Selasa, 08 Agustus 2017

Dukungan Demokrat pada Gerindra Adalah Buah Simalakama Bagi Prabowo

Foto profil SBY dan Prabowo
Setelah diwarnai aksi walk out dari Fraksi Gerindra, PAN, Demokrat dan PKS, Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pemilu akhirnya resmi disahkan dalam rapat paripurna di Gedung DPR pada Kamis malam kemarin. Paripurna memutuskan RUU Pemilu dengan presidential threshold 20 persen secara aklamasi.
Dari ke-empat nama partai yang walk out saat persidangan berlangsung, Gerindra dianggap sebagai partai yang paling keras menolak keputusan tersebut. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan sikap yang disampaikan oleh Prabowo melalui siaran media. Prabowo menganggap hal itu sebagai lelucon politik yang menipu rakyat.
Namun hal itu ditampik dengan santai oleh Jokowi. Pada tahun 2009 dan 2014 lalu hal ini juga pernah terjadi, kenapa sekarang baru diributkan, ujar Jokowi.
Jokowi sendiri sangat mendukung dengan adanya PT 20 persen, harapannya Pemilu berjalan hanya satu putaran, sehingga gejolak politik yang timbul bisa lebih diminimalisir. Jauh daripada itu, negara lebih diuntungkan dalam hal ini, mengingat besarnya budget untuk satu putaran Pemilu mencapai hingga 4 triliun rupiah.
Prabowo sebenarnya cukup paham dan tahu, jika mekanisme yang dijalankan oleh DPR dalam pengambilan keputusan RUU Pemilu sudah sesuai dengan konstitusi. Artinya, Prabowo pun memahami tidak ada yang salah dengan hasil PT 20 persen itu.
Memang, pernyataan yang dilontarkan oleh Prabowo cukup beralasan, dengan hadirnya PT 20 persen, sangat berat baginya untuk memenuhi syarat tersebut.
Sebagaimana kita tahu, dari pengalaman tahun 2014 lalu, Gerindra hanya mengantongi 11 persen kursi di DPR. Sehingga, jika Gerindra masih stagnan di 11 persen atau kurang, maka ia tidak bisa berdiri sendiri untuk mengusung pasangan calon pada 2019 mendatang. Itu artinya ia harus berkoalisi minimal dengan dua partai besar untuk memenuhi syarat tersebut.
Prabowo sangat memahami kondisi ini, biaya yang ia gelontorkan pada kekalahannya di pilpres 2014 lalu tidaklah sedikit. PT 20 persen telah mengekang posisinya, ia tidak bisa sebebas PDIP untuk memilih calon wakilnya sendiri. Ada harga yang harus dibayar jika ingin berkoalisi. Pilihannya, jika ingin tetap maju sebagai calon presiden, ia harus memenuhi syarat-syarat yang diajukan oleh partai koalisinya.
Saat ini sisa partai yang bisa diajak untuk berkoalisi adalah PKS, Demokrat, dan PAN, selebihnya telah merapat pada partai koalisi pemerintahan. Ia harus bisa memposisikan masing-masing partai tersebut secara adil.
Jika ingin berkoalisi dengan Demokrat, maka Prabowo harus memenuhi syarat yang diajukan oleh SBY. SBY selama ini berambisi untuk memunculkan Agus sebagai salah satu pasangan calon di pilpres 2019. Itu terbukti dengan banyaknya spanduk besar bergambar Agus lengkap dengan atribut Demokrat terpampang diberbagai daerah.
Apakah Prabowo bisa menyanggupi permintaan SBY?
Pertama, pilpres 2019 adalah pertaruhan terakhir bagi Prabowo. Jika ia menerima Agus sebagai calon wakilnya nanti, maka ia harus menerima segala konsekuensi yang ada. Sebagai seorang calon wakil presiden, umur maupun pengalaman Agus masih terbilang cukup belia. Apalagi Agus belum pernah memimpin birokrasi.
Kekalahannya yang telak pada pilgub DKI kemarin juga harus dipertimbangkan secara matang oleh Prabowo. Pilihan yang sulit bagi Prabowo. Selain PAN dan PKS, Demokrat lebih mumpuni untuk mendapatkan kursi di DPR, itu bisa dilihat dari pengalaman pilpres tahun 2014 lalu. Selama ini yang kita lihat PAN lebih dekat ke Demokrat ketimbang Gerindra, sehingga jika Prabowo tidak bisa memenuhi syarat yang diajukan SBY, maka PAN pun akan mengambil sikap yang sama. Jika demikian, harapan Prabowo untuk nyapres terpaksa harus berhenti ditengah jalan, karena dukungan dari PKS belum tentu cukup untuk memenuhi syarat.
Kedua, bagi SBY menang atau tidaknya Agus di pilpres 2019 nanti bukanlah masalah utama. Mengharapkan Agus untuk menang itu pasti. Namun, jika Agus gagal menjadi wakil presiden, itupun tidak menjadi masalah besar bagi SBY. SBY paham, mengalahkan seorang Jokowi itu hal yang berat. Selain pertimbangan kekuatan politik yang dimiliki, prestasi Jokowi selama menjadi presiden terbilang sangat baik. Terbukti, kepuasan masyarakat terhadap kinerja Jokowi melonjak naik hingga 80an persen. Sekaligus tertingggi di dunia.
Kalau si Fahri bilang : Jokowi sudah menunjukkan prestasinya, sudah bangun sana, bangun sini, yang lain bisa apa? ( tumben ente waras Wan )
Tujuan SBY sebenarnya hanya ingin melempar Agus dan terjun langsung kedalam permainan liar. Hal yang sama seperti yang terjadi di pilgub DKI kemarin, hanya saja pertarungan kali ini musuhnya lebih besar. Artinya, jika Agus kembali kalah, seperti kekalahannya di pilgub DKI, tidak menjadi beban moral bagi SBY.
Dengan hasil pertarungan tersebut, SBY dapat menakar kekuatan yang dimiliki oleh Agus. Kegagalan-kegagalan tersebut akan menjadi modal awal bagi SBY untuk menggembleng Agus jauh lebih dalam lagi. Sehingga di pilpres 2024 mendatang, Agus lebih siap lagi untuk bertarung kembali.
Ketiga, dari uraian diatas, mau tidak mau Prabowo harus menelan bulat-bulat buah simalakama yang diberikan SBY. Tidak dimakan tidak bisa nyapres, dimakanpun belum tentu bisa menang.
Berbeda dengan Prabowo, bagi SBY kekalahan bukanlah hal yang besar. Jika Prabowo kalah, maka harapannya untuk menduduki kursi RI-1 hanya ada dalam angan. Selain faktor usia, beberapa kali pertarungan yang tak kunjung membuahkan hasil, membuatnya harus mengurungkan niatnya untuk kembali bertarung.
Prabowo, sudahlah,,
Hari sudah senja, engkau terlihat lelah, sudah waktunya untuk istirahat.

Tidak ada komentar: