Jumat, 27 Juni 2014

Apa itu revolusi mental? Fadli zon Sebut Revolusi Mental Ide Komunis, Antropolog UI: Revolusi Mental Konsep Mahatma Gandhi

Lelucon Jokowi & Romo Benny? 

Citizen Journalism | Jurnalistik Warga Online ASAL USUL KATA “Revolusi Mental”

Lelucon Jokowi & Romo Benny, Siapa Plagiat 'Revolusi Mental' di Kompas & Sindo - See more at: http://www.voa-islam.com/read/intelligent/2014/05/12/30322/lelucon-jokowi-romo-benny-siapa-plagiat-revolusi-mental-di-kompas-sindo/#sthash.or9rbmk4.dpuf
ASAL USUL KATA “Revolusi Mental”. Referensi-nya: The Comunist Manifesto, by Karl Marx,.
Istilah REVOLUSI MENTAL yg dipakai JOKOWI sebagai Jargon Kampanyenya, saya baru tahu dari status teman. Jargon dan istilah yang dipakai JOKOWI-JK dalam Debat Capres beberapa hari yang lalu, ternyata bukan istilah Baru, istilah REVOLUSI MENTAL pertama kali dipopulerkan oleh Bapak Sosialis-Komunis Dunia yg bernama KARL MARX, dimana pemikirannya sangat Banyak dipengaruhi oleh Filosofis Atheis Young Hegelian yg sangat terkenal di Berlin,
Bahkan KARL MARX muda waktu itu aktif di perkumpulan Pemuda Hegelian yg merupakan kelompok Ekstrim kiri anti Agama yg beranggotakan para Dosen Muda dan pemuda ekstrim kiri, istilah REVOLUSI MENTAL ini dibuat untuk program Cuci Otak dalam pengembangan faham Sosialis-Komunis dikawasan eropa yg kapitalis, karena Agama yg dogmatis dianggap sebagai penghambat dalam pengembangan faham Komunis .
Istilah REVOLUSI MENTAL juga dipakai oleh pendiri Partai Komunis China yg bernama CHEN DUXIU bersama temannya yg bernama Li DAZHAO sebagai doktrin dan cuci otak kepada para Buruh dan Petani dalam menentang kakaisran China.
Di Indonesia istilah REVOLUSI MENTAL istilah ini mulai dipakai oleh seorang pemuda asal Belitung yang bernama AHMAD AIDIT anak dari ABDULLAH AIDIT dan kemudian mengganti namanya menjadi DIPA NUSANTARA AIDIT ( DN AIDIT ) dan ketika ayahnya bertanya kenapa namamu diganti ? AIDIT menjawab saatnya REVOLUSI MENTAL
dimulai dg mengganti hal2 yg akan menghambat pergerakan, termasuk nama AHMAD yg berbau Agama harus dibuang.Setelah DN AIDIT terpilih jadi ketua PKI, dia sukses menerapkan istilah REVOLUSI MENTAL
kepada para Kader PKI, dan ormas2 PKI lainnya seperti PEMUDA RAKYAT, BARISAN TANI INDONESIA, GERWANI , SOBSI DAN LEKRA yang dianggap simbol perlawanan kepada kaum Feodalis.

JPNN

Revolusi Mental, Mulai dari Mana

Senin, 23 Juni 2014 | 17:34 WIB
TRIBUN / DANY PERMANA Musisi Ello tampil dalam konser 'Revolusi Harmoni, Revolusi Mental' bersama musisi Indonesia lainnya di Senayan, Jakarta, Rabu (11/6/2014). Konser tersebut digelar untuk mendukung pasangan Joko Widodo dan Jusuf Kalla dalam Pilpres 9 Juli mendatang.

Oleh: Mohammad Abduhzen

Dekadensi akal pikiran merupakan bencana batin yang paling besar bagi bangsa. Karakter bangsa menjadi lemah, imperialisme dengan mudah menancapkan kukunya di bumi pertiwi.
(Bung Karno, 1956. Indonesia Menggugat: 129-133)
KOMPAS.com - Calon presiden Joko Widodo (Jokowi) menulis di harian ini (10/5/2014) bahwa kita memerlukan revolusi mental sebagai paradigma baru dalam menyelesaikan berbagai permasalahan bangsa yang terus galau ini.
Menurut Jokowi, selama 16 tahun menjalankan reformasi, kita hanya mencapai kemajuan sebatas kelembagaan. Pembangunan belum menyentuh paradigma, mindset, atau budaya politik dari manusia yang menjalankan sistem sehingga nation building tak mengantarkan Indonesia pada cita-citanya.
Revolusi mental itu berdasarkan konsep Trisakti Bung Karno, yaitu (1) Indonesia yang berdaulat secara politik, (2) mandiri secara ekonomi, dan (3) berkepribadian secara sosial-budaya. Revolusi mental harus dimulai dari diri kita sendiri, lingkungan keluarga, tempat tinggal, lingkungan kerja, kemudian meluas ke lingkungan kota dan negara. Untuk itu, lanjut Jokowi, revolusi mental harus menjadi sebuah gerakan nasional.
Empat aspek penting
Meski gagasan itu terasa masih mengambang, saya sependapat dengan revolusi mental sebagai paradigma pembangunan mendatang. Pertama, ide ini menukik pada simpul masalah dan penyumbat kemajuan bangsa selama ini. Masalah utama bangsa sudah sangat jelas, yakni kualitas manusia yang kini lebih "dikapitaliskan" dengan sebutan modal manusia.
Kita hampir tak memiliki masalah ketersediaan sumber daya alam dan kuantitas penduduk sebagai basis perekonomian. Namun, karena manusia diposisikan sebagai barang ekonomi belaka dan mentalitas tak pernah jadi fokus serius pembangunan, berkembanglah aneka virus di jiwa yang menjadikan manusia Indonesia bukan saja tak mampu menjaga dan memanfaatkan beragam kekayaannya, melainkan juga jadi penyebab keterpurukan bangsanya sendiri.
Kedua, sejak Orde Baru, paradigma pembangunan kita selalu bertumpu pada pertumbuhan ekonomi, meski begitu, kesejahteraan tak kunjung dirasakan rakyat. Klaim-klaim kemajuan ekonomi hanya gelembung rapuh sehingga mudah kolaps ketika diterpa krisis dan sukar pulih.
Soedjatmoko, di awal 1970-an, telah mengingatkan bahwa model pembangunan ekonomi yang dijalankan itu tidak mengarah dan berakar pada kebudayaan kita sendiri. Kemajuan yang dicapai tak memegang peranan dalam alam pikiran bangsa kita, tak memupuk kepercayaan diri. Menurut Soedjatmoko, kita perlu memandang pembangunan ekonomi dalam rangka kebulatan kehidupan bangsa atau dalam kerangka kebudayaan kita.
Ketiga, revolusi mental menuntut perombakan sistem pendidikan nasional secara fundamental, total, dan gradual. Pendidikan harus dinomorsatukan sebagai episentrum perekayasaan kemanusiaan dalam gerak sentrifugal pencapaian tujuan kenegaraan, seperti tertuang dalam pembukaan UUD 1945. Ini sejalan dengan konstitusi yang menetapkan negara harus memprioritaskan anggaran pendidikan minimal 20 persen dari APBN dan APBD.
Dengan platform Revolusi Mental, pemerintah kelak tak sekadar meneruskan apa yang ada, tapi juga berani mengoreksi kebijakan pendidikan kita yang sangat parah, di antaranya kebijakan ujian nasional yang digagas dan dibela dengan gigih oleh Jusuf Kalla. Selain itu, pemerintah nantinya tak secara instan menjadikan berbagai gagasan yang sepintas tampak keren—seperti daya saing, persentase pendidikan karakter, atau kementerian perguruan tinggi dan riset—sebagai platform karena substansinya tak koheren, bahkan kontra produktif dengan ide revolusi mental yang diinginkan.
Keempat, secara empirik, sejarah kemajuan bangsa-bangsa di dunia sering kali diawali oleh revolusi mental yang terekspresi sebagai revolusi ilmu pengetahuan, revolusi pemikiran, atau revolusi kebudayaan. Titik awal kemajuan bangsa Jepang, misalnya, adalah Restorasi Meiji yang mengubah mentalitas feodalisme ke arah modernisme melalui pendidikan. Malaysia, tetangga kita, di era Mahathir Mohamad, melakukan gerakan "Melayu Baru" mulai 1971 yang dibarengi kebijakan "afirmatif" ekonomi baru yang dikenal dengan New Economic Policy. "Tantangan terpenting dan tersulit adalah di bidang kebudayaan. Bahkan, dengan kebijakan ekonomi dan peluang baru, perubahan ini tidak akan terwujud tanpa pemupukan terhadap nilai-nilai baru tertentu... Modernisasi pikiran merupakan prasyarat bagi modernisasi ekonomi,” kata Mahathir (1999).
Mulai dari pemikiran
Meskipun bukan representasi total kemanusiaan, rasionalitas tampaknya merupakan esensi yang paling berpengaruh—di antara isi mental kita—pada kualitas kita sebagai Homo sapiens. Dengan demikian, untuk revolusi mental efektif harus dimulai dengan mengubah pemikiran.
Pertama, membangun jiwa merdeka. "Revolusi fisik" atau kemerdekaan telah dideklarasikan 69 tahun lalu, tetapi bilur-bilur keterjajahan masih kentara dalam mentalitas kita yang terekspresi sebagai sikap dan perilaku minder, tidak bertanggung jawab, dan berjiwa korup. Maraknya korupsi di negeri ini di antaranya lantaran alam pikiran membayangkan pemerintah dan negara sebagai kolonial sehingga merongrong pemerintah dan menggerogoti uang negara tak dirasa sebagai kesalahan, bahkan sebagai kepahlawanan.
Untuk itu, sistem pendidikan nasional dalam segala ranahnya harus dirancang sebagai upaya pemerdekaan yang menghapus fantasi keterjajahan melalui kekuatan berpikir, kemandirian, rasa memiliki, dan tanggung jawab. Perubahan pemikiran tidak akan terjadi sekiranya kita hanya meneruskan saja apa yang berlangsung selama ini.
Kedua, menanggalkan mental feodal. Feodalisme tidak sekadar menunjuk pada perilaku penguasa yang membuat jarak, despotik, dan minta dihormati, tetapi juga pada karakter manusia Indonesia (Mochtar Lubis, 1977) yang terus dilestarikan sehingga menghalangi kemajuan. Gejala feodalisme tampak kian menguat dalam berbagai tingkat kepemimpinan kita dewasa ini. "Banyaknya pimpinan saat ini bersifat feodal karena perlakuan rakyat atau bawahannya yang menjadikan pimpinannya berperilaku feodal" (BJ Habibie, pidato pembukaan Muktamar V ICMI, 5/12/2010).
Feodalisme di bidang politik dan pemerintahan telah mengerdilkan jiwa kepemimpinan dan melahirkan birokratisme dengan segala bawaannya. Dalam dunia pendidikan, feodalisme melemahkan pikiran dan menyebabkan kebodohan. Sementara di bidang ekonomi, sosial, dan budaya akan melestarikan ketergantungan dan diskriminasi atas dasar nilai-nilai primordialisme.
Beragam upaya demokratisasi harus dilakukan untuk meretas belenggu feodalisme masyarakat, di antaranya melalui keteladanan dan menghidupkan kamampuan berpikir kritis. Para pemimpin sekarang hendaknya belajar dari RM Soewardi Soerjaningrat yang ketika berumur 40 tahun menanggalkan gelar kebangsawanannya (Raden Mas) seraya mengganti nama jadi Ki Hadjar Dewantara. Alasannya agar lebih dekat pada rakyat. Kepemimpinan yang mendekat dan mendengarkan rakyat secara otentik hanya dapat diterapkan ketika feodalisme ditanggalkan.
Ketiga, mengubah cara pandang terhadap kerja. Kinerja harus jadi sebuah sistem nilai yang dianut oleh setiap anggota komunitas. Tidak seperti tetumbuhan dan hewan, kehadiran manusia di dunia ini bukan untuk sekadar bertahan hidup dan beradaptasi dengan lingkungannya. Manusia datang untuk mengubah lingkungan agar sesuai dengan kebutuhan dan martabat dirinya. Maka, manusia harus bekerja dan mencipta.
Letak muruah dan kemuliaan manusia adalah pada karya yang bermanfaat bagi kehidupan. Hanya bekerja keras dengan pikiran waras kedaulatan dalam politik, kemandirian dalam ekonomi, dan kepribadian dalam sosial budaya akan terwujud.
Keempat, reorientasi pemikiran agama. Tak dapat dipungkiri bahwa pemikiran keagamaan sangat memengaruhi sikap dan perilaku masyarakat kita sejak dahulu. Keberagamaan seyogianya memberikan dorongan dan arah bagi perilaku produktif yang memudahkan dan memuliakan kehidupan serta kemanusiaan.
Namun, kenyataannya, agama sering kali dipahami sebatas perkara eskatologis dan transenden yang melahirkan sikap setengah hati terhadap keduniawian, fatalisme, dan mengutamakan ritual. Pemahaman yang tidak proporsional terhadap substansi dan fungsi agama menjadikan agama sebagai sumber kecemasan, konflik, dan ancaman terhadap kemanusiaan dan lingkungannya.
Revolusi mental akan menyempurnakan revolusi kita yang belum selesai. Ini memerlukan kesungguhan dan pemikiran mendalam serta komprehensif. Jika hanya pencitraan, sejarah akan menertawakan kita.
Mohammad Abduhzen
Direktur Eksekutif Institute for Education Reform Universitas Paramadina, Jakarta; Ketua Litbang PB PGRI


Editor : Laksono Hari Wiwoho
Sumber: KOMPAS CETAK
Sebut Revolusi Mental Ide Komunis, Fadli Diserang soal Ziarahi Kuburan Karl Marx
Updated: Fri, 27 Jun 2014 11:35:00 GMT | By JPNNJPNN
JAKARTA - Suhu panas semakin melingkupi rivalitas kubu Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dengan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK). Yang terkini, kubu Prabowo-Hatta menyebut konsep Revolusi Mental yang diusung Jokowi merupakan ide komunis.

Serangan ke arah Jokowi itu dilontarkan Fadli Zon, politikus Gerindra yang juga Sekretaris Tim Pemenangan Prabowo-Hatta. Dalam cuitannya di Twitter, Fadli menyebut Revolusi Mental punya akar kuat tradisi paham komunis. Hal itu sebagai respon Fadli atas kontroversi tampilan Ahmad Dhani dengan kostum Nazi di dalam klip lagu Prabowo-Hatta We Will Rock You yang menjadi bahan untuk menyudutkan duet capres usungan Koalisi Merah Putih itu.

Indonesia tak ada hub dg NAZI, yg ada dg komunis. Nah Revolusi Mental punya akar kuat tradisi paham komunis, tulis Fadli di Twitter.

Tak hanya itu, Fadli dalam cuitannya juga menyebut Karl Marx menggunakan istilah Revolusi Mental pada tahun 1869 dalam karyanya, Eighteenth Brumaire of Louis Bonapartem. Aidit PKI, hilangkan nama Achmad dr nama depannya n ganti dg Dipa Nusantara (DN) dg alasan Revolusi Mental yaitu hapus yg berbau agama, sambungnya.

Tentu saja kubu Jokowi-JK gerah. Juru Bicara Tim Pemenangan Jokowi-JK, Hasto Kristiyanto lantas menyerang balik Fadli. Menurut Hasto, justru Fadli telah pengagum Karl Marx.

Hasto menggunakan foto Fadli di depan kuburan Karl Marx di Highgate Cemetery di London, Inggris yang beredar di media sosial. Dalam foto itu, Fadli terlihat memegang karangan bunga.

Menurut Hasto, justru Fadli telah membuka titik lemah. Mengapa? Karena Fadli Zon yang justru mengidentikkan dirinya dengan komunisme Karl Marx, kata Hasto melalui layanan BlackBerry Messenger, Jumat (27/6) dini hari.

Wakil Sekjen PDI Perjuangan itu menyebut ziarah ke makam Karl Marx itu merupakan bagian spiritualitas Fadli Zon. Ziarah ke makam Karl Marx itu menunjukkan siapa yang sebenarnya pengagum komunis, tuding Hasto.

Karena, orang dekat Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri itu menyarankan Fadli tidak melontarkan tuduhan membabi buta ke arah Jokowi. Sebab, kata Hasto, justru Fadli perlu tahu tentang konsep yang ditawarkan Jokowi untuk membangun Indonesia yang berkarakter melalui Revolusi Mental.

Karakter Pak Jokowi yang saleh dan merakyat adalah cermin pemahaman atas sila Ketuhanan Yang Maha Esa dan Kemanusiaan Yang Adil dan Baradab. Diterimanya Pak Jokowi oleh seluruh lapisan masyarakat adalah cermin semangat Persatuan Indonesia. Sedangkan kemampuannya menyelesaikan masalah dengan cara berdialog dan menghormati rakyat kecil adalah cermin musyawarah mufakat, ucap Hasto.(ara/jpnn)
Jumat, 27/06/2014 10:09 WIB

Antropolog UI: Revolusi Mental Konsep Mahatma Gandhi, Bukan Komunis

Elvan Dany Sutrisno - detikNews
Jakarta - Pernyataan Waketum Gerindra Fadli Zon bahwa revolusi mental dekat dengan komunis menuai reaksi dari masyarakat. Seorang antropolog yang mengabdi sebagai dosen di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia menegaskan bahwa pandangan Fadli keliru.

"Sebagai seorang ahli ilmu sosial, saya merasa penilaian Fadli Zon bahwa konsep revolusi mentalnya Jokowi lebih dekat ke komunisme perlu diluruskan," kata Bachtiar Alam PhD, Antropolog yang juga dosen Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, melalui surat elektronik kepada detikcom, Jumat (27/6/2014).

Menurut Bachtiar, revolusi mental adalah konsep Mahatma Gandhi, bukan komunis. Pernyataan Fadli Zon perlu diluruskan karena konsep tersebut menduduki posisi penting dalam pemikiran Mahatma Gandhi, seorang pejuang kemanusiaan terkemuka abad ke-20 yang dikagumi KH Abudurrahman Wahid (Gus Dur), Presiden RI ke-4.

"Seperti diuraikan dalam buku Gandhi's Experiments with Truth: Essential Writings by and about Mahatma Gandhi (Richard L. Johnson ed., 2007), Gandhi mengedepankan argumen bahwa kemerdekaan politik (self-rule) harus berdasarkan pada revolusi mental, yaitu perubahan total mental rakyat negara jajahan," kata Bachtiar.

Konsep revolusi mental seperti ini menduduki posisi sentral karena asumsi utama pemikiran Gandhi adalah bahwa pemerintahan negara yang merdeka harus berlandaskan atas kekuatan moral.

"Gus Dur, sebagai seorang pejuang nilai-nilai kemanusiaan di Indonesia, mengagumi pemikiran Gandhi. Pernyataannya yang terkenal berbunyi “I am a follower of Mahatma Gandhi.” Ciri yang menonjol dalam pemikiran Gus Dur adalah melihat demokrasi sebagai suatu proses transformasi mental secara terus-menerus dengan bertumpu pada penghargaan terhadap persamaan hak, pluralisme serta kebebasan menyampaikan aspirasi. Di sini tampak jelas pengaruh gagasan revolusi mental Gandhi pada Gus Dur," papar Bachtiar.

"Melihat latar belakang demikian jelaslah bahwa konsep revolusi mental merupakan benang merah yang menghubungkan pemikiran Mahatma Gandhi, Gus Dur, dan Jokowi, dengan konotasi bukan revolusi sosial yang radikal seperti yang dikedepankan dalam paham komunisme, tapi lebih mengacu kepada gerakan moral untuk memperbaiki kehidupan berbangsa berdasarkan nilai-nilai kemanusiaan universal," tegasnya.

Bachtiar Alam menyelesaikan pendidikan S1 di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI (1984), S2 Sosiologi, FISIP UI (1987); AM, Kajian Asia, Harvard University (1989), dan S3 Antropologi Harvard University (1995). Jabatan struktural saat ini adalah Direktur Riset dan Pengabdian Masyarakat, Universitas Indonesia.

Sebelumnya Fadli Zon berkicau soal kampanye yang dilakukan Ahmad Dhani melalui video klip. Fadli pun langsung menyerang kubu rivalnya dengan menyebut Revolusi Mental ala Jokowi dekat dengan komunis.

"Indonesia tak ada hubungan dengan NAZI, yang ada dengan komunis. Nah 'Revolusi Mental' punya akar kuat tradisi paham komunis," ujar Sekretaris Tim Pemenangan Prabowo-Hatta ini melalui akun twitternya, Kamis (26/6/2014).(van/try)

Seri Revolusi Mental (2): Kenapa Perlu Revolusi Mental?

 26 Jun 2014 17:09

'Revolusi Mental' memang merupakan salah satu visi misi yang diusung oleh Jokowi.
Liputan6.com, Jakarta - Revolusi Mental. Merupakan Frase yang beberapa minggu terakhir ini merebak seiring dengan artikel yang ditulis Joko Widodo calon Presiden yang diusung oleh PDIP di Harian Kompas, 10 Mei 2014, berbarengan dengan tulisan serupa dari Romo Benny Susetyo dengan judul yang sama di Harian Sindo sehingga sempat menjadi Polemik.

Ternyata hal ini bisa terjadi secara bersamaan karena 'Revolusi Mental' memang merupakan salah satu visi misi yang diusung oleh Jokowi beserta timnya. Ini tampak dari banyaknya kegiatan kampanye Jokowi-JK yang bertajuk 'Revolusi Mental' di hari-hari belakangan ini. Tulisan ini tidak akan membahas lebih jauh mengenai polemik atas hal tersebut, namun ingin melihat persoalan-persoalan yang membuat perbaikan karakter bangsa, revolusi mental memang semakin mendesak untuk segera dicapai.

Sebagaimana kita ketahui bersama, Reformasi yang sudah berjalan 16 tahun belum juga berhasil mendorong bangsa ini pada keadaan yang lebih baik. Sudah bertahun-tahun peringkat/indeks korupsi Indonesia belum banyak bergeser, masih berkisar di bawah 100. Berdasarkan Human Development Index (HDI) dari UNDP 2005, Indonesia hanya menduduki peringkat 107 dari 170 negara. Dari Indeks yang sama di tahun 2013, peringkat kita malah melorot menjadi urutan ke 121 dari 186 negara.

Dalam hal indeks daya saing global, setahun terakhir, Indonesia memang mengalami peningkatan yang cukup signifikan dari peringkat 50 menjadi yang ke-38 dari 148 negara. Namun hal ini lebih didorong oleh peningkatan pelatihan-pelatihan, perbaikan sistem pendidikan tinggi serta di bidang teknologi. Padahal sebagaimana kita ketahui bersama salah satu persoalan besar bangsa ini adalah pada rendahnya tingkat pendidikan rata-rata masyarakat juga persoalan mentalitas.

Angka-angka tersebut di atas menggambarkan masih besarnya pekerjaan rumah yang harus kita hadapi dalam perbaikan kualitas SDM. Di luar angka-angka yang masih belum terlalu menggembirakan tersebut ada persoalan lebih besar yang perlu juga menjadi perhatian kita agar produktivitas dan daya saing bangsa ini segera meningkat menyongsong kebijakan pasar bebas global yang sudah di depan.

Untuk mengatasi hal ini kita tidak bisa lagi berharap pada cara-cara konvensional, namun diperlukan adanya terobosan mendasar melalui Revolusi. Revolusi Mental, terobosan yang didasari kesungguhan, keteladanan dan kerja keras agar kita bisa segera lebih siap menyongsong era pasar bebas.

Memperbaiki sistem dan infrastruktur pendidikan nasional merupakan suatu persoalan. Namun urusan lain yang tidak kalah pentingnya adalah memahami persoalan-persoalan mental yang dihadapi bangsa ini untuk kemudian segera diatasi dengan berbagai cara baik melalui peningkatan porsi pendidikan karakter khususnya di tingkat dasar, maupun melalui metoda-metoda formal dan informal lainnya.

Di antara persoalan-persoalan mental yang dihadapi bangsa ini dan perlu segera dicari solusinya antara lain: di bidang politik dan kepemimpinan nasional, korupsi, kebohongan-kebohongan publik dan keteladanan masih jadi persoalan besar, di bidang sosial budaya intoleransi terhadap perbedaan, sifat ingin menang sendiri, mental jongos, kecenderungan menggunakan kekerasan dalam menyikapi masalah, pelecehan hukum, dan sifat oportunis masih terus meluas. Pesimisme dan kerakusan di berbagai aspek kehidupan pun kian merajalela. Melalui terobosan Revolusi Mental semoga berbagai persoalan tersebut bisa segera teratasi. (Mufti Farid, alumni PII (Pelajar Islam Indonesia), relawan Turun Tangan & Generasi Optimis)
Tribunnews.com Seri Revolusi Mental (3): Modal kita adalah Manusia
Kamis, 26 Juni 2014 18:28 WIB
Tribunnews/Herudin
Calon presiden nomor urut 2, Joko Widodo atau Jokowi menjawab pertanyaan wartawan usai memenuhi undangan KPK, di Kantor KPK, Jakarta Selatan, Kamis (26/6/2014). Kedatangan Jokowi ini untuk melakukan klarifikasi harta kekayaannya sebagai syarat pencalonan presiden. TRIBUNNEWS/HERUDIN 
Dulu, mau tidak mau, orang harus bekerja untuk makan.
Zaman dahulu kala, ketika ilmu ekonomi belum berkembang, belum pula dikenal angka pengangguran. Dulu, mau tidak mau, orang harus bekerja untuk makan. Paling tidak, ia harus memungut makanan yang ada di hutan. Kalau tidak bekerja, ia akan mati. Jadi, bekerja adalah upaya bertahan hidup.
Barulah di masyarakat modern, manusia punya kemewahan untuk menganggur. Kebutuhan hidupnya dapat ditanggung orang-orang lain yang produktivitasnya melebihi konsumsi. Ada subsidi silang. Namun, bila tingkat pengangguran terlalu tinggi, ongkos kebutuhan hidup masyarakat akan terasa berat untuk ditanggung hanya mereka yang bekerja.
Seorang ekonom pernah mengatakan bahwa anak muda Indonesia tidak punya kemewahan untuk menganggur. Mereka harus bekerja untuk bertahan hidup. Akibatnya, di negara kita, sektor informal berkembang luas. Pedagang kaki lima menjamur di mana-mana. Itulah gambaran manusia-manusia yang berupaya bertahan hidup.
Dalam kondisi apapun, manusia adalah modal utama suatu bangsa. Sebodoh apapun manusia-manusia itu, mereka memiliki kemampuan untuk bekerja, untuk produktif, meski tingkat produktifitasnya rendah. Karena itu, mengatakan modal utama bangsa kita adalah kekayaan alam sesungguhnya keliru. Alam tidak akan membawa manfaat bilamana tidak melibatkan campur tangan manusia.
Sekarang, bayangkan bilamana manusia Indonesia pandai-pandai, sehat-sehat, pekerja keras, pantang menyerah. Produktivitas mereka akan tinggi sekali. Kerja mereka akan menghasilkan kekayaan yang melimpah bagi bangsa kita.
Ketika masih di era penjajahan, ada keraguan  soal kemampuan kita menjadi bangsa merdeka. Waktu itu, tingkat buta huruf di atas 95 persen. Kondisi kesehatan buruk sekali. Hanya segelintir anak negeri yang mengenyam pendidikan tinggi. Bagaimana bisa kita mengatur suatu negara yang rakyatnya bodoh-bodoh? Apakah kita memiliki cukup aparatur untuk mengelola negara seluas Nusantara?
Para pemimpin bangsa waktu itu tidak ambil pusing. Mereka optimis saja  bahwa kita akan mampu menjadi bangsa mandiri. Kenyataannya memang demikian. Kita berhasil tumbuh menjadi bangsa yang semakin lama semakin kuat dan sejahtera.
Di tahun 1950-an, ketika kondisi politik mulai stabil, pemerintah menasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda. Ketika itu, berdiri cikal bakal Pertamina. Kepada Ibnu Sutowo (Direktur Utama Pertamina waktu itu), Bung Hatta berpesan : Manfaatkan kekayaan minyak yang ada di tanah Nusantara untuk membiayai pendidikan dan kesehatan rakyat. Pertamina menjadi agen pembangunan yang bertugas mengubah kekayaan alam menjadi kekuatan sumberdaya manusia Nusantara.
Para proklamator sudah sadar, modal utama kita sesungguhnya adalah manusia. Karenanya, uang yang sedikit sekalipun langsung dimanfaatkan untuk mendidik dan menyehatkan anak bangsa. Di era tahun 50-an itu sekolah-sekolah dibangun. Bung Karno memimpin sendiri gerakan memberantas buta huruf. Di era itu pula universitas-universitas didirikan.
Di awal era Orde Baru, Indonesia mulai memiliki lulusan universitas dalam jumlah melimpah. Mereka itulah yang menjadi tulang punggung perkembangan ekonomi di era 70, 80 dan 90-an. Sayangnya, di era ini, salah satu bagian penting dalam pembangunan manusia produktif diabaikan. Mental bangsa rusak akibat rezim otoriter dan budaya korupsi. Manusia Indonesia menjelma menjadi penuh ketakutan, rakus, oportunis, penjilat, sadis dan sejenisnya. Manusia Indonesia tega memakan manusia Indonesia lainnya, saudara sebangsanya sendiri.
Mentalitas itulah yang harus kita rombak dengan Revolusi Mental. (Taufik Anwar  - mahasiswa Pascasarjana Studi Pembangunan, relawan Generasi Optimis) (Advertorial)

Tidak ada komentar: