Setelah diwarnai aksi walk out
dari Fraksi Gerindra, PAN, Demokrat dan PKS, Rancangan Undang-Undang
(RUU) tentang Pemilu akhirnya resmi disahkan dalam rapat paripurna di
Gedung DPR pada Kamis malam kemarin. Paripurna memutuskan RUU Pemilu
dengan presidential threshold 20 persen secara aklamasi.
Dari ke-empat nama partai yang walk out
saat persidangan berlangsung, Gerindra dianggap sebagai partai yang
paling keras menolak keputusan tersebut. Hal ini dapat dilihat dari
pernyataan sikap yang disampaikan oleh Prabowo melalui siaran media.
Prabowo menganggap hal itu sebagai lelucon politik yang menipu rakyat.
Namun hal itu ditampik dengan santai oleh
Jokowi. Pada tahun 2009 dan 2014 lalu hal ini juga pernah terjadi,
kenapa sekarang baru diributkan, ujar Jokowi.
Jokowi sendiri sangat mendukung dengan
adanya PT 20 persen, harapannya Pemilu berjalan hanya satu putaran,
sehingga gejolak politik yang timbul bisa lebih diminimalisir. Jauh
daripada itu, negara lebih diuntungkan dalam hal ini, mengingat besarnya
budget untuk satu putaran Pemilu mencapai hingga 4 triliun rupiah.
Prabowo sebenarnya cukup paham dan tahu,
jika mekanisme yang dijalankan oleh DPR dalam pengambilan keputusan RUU
Pemilu sudah sesuai dengan konstitusi. Artinya, Prabowo pun memahami
tidak ada yang salah dengan hasil PT 20 persen itu.
Memang, pernyataan yang dilontarkan oleh
Prabowo cukup beralasan, dengan hadirnya PT 20 persen, sangat berat
baginya untuk memenuhi syarat tersebut.
Sebagaimana kita tahu, dari pengalaman
tahun 2014 lalu, Gerindra hanya mengantongi 11 persen kursi di DPR.
Sehingga, jika Gerindra masih stagnan di 11 persen atau kurang, maka ia
tidak bisa berdiri sendiri untuk mengusung pasangan calon pada 2019
mendatang. Itu artinya ia harus berkoalisi minimal dengan dua partai
besar untuk memenuhi syarat tersebut.
Prabowo sangat memahami kondisi ini, biaya
yang ia gelontorkan pada kekalahannya di pilpres 2014 lalu tidaklah
sedikit. PT 20 persen telah mengekang posisinya, ia tidak bisa sebebas
PDIP untuk memilih calon wakilnya sendiri. Ada harga yang harus dibayar
jika ingin berkoalisi. Pilihannya, jika ingin tetap maju sebagai calon
presiden, ia harus memenuhi syarat-syarat yang diajukan oleh partai
koalisinya.
Saat ini sisa partai yang bisa diajak
untuk berkoalisi adalah PKS, Demokrat, dan PAN, selebihnya telah merapat
pada partai koalisi pemerintahan. Ia harus bisa memposisikan
masing-masing partai tersebut secara adil.
Jika ingin berkoalisi dengan Demokrat,
maka Prabowo harus memenuhi syarat yang diajukan oleh SBY. SBY selama
ini berambisi untuk memunculkan Agus sebagai salah satu pasangan calon
di pilpres 2019. Itu terbukti dengan banyaknya spanduk besar bergambar
Agus lengkap dengan atribut Demokrat terpampang diberbagai daerah.
Apakah Prabowo bisa menyanggupi permintaan SBY?
Pertama, pilpres 2019 adalah pertaruhan
terakhir bagi Prabowo. Jika ia menerima Agus sebagai calon wakilnya
nanti, maka ia harus menerima segala konsekuensi yang ada. Sebagai
seorang calon wakil presiden, umur maupun pengalaman Agus masih
terbilang cukup belia. Apalagi Agus belum pernah memimpin birokrasi.
Kekalahannya yang telak pada pilgub DKI
kemarin juga harus dipertimbangkan secara matang oleh Prabowo. Pilihan
yang sulit bagi Prabowo. Selain PAN dan PKS, Demokrat lebih mumpuni
untuk mendapatkan kursi di DPR, itu bisa dilihat dari pengalaman pilpres
tahun 2014 lalu. Selama ini yang kita lihat PAN lebih dekat ke Demokrat
ketimbang Gerindra, sehingga jika Prabowo tidak bisa memenuhi syarat
yang diajukan SBY, maka PAN pun akan mengambil sikap yang sama. Jika
demikian, harapan Prabowo untuk nyapres terpaksa harus berhenti ditengah
jalan, karena dukungan dari PKS belum tentu cukup untuk memenuhi
syarat.
Kedua, bagi SBY menang atau tidaknya Agus
di pilpres 2019 nanti bukanlah masalah utama. Mengharapkan Agus untuk
menang itu pasti. Namun, jika Agus gagal menjadi wakil presiden, itupun
tidak menjadi masalah besar bagi SBY. SBY paham, mengalahkan seorang
Jokowi itu hal yang berat. Selain pertimbangan kekuatan politik yang
dimiliki, prestasi Jokowi selama menjadi presiden terbilang sangat baik.
Terbukti, kepuasan masyarakat terhadap kinerja Jokowi melonjak naik
hingga 80an persen. Sekaligus tertingggi di dunia.
Kalau si Fahri bilang : Jokowi sudah
menunjukkan prestasinya, sudah bangun sana, bangun sini, yang lain bisa
apa? ( tumben ente waras Wan )
Tujuan SBY sebenarnya hanya ingin melempar
Agus dan terjun langsung kedalam permainan liar. Hal yang sama seperti
yang terjadi di pilgub DKI kemarin, hanya saja pertarungan kali ini
musuhnya lebih besar. Artinya, jika Agus kembali kalah, seperti
kekalahannya di pilgub DKI, tidak menjadi beban moral bagi SBY.
Dengan hasil pertarungan tersebut, SBY
dapat menakar kekuatan yang dimiliki oleh Agus. Kegagalan-kegagalan
tersebut akan menjadi modal awal bagi SBY untuk menggembleng Agus jauh
lebih dalam lagi. Sehingga di pilpres 2024 mendatang, Agus lebih siap
lagi untuk bertarung kembali.
Ketiga, dari uraian diatas, mau tidak mau
Prabowo harus menelan bulat-bulat buah simalakama yang diberikan SBY.
Tidak dimakan tidak bisa nyapres, dimakanpun belum tentu bisa menang.
Berbeda dengan Prabowo, bagi SBY kekalahan
bukanlah hal yang besar. Jika Prabowo kalah, maka harapannya untuk
menduduki kursi RI-1 hanya ada dalam angan. Selain faktor usia, beberapa
kali pertarungan yang tak kunjung membuahkan hasil, membuatnya harus
mengurungkan niatnya untuk kembali bertarung.
Prabowo, sudahlah,,
Hari sudah senja, engkau terlihat lelah, sudah waktunya untuk istirahat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar