Senin, 15 Desember 2014

Sang penguasa laut ternyata putri Duyung ?

Ibu Susi Pun Jadi Putri Duyung

Sabtu, 13 Desember 2014 | 07:30 WIB
KOMPAS.COM/HERU MARGIANTO Lukisan ”Susi Duyung” karya Hari Budiono yang dipamerkan di Bentara Budaya, Jakarta.

KOMPAS.com
 - Asam di gunung, garam di laut, bertemu dalam satu belanga”. Lewat peribahasa ini, lima kurator Bentara Budaya, yaitu GM Sudarta, Hermanu, Ipong Purnama Sidhi, Hari Budiono, dan Wiediantoro, merangkai kembali harmonisasi kebudayaan daratan dan maritim yang selama ribuan tahun telah mewarnai kehidupan masyarakat Nusantara.

Memperingati empat windu (32 tahun) Bentara Budaya, kelima kurator sekaligus perupa itu menampilkan sejumlah lukisan, drawing, dan patung dalam pameran Asam Garam Bentara, di Bentara Budaya Jakarta, 12-20 Desember 2014. Menurut kurator Efix Mulyadi, pameran ini menumbuhkan semangat dan langkah baru dalam memaknai kembali budaya daratan dan maritim.

Salah satu lukisan yang menyedot perhatian adalah ”Susi Duyung” karya Hari Budiono, yang kini mengelola Balai Soedjatmoko Solo. Begitu melihat karya ini, orang langsung mengenal sosok yang dilukis, yaitu Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti.

Di atas kanvas, Susi tampil mengejutkan. Tubuhnya seksi dan berekor ikan duyung. Menteri kontroversial di Kabinet Kerja Presiden Joko Widodo ini bahkan punya sepasang sayap putih besar.

Gambaran Susi kian unik karena, meski menyungging senyuman tipis, muncul bak ksatria dengan senapan laras panjang di tangan kanan dan pedang di punggung. Ia terlihat heroik dengan balutan baju ksatria layaknya tokoh film Xena Warrior Princess.

”Susi lahir dari dunia bahari, dari pekerjaannya di bidang perikanan. Ia seorang superhero yang suka kebebasan. Semoga kebebasan dan keberaniannya menguatkan kewajibannya sebagai pejabat negara,” kata Hari, di sela-sela pembukaan pameran, Kamis (11/12) malam.

Karya ini menginspirasi kurator Bentara Budaya Sindhunata untuk membuat sebuah puisi berjudul Susi Duyung. Susi Duyung disebut sebagai legenda di tengah gunung-gunung yang kering serta laut yang miskin ikan.

Wiediantoro mengungkapkan kekejaman manusia terhadap daratan dalam lukisan ”Mimika Indonesia Raya”. Dalam drawing yang rinci dan berulang, ia menggambarkan eksploitasi tambang emas oleh pemodal besar. Tak jauh dari situ, digambarkan seorang anak berambut keriting yang hanya bisa bergelantungan penuh harap.

Sementara Ipong masih menekuni keliaran sapuan kuasnya, seperti dalam lukisan ”Nenek Moyangku Seorang Pelaut”. Sosok nelayan kucel bersandal jepit mengisahkan nasib wong cilik yang selalu terjepit.

Sinisme terhadap kehidupan nelayan juga ditegaskan GM Sudarta dalam karya ”Di Laut Kita Jaya (Katanya Lho!)”, yang menggambarkan para nelayan kecil terjaring para perompak. Di sisi lain, Hermanu dalam patungnya ”Semar Langit” memaknai tokoh Semar dalam perspektif baru lewat tubuhnya yang ber-”kuluk” perangkat elektronik. (Aloysius Budi Kurniawan)

Tidak ada komentar: