Senin, 16 Juni 2014

Politik Anggaran Jokowi Dianggap Otoriter, Berpotensi Tabrak Undang-undang

Minggu, 15 Juni 2014 | 07:49 WIB
Politik Anggaran Jokowi Dianggap Otoriter
Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo (Jokowi), yang juga bakal capres dari PDIP menunjukan surat suara sebelum mencoblosnya di TPS 27 Menteng, Jakarta Pusat (9/4). ANTARA/Fanny Octavianus
TEMPO.CO, Yogyakarta - Anggota Komisi Perhubungan Dewan Perwakilan Rakyat dari Partai Golkar, Gandung Pardiman, menilai konsep politik anggaran yang diusung oleh calon presiden Joko Widodo bakal bertentangan dengan prinsip otonomi daerah. Pasalnya, ada risiko anggaran pemerintah daerah bakal ditekan bila sebelumnya tak maksimal mengelola anggaran.

“Apalagi jika kebijakan pemerintah daerah yang tak sejalan dengan kebijakan pemerintah pusat,” ujar Gandung, saat memberi orasi dalam acara deklarasi relawan pendukung Prabowo Subianto-Hatta Rajasa, Sabtu, 14 Juni 2014. (Baca: Debat Capres, Prabowo Latihan Psikologi)

Ia menanggapi program ekonomi Jokowi yakni penerapan kontrol ketat atas anggaran pemerintah daerah yang tersirat dalam debat calon presiden pertama beberapa waktu lalu. Politik anggaran yang mengusung prinsip reward and punishment ala Jokowi itu bertujuan agar pemerintah daerah dapat memaksimalkan pengelolaan anggaran sehingga benar-benar dirasakan manfaatnya oleh rakyat.

Pengelolaan anggaran secara maksimal sampai lapis terbawah itu diperlukan agar anggaran tidak lagi hanya dinikmati oleh segelintir elite. Politik anggaran ini bisa diterapkan karena alokasi anggaran pusat ke daerah selama ini dominasinya masih cukup besar, yakni mencapai 85 persen. (Baca: Ini Kata Ahli Pemasaran Soal Gaya Kedua Capres)

Nah, konsep Jokowi itu pula yang dinilai otoriter dan sangat berbeda dengan yang dibawa calon presiden lainnya, Prabowo Subianto, yang akan mengandalkan dialog dalam mengatur pemanfaatan anggaran oleh pemerintah daerah. "Prabowo mengutamakan dialog dengan rakyat," kata Gandung.

Sebelumnya, kedua kandidat, Prabowo Subianto-Hatta Rajasa serta Joko Widodo-Jusuf Kalla, telah melakoni debat pertama pada Senin, 9 Juni 2014, dengan tema "Pembangunan Demokrasi, Pemerintahan yang Bersih, dan Kepastian Hukum". Banyak pengamat politik dan ahli komunikasi politik yang menyatakan Jokowi-Jusuf Kalla unggul dalam debat pertama itu.

Debat kedua akan diselenggarakan pada Ahad, 15 Juni 2014 di Hotel Gran Melia, Jakarta, pada pukul 20.00 WIB. Debat ini akan disiarkan secara langsung oleh Metro TV dan streaming oleh Bloomberg TV. Tema yang diusung dalam debat kedua ini yakni "Pembangunan Ekonomi dan Kesejahteraan Sosial".

PRIBADI WICAKSONO
Rabu, 11 Juni 2014 , 20:33:00
JAKARTA -- Koordinator Investigasi Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), Uchok Sky Khadafi mengkritik ide politik anggaran yang dilontarkan calon presiden Joko Widodo (Jokowi) saat debat capres dan calon wakil presiden, Senin (9/10).
Uchok menilai penerapan politik anggaran itu akan melanggar Undang-undang. "Politik anggaran tidak bisa diterapkan karena menyalahi Undang-undang," kata Uchok di Jakarta, Rabu (11/6).
Uchok mencontohkan, alokasi anggaran desa kalau Jokowi tidak setuju maka sudah menyalahi UU Desa.
Dia menambahkan, dalam UU Desa itu telah jelas menyebutkan berapa anggarannya sehingga tidak perlu komando dari pusat.
Uchok juga menilai ide politik anggaran itu hanya bentuk spontanitas. Sebab, kata dia, Jokowi tidak mempelajari UU yang berlaku sebelum menggagas ide tersebut.
"Jokowi spontan tanpa berkaca pada payung hukum," jelasnya.
Ia memaparkan, penerapan politik anggaran akan terus menuai kritikan tajam, sebelum akhirnya terjadi pembangkangan daerah. Selain itu, kata Uchok, bukan hanya pembangkangan daerah, politik anggaran juga berpotensi memicu disintegrasi.
Menurutnya, daerah tidak akan patuh kepada pusat. "Pembangunan daerah bisa terhambat kalau prioritas selalu di pusat," jelasnya.
Dia mengatakan, disintegrais akan menjadi dampak jangka panjang penerapan politik anggaran tersebut. "Kalau terus-terusan dihambat, pasti marah," tuntasnya. (boy/jpnn)

Tidak ada komentar: