Kamis, 12 Juni 2014

" Kampret" bukan suara Prabowo (beda frekwensinya). Kerap Diserang Isu Negatif, Elektabilitas Prabowo-Hatta Justru Melejit

Ahli: Video Prabowo Sebut Kampret Tidak Orisinal  

Kamis, 19 Juni 2014 | 09:54 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Guru besar ilmu komputer Universitas Indonesia Zainal Arifin Hasibuan mengatakan video Prabowo yang mengatakan 'kampret' saat debat calon presiden Ahad, 15 Juni lalu, tidak orisinal. "Ada suara yang disisipkan," kata Zainal saat dihubungi Tempo, Rabu, 18 Juni 2014.

Menurut dia, ada tiga indikator yang dipakai untuk menunjukkan video kampret Prabowo hasil editan. Pertama, ada jeda saat Prabowo mengucapkan 'kampret'. Ia mengamati jarak Prabowo mengucapkan kata yang termasuk umpatan itu dalam waktu yang sangat singkat. "Lazimnya, dia harus ambil napas dulu sebelum," kata dia.

Kalau Prabowo ingin nakal, kata dia, calon presiden dari poros Gerindra itu bisa mengucapkan satu kata umpatan. Misalnya, dalam Bahasa Inggris, 'shit'.

Kedua, ada perbedaan frekuensi suara yang diucapkan Prabowo. Menurut dia inkonsistensi itu terjadi pada detik pertama sebelum dan ketika Prabowo mengucapkan 'kampret'. Kata 'kampret' ditempel sesudah memotong beberapa spektrum bagian yang asli. "Lalu ditempel kata 'kampret'," kata dia.

Ketiga adalah gerak bibir yang tak sama dengan kata yang dikeluarkan. Pada umumnya, seseorang tak mungkin bisa mengucapkan 'kampret' dengan posisi mulut tertutup. "Untuk mengucapkan 'kampret' posisi mulut harus terbuka dulu," kata dia. Saat Prabowo mengucapkan 'kampret' mulut dia nampak tertutup. "Dekat dengan mikrofon, kecil kemungkinan dia bisa bilang 'kampret'."

Sebelumnya, sebuah video yang beredar di Youtube mengungkap calon presiden dari koalisi Gerindra, Prabowo Subianto, yang tertangkap kamera mengumpat di forum debat calon presiden II pada Ahad malam, 15 Juni 2014.

Prabowo menyebut 'kampret' ketika ditanyai soal evaluasi Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) oleh rivalnya, Joko Widodo. 'Kampret' muncul pada sesi ketiga debat dengan tema perekonomian dan kesejahteraan sosial itu.

Rekaman Prabowo tersebut masih bisa didengar dari rekaman video di YouTube. Salah satunya melalui video yang diunggah akun Airin Livia yang berjudul "Prabowo Tidak Menguasai TPID Debat Capres Jokowi vs Prabowo 15 Juni 2014". Pada video yang sudah ditonton lebih dari 30 ribu kali itu, ucapan Prabowo terdengar pada detik ke-39. Dalam video lengkap Metro TV di Youtube, ucapan itu muncul pada menit ke-59 detik ke-40 atau di video TV One di YouTube pada menit ke-54 detik ke-50.

Pemandu debat, Ahmad Erani Yustika, kemudian mempersilakan Prabowo untuk menjawab. Prabowo yang berbicara menggunakan mikrofon dan duduk di kursi menjelaskan bahwa dirinya tidak menguasai setiap singkatan. Sejurus kemudian, Prabowo memalingkan wajah ke kiri sambil berucap lirih, "Kampret," dengan sedikit senyum. (Baca: Tanya Kepanjangan TPID, Prabowo Dikritik Tweeps)

Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan kampret sebagai kelelawar kecil pemakan serangga atau biasa disebut Microchiroptera. Dalam Bahasa Indonesia, kata kampret kerap diucapkan sebagai ungkapan kegagalan atau kecewa.

MUHAMMAD MUHYIDDIN | ANTON WILLIAM
Jawab Atasan Prabowo Saat Menjabat Dipertanyakan
Tuesday, 10 June 2014, 22:21 WIB
Prabowo Subianto
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan wakasad Letjen TNI Purn Suryo Prabowo mempertanyakan tanggung jawab atasan Prabowo Subianto dalam kasus penculikan yang dilakukan Kopassus pada 1998.
"Mengapa Jenderal Feisal Tanjung, Jenderal Wiranto, Jenderal Subagio HS dan Jenderal Fachrul Rozi yang merupakan atasan Langsung Letjen Prabowo kok seluruhnya melarikan diri dari tanggung jawab?" katanya dalam keterangan resmi yang diterima ROL, Selasa (10/6).
Menurutnya, Prabowo sudah bersikap ksatria dengan bertanggung jawab pada sidang DKP atas kesalahan yang dilakukan anak buahnya. Bahkan, ia sempat menyampaikan adagium yang menyatakan, 'tidak ada prajurit yang salah, yang salah adalah komandannya'.
"Seharusnya komandan atau atasan Prabowo juga ikut bertanggungjawab. Ini koq malah melarikan diri dari tanggung jawab. Bahkan dengan keji dalam DKP mereka menyampaikan 11 tuduhan," tambah dia.
Tuduhan itu antara lain, Prabowo telah menyalahgunakan wewenang dan pelanggaran prosedur. Seperti pengabaian sistem operasi dan disiplin hukum di lingkungan ABRI.
Kemudian, katanya, mereka malah menyebarkan fitnah bahwa Prabowo dipecat karena telah melakukan pelanggaran HAM berat terkait dengan tuduhan sebagai dalang peristiwa kerusuhan Mei 1998.
"Apa-apaan jenderal seperti ini? Inikan contoh tidak baik buat junior mereka di TNI karena mengajarkan untuk jadi pengecut dan penakut," ungkapnya.
Dalam pandangan Suryo, Prabowo merupakan tentara yang langka di TNI. Yaitu seorang purnawirawan yang berintegritas dan masih tetap memegang teguh Sapta Marga.
Antara lain, memegang teguh disiplin, patuh dan taat kepada pimpinan serta menjunjung tinggi sikap dan kehormatan Prajurit. Prabowo juga dinilai tidak pernah mengingkari sumpah prajurit. Yakni, taat kepada atasan dengan tidak membantah perintah atau putusan dan memegang segala rahasia tentara sekeras-kerasnya.
Sebagai purnawirawan jenderal bintang tiga, Suryo merasakan tekanan psikis yang dahsyat terhadap Prabowo oleh para seniornya. Khususnya pada Senin (9/6) malam saat debat capres yang diselenggarakan KPU.
"Saya sangat sedih dan malu melihat para purnawirawan yang hadir dalam acara debat itu, yang tanpa malu menunjukkan kesombongannya dengan menggunakan pet bintang 4 untuk mengintimidasi Prabowo secara psikis. Saya akui bahwa mereka berhasil membuat Prabowo geram, sehingga terlihat konsentrasi Prabowo sempat terganggu saat berdebat, karena dia berupaya menahan emosinya yang dipermainkan secara visual oleh para seniornya," ungkapnya.
Suryo pun menyampaikan pesan terbuka kepada para atasan Prabowo. "Kebenaran boleh saja kalah jenderal, tetapi kebenaran tidak pernah salah," tuturnya.

Surat Pemecatan Beredar, Prabowo Harusnya Didiskualifikasi

Kamis, 12 Juni 2014 - 13:08 wib | Rizka Diputra - Okezone
Surat Pemecatan Beredar, Prabowo Harusnya Didiskualifikasi Prabowo Subianto (Foto: Dok. Okezone) JAKARTA - Beredarnya surat Dewan Kehormatan Perwira (DKP) yang merekomendasikan pemecatan Prabowo Subianto dari militer mengundang reaksi beragam. Sejumlah kalangan menilai surat tersebut sejatinya menjadi kriteria layak atau tidaknya Prabowo sebagai calon presiden.

Terlebih keaslian surat DKP tersebut sudah terkonfirmasi melalui berbagai pernyataan dari beberapa pelaku utama DKP.

“Isi surat tersebut secara gamblang menjelaskan latar belakang serta kronologis mengapa Prabowo harus diberhentikan dari Dinas Keprajuritan. Bahkan dengan tegas poin-poin yang dinyatakan tindakan-tindakan indisipliner prajurit Prabowo telah mencemarkan nama baik Kopassus, TNI AD, ABRI, dan bangsa Indonesia,” kata inisiator Asosiasi Pengacara Pengawal Konstitusi (APPK), Ridwan Darmawan, di Jakarta, Kamis (12/6/2014).

Dia pun menyoroti pernyataan sejumlah elite tim pemenangan pasangan Prabowo-Hatta yang menyatakan bahwa mantan Presiden RI, BJ Habibie memberhentikan Prabowo dengan hormat. Menurutnya, harus dipahami konteks situasi politik saat itu sehingga Habibie mengeluarkan Keppres dengan klausul diberhentikan secara hormat itu.

“Ini saya kira sudah lebih dari cukup untuk menunjukkan fakta sebenarnya, bahwa apakah Prabowo diberhentikan secara hormat atau tidak hormat," ucapnya.

Ridwan menjelaskan, Habibie saat itu dipersonifikasikan sebagai pemimpin lanjutan dari Orde Baru Soeharto. Sehingga tak heran saat itu banyak mahasiswa menolak dan meminta dia mundur dari jabatannya. Dalam konteks itu, lanjutnya, Habibie tentu tengah berada dalam kondisi membutuhkan dukungan untuk stabilitas pemerintahannya yang baru seumur jagung.

Apabila Habibie mengambil putusan pemecatan untuk Prabowo, tentu akan menuai badai lebih besar karena dia bisa tak didukung siapa-siapa.

“Nah jika demikian, setelah publik tahu apa sesungguhnya alasan pemecatan Prabowo, lewat dokumen DKP terjawab sudah Prabowo tidak layak lolos capres,” ujarnya.

APPK sebelumnya sudah mengadukan Komisi Pemilihan Umum (KPU) ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) karena tidak melaksanakan tugasnya sesuai Undang-undang saat memeriksa berkas pendaftaran bakal pasangan capres-cawapres, terutama berkas Prabowo Subianto.

APPK berpandangan, KPU melakukan klarifikasi kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) terkait hasil penyelidikan atas Prabowo perihal dugaan pelanggaran HAM menjelang reformasi 1998. Selain itu, KPU diharap mengklarifikasi Mabes TNI terkait surat pemecatan Prabowo dari dinas kemiliteran.

Kewajiban KPU melakukan klarifikasi dimandatkan dalam pasal 17 ayat 2 Peraturan KPU Nomor 15 Tahun 2014. Sementara berdasarkan Pasal 5 huruf i Undang-undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, menyatakan salah satu syarat calon presiden adalah tidak pernah melakukan perbuatan tercela. (put)

Syamsu Djalal: Prabowo Juga Harus Masuk Mahkamah Militer

Rabu, 11 Juni 2014 | 10:29 WIB
TRIBUN / DANY PERMANA Calon presiden Prabowo Subianto menghadiri acara Deklarasi Piilpres Berintegritas dan Damai di Jakarta, Selasa (3/6/2014). Acara yang diselenggarakan Komisi Pemilihan Umum tersebut menandai dimulainya masa kampanye Pilpres dari 4 Juni sampai 5 Juli.

JAKARTA, KOMPAS.com — Mantan Komandan Pusat Polisi Militer Mayor Jenderal TNI (Purn) Syamsu Djalal menilai, seharusnya Prabowo Subianto dibawa ke Mahkamah Militer (Mahmil) sebagai aktor intelektualis dari kasus penculikan para aktivis pada 1998. Menurut dia, tidak adil jika hanya para prajurit yang diadili di Mahmil, sementara Prabowo selaku Komandan Jenderal Kopassus ketika itu hanya dibawa ke Dewan Kehormatan Perwira (DKP).
"Itu yang lucu, kok enggak semuanya? Masa anak buah aja. Kasihan dong anak buah, komandan harus tanggung jawab. Kalau anak buah di Mahmil, komandannya juga di Mahmil. Kan lucu, anak buahnya masuk Mahmil, otaknya yang melakukan masuk ke DKP," kata Syamsu dalam wawancara dengan Kompas TV, Selasa (10/6/2014) malam.

Syamsu menjelaskan, ketika itu Polisi Militer (PM) hanya mengusut kasus penculikan yang dilaporkan. PM memeriksa semua aktivis yang kembali, seperti Pius Lustrilanang dan Desmond J Mahesa. Hasilnya, kata dia, ada cukup bukti bahwa Prabowo melakukan tindak pidana.
"Cukup bukti, dari bukti itu kami rekomendasi harus diadili di peradilan militer," kata Syamsu.
Syamsu menambahkan, rekomendasi itu disampaikan kepada Panglima ABRI. Kewenangan pihaknya hanya sampai rekomendasi tersebut. Namun, nyatanya Prabowo tidak dibawa ke Mahmil.
Mantan Wakil Panglima ABRI Letnan Jenderal (Purn) Fachrul Razi selaku Wakil Ketua DKP ketika itu mengatakan, pihaknya saat itu sepakat untuk tidak membawa Prabowo ke Mahmil dengan berbagai pertimbangan.
"Menurut saya dan teman-teman yang mungkin disetujui juga oleh Pangab, ingin ditutup masalah itu sampai tingkat ini. Itu yang terjadi," kata Fachrul dalam wawancara yang sama.
Selain itu, lanjutnya, keputusan DKP ketika itu juga tidak menggunakan kata-kata "pemecatan", tetapi "pemberhentian dari dinas keprajuritan".
"Pertimbangannya, pada saat itu beliau masih mantu Pak Harto. Alangkah tidak elok kalau kita sebut kata-kata seperti itu sehingga teman-teman sepakat pakai kata pemberhentian dari dinas keprajuritan," ucap Fachrul.
Sebelumnya, surat keputusan DKP yang dibuat pada 21 Agustus 1998 beredar di media sosial. Surat berklasifikasi rahasia itu ditandatangani para petinggi TNI kala itu, salah satunya Fachrul sebagai Wakil Ketua DKP. (baca: Pimpinan DKP Benarkan Surat Rekomendasi Pemberhentian Prabowo dari ABRI)
Di empat lembar surat itu tertulis pertimbangan atas berbagai pelanggaran yang dilakukan Prabowo. Tindakan Prabowo disebut tidak layak terjadi dalam kehidupan prajurit dan kehidupan perwira TNI.
Tindakan Prabowo juga disebut merugikan kehormatan Kopassus, TNI AD, ABRI, bangsa, dan negara. (baca: Fachrul Razi: Saya Tahu Tabiat Prabowo, Kurang Pantas Jadi Presiden)
 
Elektabilitas Prabowo-Hatta Justru Melejit
Kamis, 12 Juni 2014 | 11:22 WIB
TRIBUNNEWS/HERUDIN Spanduk bergambar mantan Presiden Soeharto terpasang di posko Djoko Santoso Center 328 di Jakarta Pusat, saat deklarasi mendukung capres-cawapres Prabowo-Hatta Rajasa di Jakarta Pusat, Senin (2/6/2014). Mantan Panglima TNI, Jenderal Purnawirawan Djoko Santoso menyatakan organisasi masyarakat di bawah naungannya dapat menghantarkan Prabowo-Hatta memenangi pilpres Juli mendatang.
JAKARTA, KOMPAS.com — Beredarnya isu-isu miring yang dialamatkan pada pasangan capres-cawapres nomor urut satu, Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa, tidak lantas menurunkan elektabilitas mereka.

Hasil survei yang dihimpun Nurjaman Center for Indonesian Democracy (NCID) dari Fokus Survei Indonesia (FSI), Survei dan Polling Indonesia (SPIN), dan Lembaga Survei Indonesia (LSI) menunjukkan bahwa Prabowo-Hatta unggul.

Dalam siaran pers yang diterima Kompas.com, Kamis (12/6/2014), Direktur Eksekutif NCID Jajat Nurjaman mengatakan, elektabilitas Prabowo-Hatta meningkat karena tim pemenangan Jokowi-JK dianggap kerap memojokkan pasangan tersebut dengan isu-isu sumir. "Sudah mulai bosannya masyarakat dengan gaya pencitraan yang dilakukan pasangan Jokowi-JK, serta cara tim suksesnya yang cenderung selalu memojokkan pasangan lain," kata Jajat.

Hasil survei FSI menunjukkan Prabowo-Hatta unggul dengan 45,7 persen, sedangkan Jokowi-JK memperoleh 45,2 persen. Dalam survei SPIN, Prabowo-Hatta memperoleh 44,9 persen dan Jokowi-JK 40,1 persen. Sementara itu, berdasarkan survei LSI, Prabowo-Hatta unggul di wilayah Banten dan DKI Jakarta dengan 35 persen, sedangkan Jokowi JK 26,25 persen.

Sementara itu, dalam survei lain yang juga dianalisis oleh NCID, yakni Populi Center dan Pusat Data Bersatu (PDB), Jokowi-JK lebih unggul. Dalam survei Populi Center, Jokowi-JK memperoleh 47,5 persen, sedangkan Prabowo-Hatta dengan 36,9 persen. Dalam survei PDB, Jokowi-JK unggul dengan 32,2 persen dan Prabowo-Hatta 26,5 persen.

Budi Purnomo dari Media Tim Kampanye Nasional Prabowo-Hatta mengapresiasi dukungan masyarakat yang tidak terpengaruh pada kampanye hitam yang diembuskan untuk menjatuhkan Prabowo-Hatta. Menurut Budi, masyarakat dapat melihat komitmen timnya untuk melakukan kampanye damai.

"Kami terutama sangat bersyukur bahwa di tengah-tengah begitu banyak tudingan terhadap kami mengenai kampanye hitam yang menghantam kami, ternyata masyarakat tidak terpancing dengan isu-isu yang sengaja diciptakan untuk menjatuhkan Prabowo-Hatta," ujar Budi.

Tidak ada komentar: