"Kesan atau kekhawatiran (saya) bahwa Jokowi hanya akan menjadi
'boneka' dari Megawati tercipta karena Jokowi memiliki kepatuhan yang
luar biasa kepada Megawati. Tidak seperti kader Mega yang lain, seperti
Rustriningsih ataupun Risma," kata Agung melalui pesan singkat, Senin
(17/3/2014).
Menurutnya, kepatuhan Jokowi membawa hasil pada elektabilitas PDI-P yang ikut menanjak. Hal ini, dinilai Agung, membuat Mega senang sehingga memilih Gubernur DKI Jakarta itu sebagai calon presiden PDI-P.
"Begitu pula jika Jokowi terpilih jadi presiden. Kekhawatiran dan kesan bahwa Jokowi tidak mandiri dalam membuat keputusan, terutama ketika kepentingan masyarakat luas bertabrakan dengan kepentingan partai atau ketua umum, Jokowi akan lebih memilih kepentingan partai," ujarnya.
Terlebih lagi, posisi Megawati di partai berlambang banteng itu, menurut Agung, sangat kuat dan sulit digoyahkan.
"Dalam konteks ini, Mega adalah sang ratu. Jika Mega bersabda, maka dalam perspektif kekuasaan Jawa sabda itu tidak bisa dibantah. Sabdo Pandito Ratu. Ini juga pertanyaan besar buat Jokowi, apakah ia sosok yang mandiri? Apakah ia sosok nasionalisme tulen ala Bung Karno yang berdikari?" ujar dia.
Agung menilai, ada dua hal yang dapat dilakukan Jokowi agar tidak terus-menerus dianggap sebagai "boneka" Megawati. Pertama, kata dia, Jokowi harus memiliki visi-misi sebagai capres sehingga publik bisa mengontrolnya. Kedua, lanjut dia, dari sekarang Jokowi juga harus berani menyebut nama-nama calon menteri dari kalangan profesional yang tak terikat dengan partai.
"Jika Jokowi berani untuk menampilkan nama-nama calon menteri yang profesional dan nonpartisan, maka bisa dikatakan bahwa Jokowi sedang membangun kabinet mandiri. Namun, jika tidak, ia adalah figur dengan kemandirian yang sangat terbatas, dibatasi oleh Sabdo Pandito Ratu," kata Agung.
Menurutnya, kepatuhan Jokowi membawa hasil pada elektabilitas PDI-P yang ikut menanjak. Hal ini, dinilai Agung, membuat Mega senang sehingga memilih Gubernur DKI Jakarta itu sebagai calon presiden PDI-P.
"Begitu pula jika Jokowi terpilih jadi presiden. Kekhawatiran dan kesan bahwa Jokowi tidak mandiri dalam membuat keputusan, terutama ketika kepentingan masyarakat luas bertabrakan dengan kepentingan partai atau ketua umum, Jokowi akan lebih memilih kepentingan partai," ujarnya.
Terlebih lagi, posisi Megawati di partai berlambang banteng itu, menurut Agung, sangat kuat dan sulit digoyahkan.
"Dalam konteks ini, Mega adalah sang ratu. Jika Mega bersabda, maka dalam perspektif kekuasaan Jawa sabda itu tidak bisa dibantah. Sabdo Pandito Ratu. Ini juga pertanyaan besar buat Jokowi, apakah ia sosok yang mandiri? Apakah ia sosok nasionalisme tulen ala Bung Karno yang berdikari?" ujar dia.
Agung menilai, ada dua hal yang dapat dilakukan Jokowi agar tidak terus-menerus dianggap sebagai "boneka" Megawati. Pertama, kata dia, Jokowi harus memiliki visi-misi sebagai capres sehingga publik bisa mengontrolnya. Kedua, lanjut dia, dari sekarang Jokowi juga harus berani menyebut nama-nama calon menteri dari kalangan profesional yang tak terikat dengan partai.
"Jika Jokowi berani untuk menampilkan nama-nama calon menteri yang profesional dan nonpartisan, maka bisa dikatakan bahwa Jokowi sedang membangun kabinet mandiri. Namun, jika tidak, ia adalah figur dengan kemandirian yang sangat terbatas, dibatasi oleh Sabdo Pandito Ratu," kata Agung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar