikan oleh perusahaan asing, sebagai wujud baru dari okupasi
VOC yang hendak merampas hasil bumi Nusantara. Sejarah juga mencatat,
kuatnya dominasi penjajahan di bumi Nusantara juga disebabkan oleh
keberpihakan anak bangsa kepada para VOC. Andai saja Sultan Haji tidak
bersekutu dengan VOC, Banten tidak akan jatuh. Andai saja Aru Palaka tak
membela VOC, Makasar tidak akan takluk. Dan andai saja Amungkurat I
tidak berbelas kasih pada VOC, bumi Mataram dan Utara Jawa tidak akan
dikuasai VOC. Tak ada beda: VOC mengeruk hasil (bumi) daratan untuk
kemakmuran bangsanya, kapal-kapal asing penangkap ikan itu mengeruk
hasil (bumi) perairan Indonesia.
Salam Kompasiana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar