Saat ini DPR sedang ribut membahas
rancangan undang-undang pemilu untuk Pileg dan Pilpres 2019 yang harus
digelar serentak, sesuai dengan keputusan Mahkamah Konsitusi, demi
menghemat anggaran pemilu.Sebelumnya kita menggelar Pileg dan
Pilpres secara terpisah. Setelah Pileg selesai, barulah kemudian
partai-partai berkoalisi demi memenuhi syarat Presidential Threshold
agar bisa memajukan Capres Cawapres. Pertanyaanya kemudian, apakah di
2019 nanti masih akan menggunakan syarat Presidential Threshold? Karena
kalau Pileg dan Pilpres digelar serentak, maka kalau mensyaratkan
Presidential Threshold akan mengambil data yang mana? Sebab tidak ada
data kursi DPR 2019 kalau Pileg dan Pilpres digelar serentak. Jika
mengambil data kursi 2014, apakah adil? Mengingat ini sudah 2019.
Perdebatan ini berlangsung sengit,
sementara Mahkamah Konstitusi tidak menafsirkan apa-apa, hanya
keputusannya Pileg dan Pilpres 2019 digelar serentak demi menghemat
anggaran.
Fraksi DPR kini terbagi menjadi 2 kubu.Pertama, PDIP, Golkar dan Nasdem Pro Presidential Threshold (sebesar 20-25% kursi DPR) sebagai syarat memajukan Capres Cawapres.
Kedua, Gerindra, PKS, PAN, Demokrat, PPP,
PKB, Hanura, kontra Presidential Threshold, tidak setuju dengan aturan
minimal 20% kursi DPR, maunya semua partai, meskipun tidak memiliki
wakil di DPR dapat mengajukan Capres Cawapresnya sendiri.
Argumen kelompok Pro Presidential
Threshold agar nantinya Presiden Indonesia memiliki modal dasar dalam
menjalankan roda pemerintahan. Karena jika Presiden terpilih tidak
memiliki dukungan DPR, tidak punya kader di sana, maka Presiden akan
sibuk melakukan konsulidasi, dibanding bekerja untuk kemajuan negara.
Argumen kelompok Kontra Presidential
Threshold agar semua putra-putri terbaik bangsa, dapat memiliki hak yang
sama, terbuka kesempatan untuk menjadi Presiden Indonesia tanpa perlu
ambang batas minimal Presidential Threshold 20%.
Kepentingan dan manuver politik
Berdasarkan data Pileg 2014, tidak ada
partai yang bisa memajukan Capres Cawapresnya sendiri. Karena yang
tertinggi PDIP (19%), Golkar (14.7%) Gerindra (11.8%) dan Demokrat
(10.1%). Sementara sisanya di bawah 10%.
Sehingga kalau bicara Presidential
Threshold 20%, dengan tujuan agar mudah mencalonkan Capres Cawapres
pilihan partai, seharusnya semua partai sepakat untuk tidak menggunakan
Presidential Threshold. Atau minimal akan sepakat dengan PKB yang ingin
menurunkan angka Presidential Threshold menjadi 10-15%.
Tapi inilah politik, tidak ada yang pasti dan tidak mudah menebak keputusan-keputusan politis.
Pemerintah ancam menarik diri
Sikap pemerintah adalah tetap menggunakan
Presidential Threshold, yakni partai politik atau gabungan partai
politik harus mengantongi 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah
nasional untuk mengusung calon presiden dan wakil presiden.
“Kalau tidak (disetujui) dengan sangat
terpaksa pemerintah menolak untuk dilanjutkan pembahasannya. Menarik
diri, ada dalam aturan undang-undang,” kata Tjahjo di Kompleks Istana
Kepresidenan.
Bila pemerintah menarik diri, maka
konsekuensinya adalah pembahasan UU tidak bisa dilanjutkan. Pemilu 2019
mendatang harus diselenggarakan berdasarkan UU yang lama, UU nomor 8
tahun 2012 tentang pemilu legislatif serta UU nomor 42 tahun 2008
tentang pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Yang di dalamnya memiliki
aturan Presidential Threshold. Kemudian nantinya dapat ditambahkan
klausul agar sesuai dengan keputusan Mahkamah Konstitusi, bahwa tahun
2019 Pileg dan Pilpres digelar serentak.
Dalam bahasan ini, posisi pemerintah di
atas angin. Meskipun hanya tiga partai yang setuju dengan Presidential
Threshold, namun bisa bersikap menarik diri dari bahasan UU, untuk
membatalkan dan kembali pada UU yang lama, dan itu juga diatur dalam
undang-undang.
Resiko tanpa Presidential Threshold
Saya pribadi setuju dengan argumen PDIP,
bahwa Presidential Threshold adalah modal dasar untuk seorang Presiden
menjalankan roda pemerintahan. Jika melihat apa yang dialami oleh
pemerintah Jokowi JK, semua pembaca Seword pasti setuju kalau saya
mengatakan bahwa Presiden kerap diganggu oleh DPR.
Awal-awal Jokowi dilantik jadi Presiden,
DPR kerap memunculkan wacana-wacana liar. Dari memanggil menteri-menteri
kabinet kerja, sampai ancaman memakzulkan Jokowi. Andai Jokowi tak
memiliki modal dasar dukungan politik, maka mungkin pemakzulan itu sudah
terjadi. Tetapi dengan 39% suara kursi DPR, semua wacana-wacana liar
yang beresiko menimbulkan kerusuhan dan protes-protes berkepanjangan itu
bisa diredam, dan Jokowi masih menjadi Presiden Indonesia sampai saat
ini.
Yang harus kita pikirkan bersama adalah,
jika dengan 39% suara saja masih rentan diganggu dan dibuat kerepotan,
apalagi kalau 0% suara?
Membantah soal buka peluang bagi putra putri bangsa
Saya tersenyum kecut saat mendengar
argumen Gerindra, bahwa partai mereka ingin memberi kesempatan kepada
putra putri terbaik bangsa. Itulah mengapa mereka menolak Presidential
Threshold. Kemudian mencontohkan bahwa Gerindra telah memberikan contoh,
dengan mengantarkan Jokowi Ahok di Pilgub DKI. Hahaha benar-benar
contoh yang sinting. Sebab Jokowi Ahok 2012 lalu yang memang maju dari
Gerindra dan PDIP itu untuk tingkat Gubernur DKI. Kalau tingkat Presiden
ya mana mungkin Gerindra mau menyerahkan tiket Capres kepada selain
junjungan yang mulia Prabowo Subianto?Jadi argumen ingin memberikan kesempatan
kepada semua putra-putri terbaik bangsa itu hanyalah omong kosong.
Karena kalau memang Gerindra ingin memberikan kesempatan itu kepada
semua orang, seharusnya 2014 lalu yang dimajukan bukanlah Prabowo, sebab
Prabowo sudah pernah kalah di Pilpres sebelumnya. Bukan malah
menyodorkan Prabowo lagi dan lagi. Masyarakat ya muak lah, sudah kalah
masih nyapres lagi. Di mana letak memberi kesempatan kepada semua putra
putri terbaik bangsa? Kenapa malah memberikan kesempatan kepada orang
yang berkali-kali ditolak mayoritas masyarakat Indonesia?
Prabowo bisa gagal maju 2019 jika ada Presidential Threshold
Bagi saya, dengan adanya Presidential
Threshold ini maka semua partai harus melakukan koalisi. Sehingga nama
yang dimajukan sebagai Capres dan Cawapres adalah nama yang disetujui
oleh semua partai.
Pasangan Jokowi JK 2014 lalu adalah
contohnya. Jokowi bukan ketua umum partai, JK malah bukan kader partai
koalisi, bahkan partainya, Golkar, berkoalisi dengan Prabowo Hatta.
Tetapi pada akhirnya Jokowi JK bisa maju sebagai Capres Cawapres karena
semua partai setuju dengan dua nama ini. PDIP, PKB, Hanura dan Nasdem
sepakat untuk mendukung Jokowi JK. Andai pasangannya Jokowi Muhaimin,
pasti Hanura dan Nasdem tidak setuju. Begitu juga jika Jokowi Surya
Paloh, pun PKB tidak akan setuju. Apalagi kalau Jokowi Puan Maharani,
semua partai koalisi mungkin tidak akan mau berkoalisi karena calonnya
dari PDIP semua.
Berbeda halnya dengan pasangan Prabowo
Hatta, Prabowo ketum Gerindra dan Hatta ketum PAN. Tanpa dukungan partai
lain, koalisi Gerindra PAN sudah mencapai 19.38% suara. Tidak cukup
syarat Presidential Threshold memang, tapi bagaimanapun Hatta Rajasa
punya kekuatan politik besan. Karena kalau partai-partai kecil seperti
PKS, PPP dan PBB gagal merapat dan ingin berkoalisi dengan Golkar, maka
mengemis suara dari Demokrat adalah jalan terakhir.
Tapi kenyataannya Golkar yang saat itu
ingin mengajukan Bakrie, ditolak oleh semua partai, termasuk ketika
Bakrie berniat berpasangan dengan Jokowi. Sehingga Golkar yang
memperoleh suara 14.75% suara gagal memajukan calonnya, baik sebagai
Capres maupun Cawapres. PKS, PPP dan PBB enggan mendukung Bakrie sebagai
Capres. Sementara kalau dijadikan Cawapres, dan Capresnya dari PKS atau
PPP misalnya, Golkar pasti keberatan. Karena suara mereka lebih dari
dua kali lipat suara PKS atau PPP, kok ya mau diberi Cawapres?
Dari proses yang alot ini, memang pada
akhirnya selain PDIP dan Nasdem atau Gerindra dan PAN, partai-partai itu
(Demokrat, PKB, PPP, Hanura, PKS, PBB) harus memilih ke mana akan
berlabuh? Sebab mereka tidak bisa sepakat mengusung calon sendiri.
PKB dan Hanura akhirnya memilih mendukung
Jokowi dan mencari wakilnya. Sementara Demokrat, PKS dan PPP mendukung
Prabowo Hatta. Dan Golkar yang mustahil untuk tidak ikut dalam
perhelatan Pilpres terpaksa harus setuju dan mendukung Prabowo-Hatta.
Jika diperhatikan, semua partai kontra
Presidential Threshold adalah partai yang pada 2014 lalu gagal memajukan
ketua umumnya, karena terbentur syarat minimal diusung oleh 20% suara
partai.
PKB dan partai lain yang saat ini berusaha
bijak dan mengajukan opsi jalan tengah dengan menurunkan angka
Presidential Threshold menjadi 10% atau 15% saja, adalah langkah paling
masuk akal agar 2019 nanti mereka tidak mengalami kesulitan seperti pada
tahun 2014. Dengan 0% Presidential Threshold, atau 10%, maka
dimungkinkan terjadi koalisi antar dua partai kecil untuk mengusung
Capres Cawapres sendiri.
Sementara bagi Gerindra, jika aturannya 0%
atau diturunkan 15% saja, mereka bisa tetap mencalonkan Prabowo lagi,
bergandengan dengan tokoh lain yang potensial dari kader Gerindra atau
tokoh independent seperti Ridwan Kamil atau malah berpasangan dengan
Ahok.
Jika Presidential Threshold masih 20-25%
suara, maka Prabowo terancam ditolak oleh semua partai, seperti yang
dialami oleh Bakrie pada 2014 lalu. Sebab partai lain pasti berpikir
realistis dan tidak mau suara pendukungnya muak dengan capres yang sudah
gagal berkali-kali. Selain itu PKS, PAN, Hanura, PPP, dan Demokrat
bakal menghadapi masalah kesepakatan mengusung nama Capres dan Cawapres.
Lihat saja pada 2014 lalu mereka gagal membentuk poros baru, kemudian
memilih takluk dengan mendukung Prabowo lagi, yang sudah pernah kalah di
Pilpres 2009 dan 2004 lalu bahkan gagal menjadi Capres. Pertanyaannya
kemudian, apakah 2019 nanti mereka berani membuat poros baru dan sepakat
mengusung Capres Cawapres sendiri, sehingga secara otomatis
menggagalkan Prabowo maju lagi. Atau malah kembali tidak sepakat dan
kembali mendukung Prabowo yang memiliki kemungkinan besar akan kembali
kalah dan mengurangi simpati konstituen masing-masing partai? mengingat
Pileg dan Pilpres akan digelar serentak. Sehingga siapapun Capres
Cawapres yang diusulkan akan sangat mempengaruhi suara Pileg.
Sehingga kalau misal Jokowi harus melawan
Prabowo lagi, kemungkinannya Jokowi akan kembali menang, jauh di atas
perolehan suara tahun 2014. Sebab dengan catatan prestasi di Solo dan
Jakarta saja sudah berhasil membuat Jokowi unggul atas Prabowo, apalagi
kalau 2019 nanti setelah Jokowi berhasil, minimal membangun tol lebih
banyak dari Soeharto yang 32 tahun berkuasa, atau dua kali lipat dari
SBY yang sudah berkuasa 2 periode.
Siapapun Capres Cawapres yang diusung,
pengaruhnya tentu kepada partai pendukung. PDIP, Golkar dan Nasdem pasti
secara otomatis mendapat limpahan suara dari pendukung Jokowi.
Sebaliknya Prabowo, partai-partai pendukungnya dimungkinkan tergerus
suaranya, sehingga Demokrat, PKB, Hanura, PPP, PBB, PAN, PKS dan
Gerindra harus berbagi suara minoritas.
Inilah kenapa ditiadakannya Presidential
Threshold pada 2019 sangat penting bagi mereka. Sebab sejatinya mereka
kesulitan mengusung Capres Cawapres ideal, sementara bagi Gerindra,
mengusung Prabowo Subianto adalah harga mati.
Dengan ditiadakannya Presidential
Threshold, mereka bisa usung Capres Cawapres masing-masing. Karena kalau
kalahpun, itu sudah menaikkan nama mereka. Minimal kalau sudah dikenal
itu ada kemungkinan diangkat jadi Menteri, siapapun Presidennya nanti.
Begitulah kura-kura.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar