Jumat, 16 Juni 2017

2019: Presidential Threshold Ancam Prabowo Batal Nyapres Seperti Bakrie

Saat ini DPR sedang ribut membahas rancangan undang-undang pemilu untuk Pileg dan Pilpres 2019 yang harus digelar serentak, sesuai dengan keputusan Mahkamah Konsitusi, demi menghemat anggaran pemilu.Sebelumnya kita menggelar Pileg dan Pilpres secara terpisah. Setelah Pileg selesai, barulah kemudian partai-partai berkoalisi demi memenuhi syarat Presidential Threshold agar bisa memajukan Capres Cawapres. Pertanyaanya kemudian, apakah di 2019 nanti masih akan menggunakan syarat Presidential Threshold? Karena kalau Pileg dan Pilpres digelar serentak, maka kalau mensyaratkan Presidential Threshold akan mengambil data yang mana? Sebab tidak ada data kursi DPR 2019 kalau Pileg dan Pilpres digelar serentak. Jika mengambil data kursi 2014, apakah adil? Mengingat ini sudah 2019.
Perdebatan ini berlangsung sengit, sementara Mahkamah Konstitusi tidak menafsirkan apa-apa, hanya keputusannya Pileg dan Pilpres 2019 digelar serentak demi menghemat anggaran.
Fraksi DPR kini terbagi menjadi 2 kubu.Pertama, PDIP, Golkar dan Nasdem Pro Presidential Threshold (sebesar 20-25% kursi DPR) sebagai syarat memajukan Capres Cawapres.
Kedua, Gerindra, PKS, PAN, Demokrat, PPP, PKB, Hanura, kontra Presidential Threshold, tidak setuju dengan aturan minimal 20% kursi DPR, maunya semua partai, meskipun tidak memiliki wakil di DPR dapat mengajukan Capres Cawapresnya sendiri.
Argumen kelompok Pro Presidential Threshold agar nantinya Presiden Indonesia memiliki modal dasar dalam menjalankan roda pemerintahan. Karena jika Presiden terpilih tidak memiliki dukungan DPR, tidak punya kader di sana, maka Presiden akan sibuk melakukan konsulidasi, dibanding bekerja untuk kemajuan negara.
Argumen kelompok Kontra Presidential Threshold agar semua putra-putri terbaik bangsa, dapat memiliki hak yang sama, terbuka kesempatan untuk menjadi Presiden Indonesia tanpa perlu ambang batas minimal Presidential Threshold 20%.
Kepentingan dan manuver politik
Berdasarkan data Pileg 2014, tidak ada partai yang bisa memajukan Capres Cawapresnya sendiri. Karena yang tertinggi PDIP (19%), Golkar (14.7%) Gerindra (11.8%) dan Demokrat (10.1%). Sementara sisanya di bawah 10%.
Sehingga kalau bicara Presidential Threshold 20%, dengan tujuan agar mudah mencalonkan Capres Cawapres pilihan partai, seharusnya semua partai sepakat untuk tidak menggunakan Presidential Threshold. Atau minimal akan sepakat dengan PKB yang ingin menurunkan angka Presidential Threshold menjadi 10-15%.
Tapi inilah politik, tidak ada yang pasti dan tidak mudah menebak keputusan-keputusan politis.
Pemerintah ancam menarik diri
Sikap pemerintah adalah tetap menggunakan Presidential Threshold, yakni partai politik atau gabungan partai politik harus mengantongi 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional untuk mengusung calon presiden dan wakil presiden.
“Kalau tidak (disetujui) dengan sangat terpaksa pemerintah menolak untuk dilanjutkan pembahasannya. Menarik diri, ada dalam aturan undang-undang,” kata Tjahjo di Kompleks Istana Kepresidenan.
Bila pemerintah menarik diri, maka konsekuensinya adalah pembahasan UU tidak bisa dilanjutkan. Pemilu 2019 mendatang harus diselenggarakan berdasarkan UU yang lama, UU nomor 8 tahun 2012 tentang pemilu legislatif serta UU nomor 42 tahun 2008 tentang pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Yang di dalamnya memiliki aturan Presidential Threshold. Kemudian nantinya dapat ditambahkan klausul agar sesuai dengan keputusan Mahkamah Konstitusi, bahwa tahun 2019 Pileg dan Pilpres digelar serentak.
Dalam bahasan ini, posisi pemerintah di atas angin. Meskipun hanya tiga partai yang setuju dengan Presidential Threshold, namun bisa bersikap menarik diri dari bahasan UU, untuk membatalkan dan kembali pada UU yang lama, dan itu juga diatur dalam undang-undang.
Resiko tanpa Presidential Threshold
Saya pribadi setuju dengan argumen PDIP, bahwa Presidential Threshold adalah modal dasar untuk seorang Presiden menjalankan roda pemerintahan. Jika melihat apa yang dialami oleh pemerintah Jokowi JK, semua pembaca Seword pasti setuju kalau saya mengatakan bahwa Presiden kerap diganggu oleh DPR.
Awal-awal Jokowi dilantik jadi Presiden, DPR kerap memunculkan wacana-wacana liar. Dari memanggil menteri-menteri kabinet kerja, sampai ancaman memakzulkan Jokowi. Andai Jokowi tak memiliki modal dasar dukungan politik, maka mungkin pemakzulan itu sudah terjadi. Tetapi dengan 39% suara kursi DPR, semua wacana-wacana liar yang beresiko menimbulkan kerusuhan dan protes-protes berkepanjangan itu bisa diredam, dan Jokowi masih menjadi Presiden Indonesia sampai saat ini.
Yang harus kita pikirkan bersama adalah, jika dengan 39% suara saja masih rentan diganggu dan dibuat kerepotan, apalagi kalau 0% suara?
Membantah soal buka peluang bagi putra putri bangsa
Saya tersenyum kecut saat mendengar argumen Gerindra, bahwa partai mereka ingin memberi kesempatan kepada putra putri terbaik bangsa. Itulah mengapa mereka menolak Presidential Threshold. Kemudian mencontohkan bahwa Gerindra telah memberikan contoh, dengan mengantarkan Jokowi Ahok di Pilgub DKI. Hahaha benar-benar contoh yang sinting. Sebab Jokowi Ahok 2012 lalu yang memang maju dari Gerindra dan PDIP itu untuk tingkat Gubernur DKI. Kalau tingkat Presiden ya mana mungkin Gerindra mau menyerahkan tiket Capres kepada selain junjungan yang mulia Prabowo Subianto?Jadi argumen ingin memberikan kesempatan kepada semua putra-putri terbaik bangsa itu hanyalah omong kosong. Karena kalau memang Gerindra ingin memberikan kesempatan itu kepada semua orang, seharusnya 2014 lalu yang dimajukan bukanlah Prabowo, sebab Prabowo sudah pernah kalah di Pilpres sebelumnya. Bukan malah menyodorkan Prabowo lagi dan lagi. Masyarakat ya muak lah, sudah kalah masih nyapres lagi. Di mana letak memberi kesempatan kepada semua putra putri terbaik bangsa? Kenapa malah memberikan kesempatan kepada orang yang berkali-kali ditolak mayoritas masyarakat Indonesia?
Prabowo bisa gagal maju 2019 jika ada Presidential Threshold
Bagi saya, dengan adanya Presidential Threshold ini maka semua partai harus melakukan koalisi. Sehingga nama yang dimajukan sebagai Capres dan Cawapres adalah nama yang disetujui oleh semua partai.
Pasangan Jokowi JK 2014 lalu adalah contohnya. Jokowi bukan ketua umum partai, JK malah bukan kader partai koalisi, bahkan partainya, Golkar, berkoalisi dengan Prabowo Hatta. Tetapi pada akhirnya Jokowi JK bisa maju sebagai Capres Cawapres karena semua partai setuju dengan dua nama ini. PDIP, PKB, Hanura dan Nasdem sepakat untuk mendukung Jokowi JK. Andai pasangannya Jokowi Muhaimin, pasti Hanura dan Nasdem tidak setuju. Begitu juga jika Jokowi Surya Paloh, pun PKB tidak akan setuju. Apalagi kalau Jokowi Puan Maharani, semua partai koalisi mungkin tidak akan mau berkoalisi karena calonnya dari PDIP semua.
Berbeda halnya dengan pasangan Prabowo Hatta, Prabowo ketum Gerindra dan Hatta ketum PAN. Tanpa dukungan partai lain, koalisi Gerindra PAN sudah mencapai 19.38% suara. Tidak cukup syarat Presidential Threshold memang, tapi bagaimanapun Hatta Rajasa punya kekuatan politik besan. Karena kalau partai-partai kecil seperti PKS, PPP dan PBB gagal merapat dan ingin berkoalisi dengan Golkar, maka mengemis suara dari Demokrat adalah jalan terakhir.
Tapi kenyataannya Golkar yang saat itu ingin mengajukan Bakrie, ditolak oleh semua partai, termasuk ketika Bakrie berniat berpasangan dengan Jokowi. Sehingga Golkar yang memperoleh suara 14.75% suara gagal memajukan calonnya, baik sebagai Capres maupun Cawapres. PKS, PPP dan PBB enggan mendukung Bakrie sebagai Capres. Sementara kalau dijadikan Cawapres, dan Capresnya dari PKS atau PPP misalnya, Golkar pasti keberatan. Karena suara mereka lebih dari dua kali lipat suara PKS atau PPP, kok ya mau diberi Cawapres?
Dari proses yang alot ini, memang pada akhirnya selain PDIP dan Nasdem atau Gerindra dan PAN, partai-partai itu (Demokrat, PKB, PPP, Hanura, PKS, PBB) harus memilih ke mana akan berlabuh? Sebab mereka tidak bisa sepakat mengusung calon sendiri.
PKB dan Hanura akhirnya memilih mendukung Jokowi dan mencari wakilnya. Sementara Demokrat, PKS dan PPP mendukung Prabowo Hatta. Dan Golkar yang mustahil untuk tidak ikut dalam perhelatan Pilpres terpaksa harus setuju dan mendukung Prabowo-Hatta.
Jika diperhatikan, semua partai kontra Presidential Threshold adalah partai yang pada 2014 lalu gagal memajukan ketua umumnya, karena terbentur syarat minimal diusung oleh 20% suara partai.
PKB dan partai lain yang saat ini berusaha bijak dan mengajukan opsi jalan tengah dengan menurunkan angka Presidential Threshold menjadi 10% atau 15% saja, adalah langkah paling masuk akal agar 2019 nanti mereka tidak mengalami kesulitan seperti pada tahun 2014. Dengan 0% Presidential Threshold, atau 10%, maka dimungkinkan terjadi koalisi antar dua partai kecil untuk mengusung Capres Cawapres sendiri.
Sementara bagi Gerindra, jika aturannya 0% atau diturunkan 15% saja, mereka bisa tetap mencalonkan Prabowo lagi, bergandengan dengan tokoh lain yang potensial dari kader Gerindra atau tokoh independent seperti Ridwan Kamil atau malah berpasangan dengan Ahok.
Jika Presidential Threshold masih 20-25% suara, maka Prabowo terancam ditolak oleh semua partai, seperti yang dialami oleh Bakrie pada 2014 lalu. Sebab partai lain pasti berpikir realistis dan tidak mau suara pendukungnya muak dengan capres yang sudah gagal berkali-kali. Selain itu PKS, PAN, Hanura, PPP, dan Demokrat bakal menghadapi masalah kesepakatan mengusung nama Capres dan Cawapres. Lihat saja pada 2014 lalu mereka gagal membentuk poros baru, kemudian memilih takluk dengan mendukung Prabowo lagi, yang sudah pernah kalah di Pilpres 2009 dan 2004 lalu bahkan gagal menjadi Capres. Pertanyaannya kemudian, apakah 2019 nanti mereka berani membuat poros baru dan sepakat mengusung Capres Cawapres sendiri, sehingga secara otomatis menggagalkan Prabowo maju lagi. Atau malah kembali tidak sepakat dan kembali mendukung Prabowo yang memiliki kemungkinan besar akan kembali kalah dan mengurangi simpati konstituen masing-masing partai? mengingat Pileg dan Pilpres akan digelar serentak. Sehingga siapapun Capres Cawapres yang diusulkan akan sangat mempengaruhi suara Pileg.
Sehingga kalau misal Jokowi harus melawan Prabowo lagi, kemungkinannya Jokowi akan kembali menang, jauh di atas perolehan suara tahun 2014. Sebab dengan catatan prestasi di Solo dan Jakarta saja sudah berhasil membuat Jokowi unggul atas Prabowo, apalagi kalau 2019 nanti setelah Jokowi berhasil, minimal membangun tol lebih banyak dari Soeharto yang 32 tahun berkuasa, atau dua kali lipat dari SBY yang sudah berkuasa 2 periode.
Siapapun Capres Cawapres yang diusung, pengaruhnya tentu kepada partai pendukung. PDIP, Golkar dan Nasdem pasti secara otomatis mendapat limpahan suara dari pendukung Jokowi. Sebaliknya Prabowo, partai-partai pendukungnya dimungkinkan tergerus suaranya, sehingga Demokrat, PKB, Hanura, PPP, PBB, PAN, PKS dan Gerindra harus berbagi suara minoritas.
Inilah kenapa ditiadakannya Presidential Threshold pada 2019 sangat penting bagi mereka. Sebab sejatinya mereka kesulitan mengusung Capres Cawapres ideal, sementara bagi Gerindra, mengusung Prabowo Subianto adalah harga mati.
Dengan ditiadakannya Presidential Threshold, mereka bisa usung Capres Cawapres masing-masing. Karena kalau kalahpun, itu sudah menaikkan nama mereka. Minimal kalau sudah dikenal itu ada kemungkinan diangkat jadi Menteri, siapapun Presidennya nanti. Begitulah kura-kura.

Tidak ada komentar: