Saya Sebatas Bahas “Jalur Maritim Asia Tenggara”, Jokowi Inginkan “Poros Maritim Dunia”
4 Jun 2014 | 11:48
Mengikuti debat capres ketiga Minggu malam (22 Juni) semakin
menegaskan kesan umum tentang kepribadian kedua capres yang memang
berbeda. Seperti biasanya Capres Prabowo tampil dengan gaya berbicara
seorang orator, sedangkan Jokowi cenderung berbicara taktis, dengan
kalimat ringkas, terukur, dan cenderung lebih operasional.
Saya
mulai menyiapkan tulisan ini sejak usai mencermati tayangan debat
tersebut tetapi karena beberapa kesibukan keluarga saya baru dapat
mengunggahnya pada hari ini. Minggu siang setelah kami selesai
beribadah, saya dan istri sudah “dibajak” oleh anak-anak kami untuk
menemani mereka di arena bermain anak di mal Kings Bandung (belakangan
kemudian mal itu terbakar). Sedangkan pada Senin siang hingga hujan
lebat menjelang sore hari, sekali lagi kami “tersandera” untuk urusan
anak-anak kami karena mereka ingin berbasah-basahan, menyemplungkan diri
di kolam renang milik Brigif Kujang Siliwangi, Cimahi.
Tidak
dimungkiri bahwa Capres Jokowi merupakan tipikal pemimpin publik yang
naturnya mudah untuk bersikap dialogis. Beliau sangat memaham intisari
dari kekuatan diplomasi yang andal sehingga senantiasa lebih
mendahulukan pembicaraan dari hati ke hati dengan siapa pun. Sebaliknya,
Capres Prabowo sesuai karakter beliau sebagai mantan prajurit tempur
mungkin terbiasa dengan pendekatan bergaya “bak-buk, bak-buk” lebih
dahulu dan baru dibicarakan kemudian.
Hingga
saat ini, menurut saya, Capres Jokowi yang banyak kali tampil apa
adanya, juga belum tertandingi oleh kebanyakan tokoh Indonesia lainnya
di dalam hal kemampuan beliau mengeksekusi pelbagai kebijakan! Setiap
sosok leader besar di
struktur pemerintahan (sebagai pemegang kekuasaan eksekutif) seyogianya
mampu memastikan bahwa kebijakannya dipatuhi dan dilaksanakan oleh para
bawahannya! Pasalnya, sesuatu kebijakan entah sesempurna apa pun di atas
kertas tetapi jikalau tidak pernah dilaksanakan hingga
setuntas-tuntasnya (baca: EKSEKUSI TOTAL) oleh jajaran terkait di
bawahnya, maka sebenarnya justru telah mengandaskan klaim tentang bobot
dan kualitas dari kepemimpinan itu sendiri.
Leader sejati niscaya mampu memilih dan senantiasa menempatkan
hanya orang-orang yang tepat di posisi masing-masing karena mereka
itulah yang diharapkan bekerja bersama-sama dengan dia. Tidak boleh
terjadi penempatan aparatur yang keberadaannya justru lebih banyak
menghambat, merongrong, ataupun membebani kepemimpinan tersebut.
Selain
Capres Jokowi, plt. Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama, Cawapres Jusuf
Kalla, dan Menteri BUMN Dahlan Iskan termasuk juga di antara segelintir
pemimpin Indonesia yang sudah teruji memiliki kapasitas besar untuk
bertindak sebagai eksekutor kebijakan. Sebaliknya, sesuai pengamatan
dari banyak pemikir kritis, telah disadari bahwa Capres Prabowo masih
menyisakan PR pribadi yang terhitung lumayan serius terkait kontroversi
masa lalu beliau. Entah sejauh apa pun elite-elite tim suksesnya
berusaha menancapkan persepsi kuat-kuat tentang beliau sebagai seorang
pemimpin yang tegas dan cerdas.
Poros maritim dunia
Saya
sebenarnya pernah menulis secara ringkas tentang kejayaan Kerajaan
Sriwijaya yang sejahtera adalah berkat supremasi perdagangan melalui
pelbagai jalur maritim Asia Tenggara (baca: AFTA dan Estafet Presiden 2014).
Sehingga, hingga kapan pun kemajuan dan kemakmuran Negara Indonesia
modern niscaya tidak dapat lepas dari peranan signifikan ranah
kemaritiman. Justru dari lautanlah kita mampu merebut kembali kejayaan
persada Nusantara!
Tidak
disangka-sangka, ternyata Capres Jokowi menginginkan sesuatu yang jauh
lebih besar: poros maritim dunia! Segera terbayang dalam benak saya,
bahwa Indonesia perlu memiliki banyak sekali armada dagang besar milik
bangsa sendiri. Produktivitas nasional dan arus pasokan barang-barang
kebutuhan bangsa harus dapat didistribusikan secara cepat dan efisien ke
seluruh wilayah Tanah Air, bahkan hingga melintasi batas-batas
samudera.
Terkait
hal ini, ke depan Angkatan Laut Indonesia harus diperkuat agar
meningkat dari sekadar berkualifikasi “Green-Water Navy” menjadi
“Blue-Water Navy”. Sehingga, Indonesia memiliki kemampuan menggelar
kapal-kapal perang TNI AL untuk beroperasi hingga ke perairan lautan
dalam dan di samudera terbuka (blue-water)
dengan melintasi perairan internasional manapun di seluruh dunia.
Tujuannya sangat tegas bukan untuk menyerang teritorial negara-negara
lain, melainkan pertama-tama demi mengamankan pelbagai kepentingan nasional kita dan kedua, untuk mendukung upaya PBB dalam menjaga perdamaian serta memulihkan ketertiban dunia. Dengan demikian, kita dapat memiliki World Class Navy.
Tanpa
mengabaikan fakta-fakta umum tentang masih lemahnya upaya penegakan
hukum dan reformasi birokrasi yang terbilang cukup minim di jajaran
pemerintahan pusat dan di daerah-daerah, saya ingin mengapresiasi
sepenuhnya beberapa tekad pemerintahan SBY dalam hal membangun
kemandirian tatkala berusaha memenuhi pelbagai kebutuhan alat-alat utama
sistem kesenjataan (alutsista) kita. Oleh sebab itu, ke depan
pemerintahan yang berikutnya harus mampu melanjutkan seluruh cetak biru
pembangunan industri pertahanan dan industri-industri strategis dalam
negeri!
Saya
teringat bahwa pada masa Cawapres Hatta Rajasa menjadi Menteri
Perhubungan, salah satu kebijakan pemerintah sejatinya justru kurang
mendukung perkembangan industri strategis kita, yaitu mengimpor
kereta-kereta penumpang bekas dari Jepang. Padahal, PT Industri Kereta
Api (INKA) dalam negeri sendiri sudah lama mampu membuat rangkaian
kereta-kereta penumpang dan kereta-kereta barang. Bahkan, INKA juga
sudah mampu membuat sendiri lokomotif diesel canggih (konon memiliki
kemampuan menembus genangan banjir). Sayang sekali, hingga sekarang
loko-loko canggih tersebut, yang berbalut warna merah menyala, masih
jarang terlihat menarik rangkaian kereta-kereta milik PT KAI.
Ini Akar Konsep Poros Maritim Dunia Jokowi
Selasa, 24 Juni 2014 17:32 WIB
Tribunnews/JEPRIMA
Calon
Presiden pasangan nomor urut dua, Joko Widodo atau sering disapa Jokowi
menyampaikan visi dan misinya saat mengikuti acara Debat Capres 2014
putaran ketiga di Holiday Inn, Jakarta Utara, Minggu (22/6/2014). Pada
debat kali ini mengangkat tema Politik Internasional dan Ketahanan
Nasional. (Tribunnews/Jeprima)
"Untuk menjadi bangsa yang kuat dan sejahtera, kita harus menjadi bangsa bahari," kata Sukarno.
Jakarta - Gagasan Joko Widodo dalam debat capres Minggu malam lalu untuk membangun Indonesia sebagai poros maritim dunia, dijelaskan lebih jauh oleh juru bicara tim pemenangan Jokowi-JK, Hasto Kristiyanto, sebagai doktrin geopolitik yang akan membawa kejayaan bangsa Indonesia.
"Jokowi memiliki pemahaman terhadap geopolitik. Hal itu membawa kesadaran bahwa masa depan dunia di Pasifik. Dengan cerdas, Jokowi mengeluarkan doktrin politik luar negerinya yakni menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia agar dihormati bangsa-bangsa asing," kata Hasto di kepada wartawan metrotvnews.com, Minggu 22 Juni 2014.
"Seluruh alur pelayaran dunia yang melalui jalur strategis di Indonesia akan dipergunakan sebagai pendekatan diplomasi terkait dengan peran strategis Indonesia," papar Hasto.
"Selamat datang doktrin maritim, justru di laut, kita harus jaya," lebih ditegaskan lagi oleh Hasto.
Hasto menjelaskan bahwa Jokowi sangat memahami pengalaman sejarah Indonesia pada periode 1955-1960 -an saat Presiden Sukarno membawa doktrin kejayaan di laut sebagai doktrin yang akan membawa kejayaan bangsa.
Periode yang dimaksud oleh Hasto adalah periode kepemimpinan Presiden Sukarno di masa keemasannya. Dalam buku "Indonesia Negara Maritim" karya Laksamana Muda (pur) Wahyono Suroto Kusumoprojo (2007), Sukarno pernah mengatakan, "Untuk menjadi bangsa yang kuat dan sejahtera, kita harus menjadi bangsa bahari."
Bahkan Sukarno membacakan puisi tentang kejayaan bangsa pelaut dalam pidato peresmian Institut Angkatan Laut pada tahun 1953 yang berjudul "Jadilah Bangsa Pelaut !"
Berikut puisi Sukarno tentang hal itu:
Usahakanlah agar kita menjadi bangsa pelaut kembali ....
Bangsa pelaut yang mempunyai armada niaga,
bangsa pelaut yang mempunyai armada militer,
bangsa pelaut yang kesibukannya di laut menandingi irama gelombang
lautan itu sendiri.
Laksda Wahyono Suroto Kusumoprojo adalah saksi kesungguhan Presiden Sukarno untuk mewujudkan doktrin kejayaan di laut. Wahyono adalah angkatan IX Akademi Angkatan Laut Indonesia yang dilantik Presiden Sukarno di geladak apel Akademi Angkatan Laut Morokrembangan Surabaya pada 17 Juli 1962. Buku yang dia tulis adalah hasil studi dan pengalaman 32 tahun berdinas di angkatan laut yang menurut Wahyono adalah angkatan laut terbesar di Asia Tenggara.
Indonesia adalah salah satu negara yang mempunyai panjang garis pantai terpanjang di dunia. Kekayaan sumber daya alam Indonesia inilah yang memiliki potensi besar untuk memajukan perekonomian Indonesia.
Data terakhir Food and Agriculture Organization (FAO) (2012) dari Persatuan Bangsa Bangsa (PBB) menyebutkan bahwa Indonesia pada saat ini menempati peringkat ketiga terbesar dunia dalam produksi perikanan di bawah China dan India. Untuk perikanan tangkap Indonesia sebenarnya berada pada posisi kedua. Indonesia kalah produksi dengan India dalam perikanan budidaya. Jumlah perikanan tangkap dan perikanan budidaya itulah yang menunjukkan tingkat produksi perikanan suatu negara. (skj) (Advertorial)
Jakarta - Gagasan Joko Widodo dalam debat capres Minggu malam lalu untuk membangun Indonesia sebagai poros maritim dunia, dijelaskan lebih jauh oleh juru bicara tim pemenangan Jokowi-JK, Hasto Kristiyanto, sebagai doktrin geopolitik yang akan membawa kejayaan bangsa Indonesia.
"Jokowi memiliki pemahaman terhadap geopolitik. Hal itu membawa kesadaran bahwa masa depan dunia di Pasifik. Dengan cerdas, Jokowi mengeluarkan doktrin politik luar negerinya yakni menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia agar dihormati bangsa-bangsa asing," kata Hasto di kepada wartawan metrotvnews.com, Minggu 22 Juni 2014.
"Seluruh alur pelayaran dunia yang melalui jalur strategis di Indonesia akan dipergunakan sebagai pendekatan diplomasi terkait dengan peran strategis Indonesia," papar Hasto.
"Selamat datang doktrin maritim, justru di laut, kita harus jaya," lebih ditegaskan lagi oleh Hasto.
Hasto menjelaskan bahwa Jokowi sangat memahami pengalaman sejarah Indonesia pada periode 1955-1960 -an saat Presiden Sukarno membawa doktrin kejayaan di laut sebagai doktrin yang akan membawa kejayaan bangsa.
Periode yang dimaksud oleh Hasto adalah periode kepemimpinan Presiden Sukarno di masa keemasannya. Dalam buku "Indonesia Negara Maritim" karya Laksamana Muda (pur) Wahyono Suroto Kusumoprojo (2007), Sukarno pernah mengatakan, "Untuk menjadi bangsa yang kuat dan sejahtera, kita harus menjadi bangsa bahari."
Bahkan Sukarno membacakan puisi tentang kejayaan bangsa pelaut dalam pidato peresmian Institut Angkatan Laut pada tahun 1953 yang berjudul "Jadilah Bangsa Pelaut !"
Berikut puisi Sukarno tentang hal itu:
Usahakanlah agar kita menjadi bangsa pelaut kembali ....
Bangsa pelaut yang mempunyai armada niaga,
bangsa pelaut yang mempunyai armada militer,
bangsa pelaut yang kesibukannya di laut menandingi irama gelombang
lautan itu sendiri.
Laksda Wahyono Suroto Kusumoprojo adalah saksi kesungguhan Presiden Sukarno untuk mewujudkan doktrin kejayaan di laut. Wahyono adalah angkatan IX Akademi Angkatan Laut Indonesia yang dilantik Presiden Sukarno di geladak apel Akademi Angkatan Laut Morokrembangan Surabaya pada 17 Juli 1962. Buku yang dia tulis adalah hasil studi dan pengalaman 32 tahun berdinas di angkatan laut yang menurut Wahyono adalah angkatan laut terbesar di Asia Tenggara.
Indonesia adalah salah satu negara yang mempunyai panjang garis pantai terpanjang di dunia. Kekayaan sumber daya alam Indonesia inilah yang memiliki potensi besar untuk memajukan perekonomian Indonesia.
Data terakhir Food and Agriculture Organization (FAO) (2012) dari Persatuan Bangsa Bangsa (PBB) menyebutkan bahwa Indonesia pada saat ini menempati peringkat ketiga terbesar dunia dalam produksi perikanan di bawah China dan India. Untuk perikanan tangkap Indonesia sebenarnya berada pada posisi kedua. Indonesia kalah produksi dengan India dalam perikanan budidaya. Jumlah perikanan tangkap dan perikanan budidaya itulah yang menunjukkan tingkat produksi perikanan suatu negara. (skj) (Advertorial)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar