Kamis, 15 Januari 2015

Syafii Maarif: Jokowi akan membatalkan pelantikan Budi, DPR sudah meloloskan......tidak dilantik? “Jokowi Jangan Ikut-Ikutan Buta Hukum”?

Megawati dan Pimpinan Parpol KIH Temui Jokowi di Istana Merdeka

Rabu, 4 Februari 2015 | 06:55 WIB
Kompas.com/SABRINA ASRIL Koalisi pendukung Jokowi-Jusuf Kalla berkumpul untuk membahas paket pimpinan Majelis Pemusyawaratan Rakyat (MPR) di kediaman Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri, Minggu (5/10/2014).
JAKARTA, KOMPAS.com - Para pimpinan partai politik pendukung Joko Widodo-Jusuf Kalla yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Hebat menemui Presiden Joko Widodo, Selasa (3/2/2015) sore, di Istana Merdeka, Jakarta. Pertemuan itu juga dihadiri Wakil Presiden Jusuf Kalla.

Mengutip Harian Kompas, 4 Februari 2015, hadir pula dalam pertemuan itu Ketua Umum DPP PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri, Sekretaris Jenderal Partai Nasdem Patrice Rio Capella, Ketua Umum Partai Hanura Wiranto, Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa Muhaimin Iskandar, Ketua Umum Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia Sutiyoso, serta Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan hasil Muktamar Surabaya M Romahurmuziy.

Masih mengutip Kompas, para petinggi parpol KIH ini datang sekitar pukul 16.30 WIB dan meninggalkan Istana melalui pintu Wisma Negara pukul 17.45 WIB.Jusuf Kalla membenarkan pertemuan itu. ”Itu pertemuan rutin KIH tiap bulan,” ujarnya.

Belum diperoleh informasi apakah pertemuan tersebut juga membahas soal kelanjutan pencalonan Komjen Budi Gunawan sebagai Kepala Polri.

Sepanjang hari kemarin, Presiden Jokowi menerima kedatangan sejumlah tokoh. Mereka di antaranya, Ketua Majelis Ulama Indonesia Din Syamsuddin dan mantan Kepala Badan Intelijen Negara, Hendropriyono.

Din mengatakan, MUI mendukung penuh Presiden untuk mengambil langkah segera terkait pencalonan Budi sebagai Kepala Polri serta ketegangan yang sedang terjadi antara KPK dan Polri. Dengan demikian, masalah itu tidak berkembang menimbulkan pro dan kontra di masyarakat.

”Tadi kami sangat gembira mendengar isyarat bahwa Presiden akan mengambil langkah- langkah yang tepat dan cepat,” ujar Din, didampingi sejumlah pengurus MUI, seusai bertemu Presiden, di Istana Merdeka, Jakarta.

MUI mengimbau masyarakat luas menahan diri dalam menyikapi persoalan ini agar tidak terjebak dalam perpecahan yang hanya akan merugikan bangsa Indonesia. Dia berharap semua pihak memiliki komitmen yang sama, mendorong penegakan hukum dan mendorong pemberantasan korupsi.

Sementara itu, Hendropriyono tak berkenan memberikan pernyataan terkait pertemuannya dengan Jokowi.

Menjelang petang, beredar informasi bahwa Presiden Jokowi menghubungi Ketua Tim Independen untuk Konflik KPK-Polri, Syafii Maarif. Berdasarkan informasi tersebut, kepada Syafii, Jokowi mengatakan akan membatalkan pelantikan Budi. Akan tetapi, hingga pagi ini, Syafii belum berhasil dihubungi untuk mengkonfirmasi kebenaran informasi tersebut.

Editor : Inggried Dwi Wedhaswary

Budi Gunawan Dilantik Besok? Jokowi...  
Komjen Budi Gunawan melambaikan tangan didalam lift seusai Rapat Paripurna di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, 15 Januari 2015. TEMPO/Dhemas Reviyanto
TEMPO.CO,
Jakarta - Presiden Joko Widodo akan menjelaskan nasib Kepala Kepolisian RI terpilih, Komisaris Jenderal Budi Gunawan. Beredar kabar bahwa Budi akan dilantik Jokowi besok, 26 Januari 2015. "Akan saya jelaskan nanti. Nanti, ya," ujar Jokowi seusai blusukan di Blok A Pasar Tanah Abang, Jakarta Pusat, Ahad, 25 Januari 2015. (Baca: KPK Vs Polri, Jokowi Disorot Media Asing)

Pelantikan Budi Gunawan ditunda Jokowi karena ajudan Presiden Megawati Soekarnoputri 2001-2004 tersebut ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Budi diduga menerima suap dan gratifikasi. Jokowi kemudian menunjuk Komisaris Jenderal Badrodin Haiti sebagai Pelaksana Tugas Kapolri. (Baca: ''Ada Pembentukan Satgas-Satgas Liar di Polri'')

Sejak Budi Gunawan ditetapkan sebagai tersangka, serangan ke KPK dimulai. Serangan pamungkas terjadi pada Jumat, 23 Januari 2015, ketika penyidik Bareskrim Mabes Polri menangkap Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto. Polisi menetapkan Bambang sebagai tersangka karena meminta saksi memberikan keterangan palsu dalam persidangan sengketa pilkada Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, pada 2010 di Mahkamah Konstitusi. (Baca: Cara Bambang KPK Buktikan Tak Bersalah)

Keesokan harinya, menyusul pimpinan KPK lain yang dilaporkan ke Bareskrim Mabes Polri, yakni Adnan Pandu Praja. Adnan dituduh menguasai saham milik PT Daisy Timber secara ilegal saat masih menjadi kuasa hukum perusahaan kayu tersebut pada 2006. (Baca: Adnan Pandu: Sekarang Giliran SayaTIKA PRIMANDARI


“Jokowi Jangan Ikut-Ikutan Buta Hukum”

Direktur Pusat Advokasi dan Pengawasan Penegakan Hukum (PAPPH) Windu Wijaya mengatakan jika Presiden Joko Widodo (Jokowi) tetap melantik Budi Gunawan yang sudah ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai kapolri maka Jokowi sudah ikut-ikutan kelompok yang buta hukum.

“Jika jokowi terus melanjutkan rencana pelantikan Komjen BG maka Jokowi juga buta hukum,” ujarnya dalam siaran pers yang diterima Hukumonline.com, Kamis (15/1).

Windu menyatakan bahwa persetujuan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan dukungan Jusuf Kalla dan Surya Paloh untuk Budi Gunawan sebagai Kapolri adalah sebuah langkah buta hukum. “PAPPH ingin menyatakan bahwa persetujuan DPR dan pembelaan elit politik terhadap Komjen BG menunjukan bahwa mereka adalah orang-orang yang buta hukum,” ujarnya.

“Mengapa buta hukum? Karena mereka adalah pihak-pihak yang menyetujui dan membela Komjen BG tidak memiliki kemampuan melihat proses hukum yang akan dijalani oleh Komjen BG sehubungan dengan penetapan yang bersangkutan sebagai tersangka oleh di lembaga pimpinan Abraham Samad,” jelasnya.

Secara yuridis, lanjut Windu, KPK tidak berwenang untuk mengeluarkan Surat Perintah Pemberhentian Penyidikan (SP3), sehingga dapat dipastikan status Komjen BG akan pasti naik level menjadi seorang terdakwa dan diadili. Apalagi, track record KPK yang kerap menahan para tersangka juga sudah bisa dipastikan akan dilakukan terhadap BG.

“Itu artinya Komjen BG dipastikan hanya akan disibukan untuk mengurusi persoalan hukum pribadi yang bersangkutan di KPk dan citra polri sebagai institusi penegak hukum semakin tercoreng,” pungkas.
Senin, 19 Januari 2015

Jokowi Dinilai Merusak Sistem Ketatanegaraan

PAPPH mempertanyakan undang-undang mana yang digunakan Jokowi sebagai dasar hukum untuk melakukan penundaan pelantikan Budi Gunawan.
Meski Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menunda pelantikan Komjen Pol Budi Gunawan sebagai Kapolri dan menetapkan Komjen Pol Badrodin Haiti sebagai Pelaksana Tugas Kapolri, masalah belum selesai sampai di situ. Pusat Advokasi dan  Pengawasan Penegakan Hukum (PAPPH) menilai kebijakan Jokowi tersebut malah membuat rakyat kembali gigit jari.

“Kebijakan Jokowi hanya tersebut membuat negara tambah kacau,” ujar Direktur Pusat Advokasi dan Pengawasan Penegakan Hukum (PAPPH), Windu Wijaya.

Windu mengatakan bahwa rakyat jelas menginginkan agar Jokowi membatalkan pelantikan Budi Gunawan sebagai Kapolri, bukan justru menunda. Menurutnya, keputusan Jokowi tersebut telah merusak sistem ketatanegaraan. Dia mempertanyakan undang-undang mana yang digunakan Jokowi sebagai dasar hukum untuk melakukan penundaan. Sebaliknya, Jokowi akan dicap sebagai pemimpin yang telah menyahgunakan kewenangan.

“Rusak sistem ketatanegaraan kalau Jokowi mengelola bangsa seperti ini,” cetusnya.

Windu menjelaskan, sekalipun Jokowi bersikeras untuk mengangkat Komjen Budi Gunawan menjadi Kapolri maka secara yuridis sesuai dengan UU No.2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, mengharuskan presiden Jokowi untuk menghentikan kapolri sementara karena melanggar sumpah jabatan. Dia mengingatkan bahwa perbuatan yang disangkakan oleh KPK kepada Komjen Budi Gunawan masuk dalam kategori melanggar sumpah jabatan.

“Karena itu, penundaan bukanlah solusi. Jalan keluar terbaik adalah Jokowi harus membatalkan Komjen Budi Gunawan sebagai kapolri dan mengajukan nama calon kapolri baru ke DPR,” ujarnya.

Ketua DPP Gerindra Bidang Advokasi, Habiburokman, berpendapat keputusan Jokowi menunjuk  Badrodin Haiti sebagai Plt Kapolri secara jangka pendek mungkin mampu meredakan ketegangan. Namun, keputusan tersebut  sebenarnya kurang tepat dan justru  bermasalah.  Ada tiga alasan yang dipaparkan Habiburokhman mengapa keputusan tersebut bermasalah.

Pertama, alasan penunjukan Pelaksana Tugas Kapolri yang tidak tepat. Menurut Pasal 11 ayat (5) UU tentang Kepolisian, dalam keadaan mendesak Presiden dapat memberhentikan sementara Kapolri dan mengangkat pelaksana tugas Kapolri dan selanjutnya dimintakan persetujuan DPR. Namun, menurut penjelasan pasal tersebut yang dimaksud dengan "dalam keadaan mendesak" ialah suatu keadaan yang secara yuridis mengharuskan presiden menghentikan sementara Kapolri karena melanggar sumpah jabatan dan membahayakan keselamatan negara.

“Di sinilah letak permasalahannya, Kapolri Sutarman sama sekali tidak melanggar sumpah jabatan dan juga tidak membahayakan keselamatan negara, sehingga  secara yuridis tidak tepat jika ia diberhentikan dan Presiden menunjuk seorang Plt,” katanya.

Kedua, pidato Jokowi yang menyebut Badrodin Haiti akan melaksanakan tugas dan wewenang Kapolri. Menurut Habiburokhman, pelimpahan tugas dan sekaligus wewenang ini melampaui apa yang diatur dalam  UU Kepolisian. Secara jelas istilah yang disebut oleh Pasal 11 ayat (5) UU Kepolisian, hanyalah “Pelaksana Tugas“ dan bukan “Pelaksana Tugas dan Wewenang”. Padahal, “tugas” dan “wewenang” Kapolri adalah dua hal yang sangat berbeda.

Ketiga, Jokowi tidak menyebutkan secara jelas jangka waktu penundaan.Bila penundaan tersebut dilakukan hingga proses hukum Budi Gunawan selesai dan dia diputus tidak bersalah oleh pengadilan maka penundaan ini paling tidak akan berlaku selama satu tahun enam bulan.

Perlu digarisbawahi, kata Habiburokhman, bahwa proses penyidikan di KPK tidak mengenal adanya Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). Artinya, kasus ini akan terus bergulir ke persidangan Pengadilan Tipikor, lalu banding ke Pengadilian Tinggi hingga berkekuatan hukum tetap di  Mahkamah Agung.

“Mengacu pada persidangan kasus-kasus Tipikor terdahulu, rata-rata satu perkara  selesai sampai tingkat kasasi paling cepat satu tahun enam bulan,” ujarnya.

Lebih lanjut, Habiburokhman mengingatkan bahwa banyak sekali masalah yang harus diselesaikan seorang Kapolri. Namun karena sifatnya sementara, secara umum seorang Plt Kapolri tidak dapat melaksanakan semua portofolio yang diberikan pada jabatannya itu. Menurutnya, penunjukan hanya dilakukan demi kelancaran kegiatan administrasi sehari-hari.

Jokowi Lecehkan DPR

Jokowi Lecehkan DPR
Jokowi Lecehkan DPR
JAKARTA- DPR menyetujui calon Kapolri yang diajukan Presiden Joko Widodo (Jokowi), Komjen Budi Gunawan. Indonesia Police Watch (IPW) mendesak agar Jokowi segera melantik Budi Gunawan untuk menduduki posisi orang nomor satu di Mabes Polri tersebut.
"Rapat paripurna DPR menyetujuinya, tidak ada pilihan lagi bagi Kepala Negara, selain melantik Komjen Budi Gunawan sebagai Kapolri baru menggantikan Jenderal Sutarman," kata Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta S Pane, Jumat (16/1/2015).
Menurut Neta, bila Jokowi tak melantik Budi Gunawan sebagai Kapolri, hal itu sama saja melecehkan DPR. Sebab, Budi Gunawan merupakan calon yang diajukan oleh Jokowi. "Presiden Jokowi telah melecehkan keputusan DPR. Presiden bisa diinterpelasi DPR
karena dianggap melecehkan DPR yang sudah menyetujui usulan Presiden tentang pemberhentian dan pengangkatan Kapolri baru," ungkapnya.

Terkait penetapan Budi Gunawan sebagai tersangka kasus gratifikasi, kata Neta, sebaiknya Jokowi harus bersikap melindungi Budi Gunawan yang merupakan calon yang diusulkannya. "IPW berharap Jokowi tidak ragu-ragu melantik Budi Gunawan sebagai Kapolri. Jokowi harus melindungi dan mendukung penuh Kapolri pilihannya," katanya.
Sebab, menurut Neta, penetapan Budi Gunawan sebagai tersangka, cacat hukum. "KPK terlalu memaksakan kehendak dalam melakukan kriminalisasi dan rekayasa kasus," katanya.
Selain itu, Neta meminta agar Jokowi segera menetapkan Pelaksana Tugas (Plt) Kapolri bila ingin menunda pelantikan Budi Gunawan. "Sebab, dengan keluarnya surat DPR tertanggal 15 Januari 2015 tentang persetujuan pemberhentian dan pengangkatan Kapolri, sejak itu Jenderal Sutarman sudah selesai masa tugasnya sebagai Kapolri. Artinya, saat itu terjadi kekosongan jabatan Kapolri. Untuk itu perlu diangkat Plt," simpulnya.

Jokowi Tunda Pelantikan Budi Gunawan sebagai Kapolri, Bukan Membatalkan

Jumat, 16 Januari 2015 | 20:21 WIB
TRIBUNNEWS/DANY PERMANA Calon Kapolri Komjen Pol Budi Gunawan mengikuti uji kelayakan 

JAKARTA, KOMPAS.com
- Presiden Joko Widodo memutuskan untuk menunda pelantikan Komisaris Jenderal Polisi Budi Gunawan sebagai Kepala Polri. Presiden tidak membatalkan penunjukan Budi sebagai Kapolri.
Hal itu disampaikan oleh Jokowi dalam jumpa pers di Istana Kepresidenan, Jumat (16/1/2015) malam. Presiden menyatakan, mulai sore ini jabatan Kapolri tidak lagi dipegang oleh Jenderal (Pol) Sutarman. Sebagai gantinya, Wakil Kepala Polri Komisaris Jenderal (Pol) Badrodin Haiti akan melaksana tugas, wewenang, dan tanggung jawab Kapolri.
"Berhubung Komisaris Jenderal Polisi Budi Gunawan sedang menjalani proses hukum, maka kami pandang perlu untuk menunda pengangkatan sebagai Kepala Kepolisian RI. Jadi menunda, bukan membatalkan, ini yang perlu digarisbawahi," kata Jokowi.


Penulis: Sabrina Asril, Indra Akuntono
Editor : Laksono Hari Wiwoho
Kamis, 15/01/2015 11:02 WIB,Bagus Prihantoro Nugroho - detikNews
Jakarta - Komisi III DPR RI telah meloloskan Komjen Budi Gunawan sebagai calon tunggal Kapolri dan diparipurnakan pada hari ini. Jika Budi yang merupakan tersangka rekening gendut KPK diloloskan DPR, akankah Presiden Jokowi melantiknya?

"Kita tunggu (Paripurna DPR)," kata Jokowi usai memberi sambutan di Hotel Borobudur, Jl Lapangan Banteng, Jakarta Pusat, Kamis (15/1/2015).

Komisi III merampungkan fit and proper test Budi Gunawan pada Rabu (14/1) dan diterima semua fraksi kecuali Fraksi Partai Demokrat. Padahal sehari sebelumnya KPK telah menetapkan Budi sebagai tersangka.

"Jawabannya, ditunggu," jawab Jokowi ketika ditanya penetapan status tersangka Budi Gunawan.

Dia menegaskan masih menunggu keputusan Paripurna DPR sebelum menjawab soal pelantikan Kapolri. Rapat paripurna DPR sendiri sampai saat ini masih berlangsung. KMP sendiri memastikan DPR akan menyetujui calon tunggal Kapolri usulan Jokowi tersebut untuk mengembalikan bola panas ke istana.

Meski Diloloskan DPR, UU Tak Wajibkan Jokowi Segera Lantik Komjen Budi

Hardani Triyoga - detikNews
Jakarta - Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Rabu kemarin secara aklamasi menyetujui Komisaris Jenderal Budi Gunawan sebagai calon Kepala Kepolisian RI. Hari ini nama Komjen Budi akan disahkan di rapat paripurna DPR untuk selanjutnya diserahkan kembali ke Presiden Joko Widodo.

Nama Komjen Budi sebagai calon Kapolri memicu kontroversi. Apalagi Selasa kemarin Komisi Pemberantasan Korupsi telah menetapkan Kepala Lembaga Pendidikan Polri itu sebagai tersangka kasus tindak pidana korupsi.

Wakil Ketua Fraksi NasDem DPR, Johnny G Plate yakin lolosnya Komjen Budi Gunawan sebagai Kapolri tidak memperburuk citra Presiden Jokowi. Dia menegaskan keputusan Komisi III meloloskan Komjen Budi sebagai calon Kapolri harus dihormati.

"Itu kan sudah uji kelayakan. Semua sudah tahu. DPR lewat prosedur resmi dan ikutin surat usulan dari Presiden," kata Johnny kepada wartawan di gedung DPR RI, Kamis (15/1/2015).

Apabila Presiden Jokowi melantik Komjen Budi, maka untuk pertamakalinya ada pejabat negara yang dilantik dalam status tersangka. Namun, setelah rapat paripurna DPR mengesahkan Komjen Budi sebagai calon kapolri keputusan kini di tangan Presiden Jokowi.

Haruskah Presiden Jokowi melantik Komjen Budi?

Undang-undang nomor 2 tahun 2008 tentang Kepolisian Negara RI salah satunya mengatur tata cara pengangkatan calon Kapolri. Ketentuan itu diatur di pasal 11 ayat 1 sampai 8
"Kapolri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat," bunyi pasal 11 ayat 1 UU nomor 2 tahun 2002 seperti dikutip detikcom, Kamis (15/1/2015).

Dalam pasal tersebut tak ada yang mengharuskan Presiden Jokowi segera melantik Komjen Budi meski sudah disetujui oleh DPR. Apabila Presiden menunda pelantikan Komjen Budi sebagai Kapolri, tak ada Undang-undang yang dilanggar.


Berikut ini tata cara pergantian Kapolri menurut pasal 11 UU nomor 2 tahun 2002.

(1) Kapolri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.

(2) Usul pengangkatan dan pemberhentian Kapolri diajukan oleh Presiden kepada Dewan Perwakilan Rakyat disertai dengan alasannya.

(3) Persetujuan atau penolakan Dewan Perwakilan Rakyat terhadap usul Presiden sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus diberikan dalam jangka waktu paling lambat 20 (dua puluh) hari terhitung sejak tanggal surat Presiden diterima oleh Dewan Perwakilan Rakyat.

(4) Dalam hal Dewan Perwakilan Rakyat tidak memberikan jawaban dalam waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), calon yang diajukan oleh Presiden dianggap disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat
 (5) Dalam keadaan mendesak, Presiden dapat memberhentikan sementara Kapolri dan mengangkat pelaksana tugas Kapolri dan selanjutnya dimintakan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.

(6) Calon Kapolri adalah Perwira Tinggi Kepolisian Negara Republik Indonesia yang masih aktif dengan memperhatikan jenjang kepangkatan dan karier.

(7) Tata cara pengusulan atas pengangkatan dan pemberhentian Kapolri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), (2), dan (6) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Presiden.

(8) Ketentuan mengenai pengangkatan dan pemberhentian dalam jabatan selain yang dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Kapolri.

Tidak ada komentar: