Senin, 02 Oktober 2017

Generasi Z yang Tak Pendendam

Generasi  Z yang Tak Pendendam Kalis Mardiasih (Ilustrasi: Kiagoos Auliansyah/detikcom)
Jakarta - Rubrik politik Majalah Tiras tertanggal 14 September 1995 memuat wawancara dengan Mochtar Lubis, sastrawan angkatan 60-an yang menulis novel Jalan Tak Ada Ujung, Senja di Jakarta dan novel klasik yang banyak mendokumentasikan peristiwa politik Indonesia. Episode wawancara ini bukan dalam rangka membicarakan kiprah Pak Mochtar, tetapi menyoal pengembalian penghargaan Ramon Magsaysay yang pernah ia terima pada 1958.

Ia melakukan perjalanan bersama istrinya ke Filipina dalam usianya yang lebih dari 70 tahun untuk mengembalikan hadiah tersebut, sebab saat itu yayasan yang sama memberikan penghargaan serupa kepada Pramoedya Ananta Toer.

Media di Indonesia maupun publik internasional kala itu terbelah. Banyak yang memuji sikap Mochtar Lubis sebagai perwujudan a man of principle. Tapi, tak sedikit juga yang protes. Mochtar Lubis sendiri punya alasan yang kuat. Menurutnya, penghargaan Magsaysay diselenggarakan berdasarkan khitah cita-cita dan semangat mantan Presiden Filipina, Ramon Magsaysay yang getol memperjuangkan demokrasi dan keadilan sosial di negerinya.

Lalu, mengapa Pram tidak berhak atas penghargaan tersebut? Jawaban kali ini tidak sederhana. Kita akan kembali pada dekade 60-an ketika masa demokrasi terpimpin Presiden Sukarno tampak semakin dekat dengan PKI. Bahkan, ideologi yang ia gunakan untuk memimpin adalah Nasakom. Tahun-tahun itu Pram melalui seniman-seniman Lekra dicatat menghegemoni kesenian, antara lain dengan semboyan "seni untuk rakyat" dan "politik adalah panglima".

Para sastrawan dan seniman yang berseberangan dengan Lekra lalu membentuk Manifesto Kebudayaan (yang kemudian disingkat dengan nada meledek sebagai "Manikebu"), dan mengajukan semboyan "seni untuk seni" dan "humanisme universal". Mochtar Lubis adalah satu tokoh yang ikut dalam Manifesto Kebudayaan. Ia mengingat, lewat Majalah Lentera milik Lekra, Pram pernah menulis: Sudah waktunya melakukan pembantaian habis-habisan terhadap kawan-kawan Manikebu.

Ia juga ingat bagaimana Lekra membakari buku kawan-kawannya. Rupa-rupanya, Pram dalam pandangan Pak Mochtar berbeda dengan Pram dalam pandangan banyak orang awam sejarah politik. Kebanyakan orang awam, mungkin hanya mengetahui Pram lewat karya monumental Tetralogi Buru, seperti mereka mengenal Mochtar Lubis lewat Harimau! Harimau!.

Atau, yang tahu sejarah sepotong, akan sampai pada pertanyaan, "Loh, bukannya pada akhirnya pada masa Orde Baru buku-buku Pram dilarang terbit dan ribuan koleksi bukunya juga dibakar?" Dan, Pram juga ditahan selama 14 tahun di Pulau Buru. Hidup menyedihkan yang ia alami di gugusan Maluku itu ia rangkum dalam memoar Nyanyi Sunyi Seorang Bisu.

Koesalah Soebagyo Toer, dalam buku Bersama Mas Pram menulis peristiwa penangkapan yang mengakibatkan pendengaran Pram tidak berfungsi dengan baik. Kala itu, Pram yang dituduh sebagai anggota PKI --yang dituduh terlibat peristiwa G30S-- dipopor senapan hingga muncrat darah dari pelipisnya.

Begitulah. Rupanya yang disebut sejarah itu hanya silih berganti korban dan dendam. Anak-anak muda masa kini, saya pun salah satunya, masih mencoba mengumpulkan jejak, memahami puzzle, dan merangkai silang sengkarut peristiwa masa lalu ketika menyaksikan wajah-wajah lama Megawati, Susilo Bambang Yudhoyono, Amien Rais, Wiranto, Surya Paloh dan Prabowo. Lewat info-info sejarah pendirian partai yang kadang saya temukan pada cetak Majalah Gatra, Forum Keadilan, Tempo atau Tiras tahun-tahun lampau, saya hanya manggut-manggut saja menyaksikan manuver politik aktor-aktor tua itu, yang seringkali memang layak ditertawakan.

Bagaimana dengan generasi Z? Generasi Z adalah generasi post-internet yang konon unik. Minggu lalu, saya mengisi workshop media kreatif bertema Jogja Istimewa: Bhinneka Tanpa Prasangka di Universitas Gadjah Mada. Ketika berbicara soal konten viral, para peserta yang berusia 18-22 tahun itu mengaku bukan sebagai pengguna aktif akun Facebook dan Twitter, melainkan pengguna aktif akun Instagram dan Youtube.

Peralihan dari generasi saya yang disebut Generasi Y ke Generasi Z ini cukup singkat berdasar rentang tahun, dan kami telah memiliki identitas yang berbeda bahkan dalam hal bermain sosial media. Hal yang sama juga terjadi pada kasus download aplikasi pesan instan. Saya sudah merasa cukup dengan Whatsapp. Tapi, Generasi Z ternyata punya lalu lintas pertukaran informasi yang padat via Line, Telegram dan Snapchat.

Generasi Z lebih mengenal Raditya Dika atau Young Lex dibandingkan dengan ramai-ramai debat politik yang menjadi keributan para orangtua di linimasa Facebook. Para konsultan politik pasti akan kesulitan memetakan kantong-kantong suara. Kampanye artis dangdut di desa dan pesisir sudah harus memikirkan alternatif lain.

Saya telah membuktikan itu. Dalam beberapa pelatihan menulis yang bahkan pesertanya mahasiswa maupun sarjana --yang kata buku-buku teori perubahan sosial zaman dulu disebut sebagai agen intelektual-- nyatanya mereka tidak mengenal wajah-wajah Pram hingga Eka Kurniawan yang saya tampilkan pada layar. Mereka merasa asing.

Politikus yang mereka kenal barangkali hanya yang wajahnya sering dijadikan bahan meme. Bukan pesan kebangsaan yang mereka tangkap dari mereka, tapi sebuah pesan paradigmatik komedi gambar belaka. Tapi, semoga mereka tidak hanya mengenal kongsi bayi-bayi seleb Raffi-Nagita atau Anang-Ashanty.

Jika pada masa lalu politik atau agama bisa jadi panglima yang memicu sejarah kelam dan kesumat dendam tak habis-habis seperti Peristiwa PKI Madiun, Tragedi 1965, atau Reformasi 1998, para Generasi Z bukan tipe yang ingin punya panglima apapun. Jika mereka membaca buku sejarah atau menonton channel berkata kunci #MelawanLupa, itu hanya sebagai pertambahan khazanah pengetahuan, tapi Generasi Z lebih cair menerima masa lalu.

Membaca buku kiri tidak lantas menjadi kiri, sebaliknya membaca buku kanan tidak lantas membuat mereka menjadi kanan. Sebabnya, dalam genggaman mereka terdapat banyak sumber data untuk membandingkan dan menguji kebenaran.

Mereka generasi merdeka yang hanya berbekal tutorial vlog youtubers dunia lalu bisa bikin film, aplikasi dan berjejaring secara mandiri. Mereka lama-lama mulai paham konsep warga dunia yang kosmopolit, meninggalkan doktrin apapun yang membobot diri dengan "harga mati", dan jengah pada wajah-wajah lama yang ngaku pemimpin tapi tidak berdampak apapun pada mereka.

Jadi, sudah tepatlah jika Pak Jokowi sering bikin vlog berseri yang konsepnya "gaul abis". Lebih beruntung sebab Pak Jokowi punya anak yang merupakan bagian dari Generasi Z, hingga kadang-kadang jadi bintang tamu di channel Youtube Kaesang yang tema-temanya ringan dan kocak.

Tapi, meskipun tidak pendendam pada masa lalu, para Generasi Z juga tanpa sadar sedang menciptakan sebuah skema yang mengerikan. Dari aktivitas screenshoot yang mengakibatkan mudah tersebarnya informasi pribadi, budaya meme yang bebas memparodikan apa saja, hingga budaya seleb media sosial yang belakangan ini rentan menimbulkan cyberbullying skala berat yang berujung pada tindakan bunuh diri.

Yah, begitulah setiap masa selalu punya warnanya. Jika para orangtua berusia di atas 30 tahun masih menyimpan dendam akibat Pilpres 2014, semoga pilpres berikutnya lebih menyenangkan akibat kreativitas para Generasi Z. Mari Pak, Bu, ikut kami saja daripada lelah saling tengkar dengan kawan sendiri!

Kalis Mardiasih menulis opini dan menerjemah. Aktif sebagai periset dan tim media kreatif Jaringan Nasional Gusdurian dalam menyampaikan pesan-pesan toleransi dan kampanye #IndonesiaRumahBersama. Dapat disapa lewat @mardiasih
(mmu/mmu)

Tidak ada komentar: