Kamis, 19 Februari 2015

Kebijakan "Blunder" Jokowi. pengangkata Kapolri komjen Budi Gunawan, akan ada kehebohan politik lagi

Menkeu Sebut Pernyataan Jokowi Soal IMF Salah Kutip

Menkeu Sebut Pernyataan Jokowi Soal IMF Salah Kutip
Presiden RI, Joko Widodo (tengah), memukulkan palu tanda penutupan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Asia Afrika 2015 di Jakarta Convention Center, 23 April 2015. Dalam konferensi tersebut disepakati tiga poin kesepakatan antar negara-negara Asia-Afrika. ROMEO GACAD/AFP/Getty Images
TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengatakan pernyataan Presiden Joko Widodo bahwa Indonesia masih mempunyai utang IMF salah kutip. Indonesia, kata dia, sudah tidak mempunyai utang dengan lembaga pendanaan dunia itu sejak 2006.

"Salah kutip pernyataan itu. Indonesia sudah tidak mempunyai utang di IMF," kata Bambang seusai Forum Riset Ekonomi Keuangan Syariah (FREKS) 2015 dengan tema “Menata Sistem Keuangan Syariah Nasional yang Kokoh, Stabil, dan Inklusif” di Balai Sidang UI, Selasa, 28 April 2015.

Seperti diketahui, pernyataan Presiden Joko Widodo soal ketergantungan Indonesia pada Dana Moneter Internasional (IMF) membuat Susilo Bambang Yudhoyono berkomentar. Dalam akun Twitter-nya, mantan presiden yang juga Ketua Umum Partai Demokrat itu berkomentar mengoreksi kesalahan data Presiden Jokowi.

Sambil minta maaf, SBY berkata, "Maaf Maaf, saya terpaksa mengoreksi pernyataan Presiden Jokowi ttg utang IMF yg dimuat di harian Rakyat Merdeka kemarin, tgl 27 April 2015." "Pak Jokowi mengatakan yang intinya Indonesia masih pinjam uang ke IMF. Berarti kita dianggap masih punya utang kepada IMF," kicau SBY beberapa waktu lalu. IMAM HAMDI

"Masalah Ini Berawal dari Kesalahan Jokowi Sendiri..."

Rabu, 18 Februari 2015 | 12:08 WIB
WARTA KOTA/ALEX SUBAN Presiden Joko Widodo (Jokowi) didampingi Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abraham Samad, Wakil Presiden Jusuf Kalla, Jaksa Agung HM Prasetyo, dan Wakapolri Komjen Pol Badrodin Haiti (depan, kiri ke kanan) memberikan penjelasan tentang sikap pemerintah terkait penangkapan Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto oleh Bareskrim Polri, di teras Istana Bogor, Jawa Barat, Jumat (23/1/2015). Presiden meminta institusi Polri dan KPK untuk memastikan proses hukum kasus tersebut harus objektif dan sesuai dengan aturan UU yang berlaku.

BOGOR, KOMPAS.com
 — Pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Ikrar Nusa Bakti, menilai, pergantian kepala Polri menjadi polemik karena kesalahan Presiden Joko Widodo.
Menurut Ikrar, pergantian kepala Polri tidak akan menimbulkan polemik berkepanjangan jika seandainya Jokowi merespons cepat dengan membatalkan pencalonan Komjen Budi Gunawan sebagai kepala Polri sesaat setelah ditetapkan sebagai tersangka korupsi oleh KPK.
Ikrar menyinggung peringatan yang disampaikan KPK kepada Jokowi sebelum nama Budi Gunawan diajukan sebagai calon kepala Polri kepada DPR. Budi Gunawan berpotensi terjerat kasus korupsi.
Namun, Jokowi tidak menggubris peringatan KPK tersebut dan tetap memilih mantan ajudan Presiden kelima RI Megawati Soekarnoputri itu sebagai calon tunggal kepala Polri. DPR juga menyetujui usulan Presiden itu.
"Masalah ini berawal dari kesalahan dia (Jokowi) sendiri yang mengajukan nama Budi Gunawan jadi kepala Polri walaupun sudah diwanti-wanti oleh KPK," kata Ikrar, saat dihubungi, Rabu (18/2/2015).
Ikrar menduga Jokowi tidak pernah memperkirakan dampak dari pencalonan Budi Gunawan akan melebar seperti saat ini. Ia yakin, keputusan Jokowi mencalonkan Budi dilandasi kuatnya dorongan dari elite partai-partai pendukungnya.
"Sekarang situasi sudah seperti ini, pimpinan KPK dikriminalisasi oleh Polri. Padahal, Presiden punya hak prerogatif untuk membatalkan pelantikan Budi Gunawan tanpa harus menunggu hasil praperadilan," ujarnya.
Ikrar menyarankan agar Jokowi membatalkan pelantikan Budi Gunawan sebagai kepala Polri. Pasalnya, keputusan melantik Budi diyakininya tak akan menyelesaikan polemik dan kriminalisasi terhadap KPK.
"Pelantikan tidak akan menyelesaikan persoalan. Lebih baik mencari calon baru saja. Itu bisa menenangkan situasi di lapangan," ujar Ikrar.
Di tengah ketidakjelasan sikap Jokowi, dua pimpinan KPK sudah dijerat oleh kepolisian. Bambang Widjojanto dijerat terkait sengketa pilkada di Mahkamah Konstitusi, sementara Abraham Samad dijerat dengan tuduhan memalsukan dokumen.
Sebanyak 21 penyidik KPK kemungkinan juga terancam menjadi tersangka karena kepolisian menduga izin kepemilikan senjata api yang mereka miliki sudah kedaluwarsa. Salah satu penyidik yang terancam ditetapkan sebagai tersangka adalah Novel Baswedan.
Dengan kondisi ini, KPK tinggal memiliki dua pemimpin, yaitu Zulkarnaen dan Adnan Pandu Praja. Namun, beberapa waktu lalu, mereka juga telah dilaporkan kepada Badan Reserse Kriminal Polri.
Jokowi tidak memenuhi janjinya akan mengambil keputusan pada pekan lalu. Jokowi berkali-kali hanya menyebut bahwa keputusan akan disampaikan secepatnya.


Penulis: Indra Akuntono
Editor : Sandro Gatra

Calon Kapolri Diganti, PDIP Endus Agenda Terselubung Jokowi

"Dicermatilah, feeling saya ini akan jadi persoalan tersendiri nanti."

Rabu, 18 Februari 2015 | 17:50 WIB
Oleh : Suryanta Bakti Susila, Agus Rahmat
Calon Kapolri Diganti, PDIP Endus Agenda Terselubung Jokowi
Anggota Fraksi PDIP, Dwi Ria Latifa. (Antara/ Widodo S Jusuf)
VIVA.co.id - Anggota Komisi III DPR dari Fraksi PDI Perjuangan, Dwi Ria Latifa, curiga dengan keputusan Presiden Joko Widodo mengajukan nama calon Kapolri baru Komjen Badrodin Haiti, menggantikan Komjen Budi Gunawan. Pengumuman Jokowi hari ini terjadi saat DPR sedang reses.

"Dengan mengusulkan nama baru, seperti ada strategi khusus dimasukkan saat DPR reses," kata Dwi Ria di DPR, Rabu 18 Februari 2015.

Dia menjelaskan, saat Komjen Budi Gunawan diterima Paripurna DPR 15 Januari 2015 lalu menjadi Kapolri tapi urung dilantik, situasi di DPR juga bergejolak.

Walau tidak tahu apa yang akan terjadi setelah Presiden memilih mengajukan nama calon baru, namun Dwi Ria yakin akan ada kehebohan politik lagi.

"Dicermatilah, feeling saya ini akan jadi persoalan tersendiri nantinya," katanya.

Sebagai partai utama, Dwi Ria mengakui bahwa PDIP kecewa dengan keputusan ini. "Kalau dari hal lain, PDIP pasti kecewa," katanya.

Namun, yang harus diperhatikan oleh Presiden adalah mekanisme pengajuannya. Mengingat, surat pengajuan nama Komjen Budi Gunawan juga meminta DPR menyetujui sebagai Kapolri untuk diproses.

"Satu hal juga bahwa ketika mengusulkan Komjen Budi Gunawan kemudian langsung disetujui dan mengusulkan nama baru, mekanisme perlu dicermati, itu pertanyaan resmi yang perlu ditanyakan nanti," katanya. (ren)

Tidak ada komentar: