Rabu, 25 Juni 2014

bagaimana konsep poros maritim

 

Saya Sebatas Bahas “Jalur Maritim Asia Tenggara”, Jokowi Inginkan “Poros Maritim Dunia”

4 Jun 2014 | 11:48
Mengikuti debat capres ketiga Minggu malam (22 Juni) semakin menegaskan kesan umum tentang kepribadian kedua capres yang memang berbeda. Seperti biasanya Capres Prabowo tampil dengan gaya berbicara seorang orator, sedangkan Jokowi cenderung berbicara taktis, dengan kalimat ringkas, terukur, dan cenderung lebih operasional.
Saya mulai menyiapkan tulisan ini sejak usai mencermati tayangan debat tersebut tetapi karena beberapa kesibukan keluarga saya baru dapat mengunggahnya pada hari ini. Minggu siang setelah kami selesai beribadah, saya dan istri sudah “dibajak” oleh anak-anak kami untuk menemani mereka di arena bermain anak di mal Kings Bandung (belakangan kemudian mal itu terbakar). Sedangkan pada Senin siang hingga hujan lebat menjelang sore hari, sekali lagi kami “tersandera” untuk urusan anak-anak kami karena mereka ingin berbasah-basahan, menyemplungkan diri di kolam renang milik Brigif Kujang Siliwangi, Cimahi.
Tidak dimungkiri bahwa Capres Jokowi merupakan tipikal pemimpin publik yang naturnya mudah untuk bersikap dialogis. Beliau sangat memaham intisari dari kekuatan diplomasi yang andal sehingga senantiasa lebih mendahulukan pembicaraan dari hati ke hati dengan siapa pun. Sebaliknya, Capres Prabowo sesuai karakter beliau sebagai mantan prajurit tempur mungkin terbiasa dengan pendekatan bergaya “bak-buk, bak-buk” lebih dahulu dan baru dibicarakan kemudian.
Hingga saat ini, menurut saya, Capres Jokowi yang banyak kali tampil apa adanya, juga belum tertandingi oleh kebanyakan tokoh Indonesia lainnya di dalam hal kemampuan beliau mengeksekusi pelbagai kebijakan! Setiap sosok leader besar di struktur pemerintahan (sebagai pemegang kekuasaan eksekutif) seyogianya mampu memastikan bahwa kebijakannya dipatuhi dan dilaksanakan oleh para bawahannya! Pasalnya, sesuatu kebijakan entah sesempurna apa pun di atas kertas tetapi jikalau tidak pernah dilaksanakan hingga setuntas-tuntasnya (baca: EKSEKUSI TOTAL) oleh jajaran terkait di bawahnya, maka sebenarnya justru telah mengandaskan klaim tentang bobot dan kualitas dari kepemimpinan itu sendiri.
Leader sejati niscaya mampu memilih dan senantiasa menempatkan hanya orang-orang yang tepat di posisi masing-masing karena mereka itulah yang diharapkan bekerja bersama-sama dengan dia. Tidak boleh terjadi penempatan aparatur yang keberadaannya justru lebih banyak menghambat, merongrong, ataupun membebani kepemimpinan tersebut.
Selain Capres Jokowi, plt. Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama, Cawapres Jusuf Kalla, dan Menteri BUMN Dahlan Iskan termasuk juga di antara segelintir pemimpin Indonesia yang sudah teruji memiliki kapasitas besar untuk bertindak sebagai eksekutor kebijakan. Sebaliknya, sesuai pengamatan dari banyak pemikir kritis, telah disadari bahwa Capres Prabowo masih menyisakan PR pribadi yang terhitung lumayan serius terkait kontroversi masa lalu beliau. Entah sejauh apa pun elite-elite tim suksesnya berusaha menancapkan persepsi kuat-kuat tentang beliau sebagai seorang pemimpin yang tegas dan cerdas.
Poros maritim dunia
Saya sebenarnya pernah menulis secara ringkas tentang kejayaan Kerajaan Sriwijaya yang sejahtera adalah berkat supremasi perdagangan melalui pelbagai jalur maritim Asia Tenggara (baca: AFTA dan Estafet Presiden 2014). Sehingga, hingga kapan pun kemajuan dan kemakmuran Negara Indonesia modern niscaya tidak dapat lepas dari peranan signifikan ranah kemaritiman. Justru dari lautanlah kita mampu merebut kembali kejayaan persada Nusantara!
Tidak disangka-sangka, ternyata Capres Jokowi menginginkan sesuatu yang jauh lebih besar: poros maritim dunia! Segera terbayang dalam benak saya, bahwa Indonesia perlu memiliki banyak sekali armada dagang besar milik bangsa sendiri. Produktivitas nasional dan arus pasokan barang-barang kebutuhan bangsa harus dapat didistribusikan secara cepat dan efisien ke seluruh wilayah Tanah Air, bahkan hingga melintasi batas-batas samudera.
Terkait hal ini, ke depan Angkatan Laut Indonesia harus diperkuat agar meningkat dari sekadar berkualifikasi “Green-Water Navy” menjadi “Blue-Water Navy”. Sehingga, Indonesia memiliki kemampuan menggelar kapal-kapal perang TNI AL untuk beroperasi hingga ke perairan lautan dalam dan di samudera terbuka (blue-water) dengan melintasi perairan internasional manapun di seluruh dunia. Tujuannya sangat tegas bukan untuk menyerang teritorial negara-negara lain, melainkan pertama-tama demi mengamankan pelbagai kepentingan nasional kita dan kedua, untuk mendukung upaya PBB dalam menjaga perdamaian serta memulihkan ketertiban dunia. Dengan demikian, kita dapat memiliki World Class Navy.
Tanpa mengabaikan fakta-fakta umum tentang masih lemahnya upaya penegakan hukum dan reformasi birokrasi yang terbilang cukup minim di jajaran pemerintahan pusat dan di daerah-daerah, saya ingin mengapresiasi sepenuhnya beberapa tekad pemerintahan SBY dalam hal membangun kemandirian tatkala berusaha memenuhi pelbagai kebutuhan alat-alat utama sistem kesenjataan (alutsista) kita. Oleh sebab itu, ke depan pemerintahan yang berikutnya harus mampu melanjutkan seluruh cetak biru pembangunan industri pertahanan dan industri-industri strategis dalam negeri!
Saya teringat bahwa pada masa Cawapres Hatta Rajasa menjadi Menteri Perhubungan, salah satu kebijakan pemerintah sejatinya justru kurang mendukung perkembangan industri strategis kita, yaitu mengimpor kereta-kereta penumpang bekas dari Jepang. Padahal, PT Industri Kereta Api (INKA) dalam negeri sendiri sudah lama mampu membuat rangkaian kereta-kereta penumpang dan kereta-kereta barang. Bahkan, INKA juga sudah mampu membuat sendiri lokomotif diesel canggih (konon memiliki kemampuan menembus genangan banjir). Sayang sekali, hingga sekarang loko-loko canggih tersebut, yang berbalut warna merah menyala, masih jarang terlihat menarik rangkaian kereta-kereta milik PT KAI.

Ini Akar Konsep Poros Maritim Dunia Jokowi

Selasa, 24 Juni 2014 17:32 WIB
Ini Akar Konsep Poros Maritim Dunia Jokowi
Tribunnews/JEPRIMA
Calon Presiden pasangan nomor urut dua, Joko Widodo atau sering disapa Jokowi menyampaikan visi dan misinya saat mengikuti acara Debat Capres 2014 putaran ketiga di Holiday Inn, Jakarta Utara, Minggu (22/6/2014). Pada debat kali ini mengangkat tema Politik Internasional dan Ketahanan Nasional. (Tribunnews/Jeprima)
"Untuk menjadi bangsa yang kuat dan sejahtera, kita harus menjadi bangsa bahari," kata Sukarno. 
Jakarta - Gagasan Joko Widodo dalam debat capres Minggu malam lalu untuk membangun Indonesia sebagai poros maritim dunia, dijelaskan lebih jauh oleh juru bicara tim pemenangan Jokowi-JK, Hasto Kristiyanto, sebagai doktrin geopolitik yang akan membawa kejayaan bangsa Indonesia.
"Jokowi memiliki pemahaman terhadap geopolitik. Hal itu membawa kesadaran bahwa masa depan dunia di Pasifik. Dengan cerdas, Jokowi mengeluarkan doktrin politik luar negerinya yakni menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia agar dihormati bangsa-bangsa asing," kata Hasto di kepada wartawan metrotvnews.com, Minggu 22 Juni 2014.
"Seluruh alur pelayaran dunia yang melalui jalur strategis di Indonesia akan dipergunakan sebagai pendekatan diplomasi terkait dengan peran strategis Indonesia," papar Hasto.
"Selamat datang doktrin maritim, justru di laut, kita harus jaya," lebih ditegaskan lagi oleh Hasto.
Hasto menjelaskan bahwa Jokowi sangat memahami pengalaman sejarah Indonesia pada periode 1955-1960 -an saat Presiden Sukarno membawa doktrin kejayaan di laut sebagai doktrin yang akan membawa kejayaan bangsa.
Periode yang dimaksud oleh Hasto adalah periode kepemimpinan Presiden Sukarno di masa keemasannya. Dalam buku "Indonesia Negara Maritim" karya Laksamana Muda (pur) Wahyono Suroto Kusumoprojo (2007), Sukarno pernah mengatakan, "Untuk menjadi bangsa yang kuat dan sejahtera, kita harus menjadi bangsa bahari."

Bahkan Sukarno membacakan puisi tentang kejayaan bangsa pelaut dalam pidato peresmian Institut Angkatan Laut pada tahun 1953 yang berjudul "Jadilah Bangsa Pelaut !"
Berikut puisi Sukarno tentang hal itu:
Usahakanlah agar kita menjadi bangsa pelaut kembali ....
Bangsa pelaut yang mempunyai armada niaga,
bangsa pelaut yang mempunyai armada militer,
bangsa pelaut yang kesibukannya di laut menandingi irama gelombang
 lautan itu sendiri.
Laksda Wahyono Suroto Kusumoprojo adalah saksi kesungguhan Presiden Sukarno untuk mewujudkan doktrin kejayaan di laut. Wahyono adalah angkatan IX Akademi Angkatan Laut Indonesia yang dilantik Presiden Sukarno di geladak apel Akademi Angkatan Laut Morokrembangan Surabaya pada 17 Juli 1962. Buku yang dia tulis adalah hasil studi dan pengalaman 32 tahun berdinas di angkatan laut yang menurut Wahyono adalah angkatan laut terbesar di Asia Tenggara.

Indonesia adalah salah satu negara yang mempunyai panjang garis pantai terpanjang di dunia. Kekayaan sumber daya alam Indonesia inilah yang memiliki potensi besar untuk memajukan perekonomian Indonesia.
Data terakhir Food and Agriculture Organization (FAO) (2012) dari Persatuan Bangsa Bangsa (PBB) menyebutkan bahwa Indonesia pada saat ini menempati peringkat ketiga terbesar dunia dalam produksi perikanan di bawah China dan India. Untuk perikanan tangkap Indonesia sebenarnya berada pada posisi kedua. Indonesia kalah produksi dengan India dalam perikanan budidaya. Jumlah perikanan tangkap dan perikanan budidaya itulah yang menunjukkan tingkat produksi perikanan suatu negara. (skj) (Advertorial)

Tidak ada komentar: