Rabu, 01 Oktober 2014

Siapa sutradara diundangkan Pilkada melalui DPRD, Siapa yang salah? RUU dari pemerintah ! isu krusialnya apa sih

PKS: Pilkada oleh DPRD Usulan SBY  

PKS: Pilkada oleh DPRD Usulan SBY  
Anggota Timwas Kasus Century Fahri Hamzah menggelar jumpa pers di Gedung Parlemen, Jakarta, (26/11). Tempo/Tony HartawTEMPO.CO, Jakarta - Partai Keadilan Sejahtera berkeras mendukung pemilihan kepala daerah melalui DPRD. Sekjen PKS Fahri Hamzah mengatakan gagasan pemilihan kepala daerah melalui DPRD merupakan usulan Presiden SBY.
"Masalahnya, RUU Pilkada itu, kan, pada awalnya proposal Pak SBY," ujar Fahri Hamzah seusai memberi pembekalan legislator PKS bertajuk "Konsolidasi dan Pengokohan Dakwah Parlemen untuk Pemenangan Pemilu 2019" di Hotel Sahid, Jakarta, Ahad, 21 September 2014.
Anggota Komisi III DPR tersebut mengatakan pembahasan ihwal pilkada--langsung atau tidak langsung--awalnya merupakan usulan SBY setelah mendapat hasil riset dari Kementerian Dalam Negeri. "Lalu muncul Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa," kata dia. Fahri mengatakan RUU Pilkada sebetulnya usulan SBY yang baik untuk kemajuan desa dan ekonomi. (Baca: SBY Dianggap Biang Kemunduran Demokrasi, jika... )

Fahri menegaskan penyelenggaraan pilkada melalui DPRD tidak menyalahi konstitusi. "Konstitusi enggak bilang begitu, kok," kata dia. Fahri menjelaskan konstitusi hanya mengenal pemilihan langsung untuk memilih anggota DPR, DPRD, DPD, presiden dan wakil presiden. "Makanya jangan diputar-putar lagi, enggak demokratis segala macam," kata dia. Pilkada melalui DPRD, menurut Fahri, berdampak baik bagi masyarakat dari segi penghematan anggaran. Oleh karena itu, dia mengatakan Koalisi Merah Putih tetap berpegang kepada prinsip untuk mengubah pilkada menjadi lewat DPRD. "Kami percaya studi Kemendagri itu baik. Terutama setelah ada UU Desa, kami tetap pilih kepala daerah melalui DPRD," kata dia. (Baca juga:
NURIMAN JAYABUANA

SBY dan Ibas Disebut Dalang di Balik Pilkada melalui DPRD

Minggu, 28 September 2014 | 19:08 WIB
HENDRA A SETYAWAN Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrat Edhie Baskoro Yudhoyono.
JAKARTA, KOMPAS.com — Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan anaknya, Edhie Baskoro Yudhoyono (Ibas), disebut sebagai dalang di balik pengesahan Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah yang menyetujui mekanisme pemilihan melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Direktur Eksekutif Lingkar Madani Indonesia, Ray Rangkuti, menilai, SBY dan Ibas selaku petinggi Partai Demokrat sebagai pihak yang paling bertanggung jawab atas lolosnya RUU tersebut. "SBY sendiri dalangnya dengan anaknya yang bernama Ibas. Cari di dalam diri anakmu, di situ dalang terbesar pilkada langsung," kata Ray dalam jumpa pers di Jakarta, Minggu (29/9/2014).

Menurut Ray, pernyataan SBY yang mengaku kecewa atas putusan rapat paripurna yang mengesahkan RUU tersebut hanya drama yang dimainkan. Terlebih lagi, SBY berkata seolah tidak terlibat dalam keputusan anggota Fraksi Demokrat yang walkout dari rapat paripurna penentu RUU Pilkada tersebut.

Sebagian besar anggota Fraksi Demokrat walkout dalam rapat paripurna dengan dalih bahwa opsi ketiganya, yakni pilkada langsung dengan 10 syarat, tak diakomodasi secara penuh dalam draf RUU itu. Dia menilai, jika SBY benar mendukung pilkada langsung, sedianya dia memerintahkan anggota Fraksi Demokrat untuk mementingkan pilkada langsungnya ketimbang 10 syarat.

"Kalau SBY dukung pilkada langsung dengan tulus, mestinya yang didukung dulu pilkada langsungnya baru mendesak 10 poin itu. Tapi, ini justru desak 10 poin dengan mengesampingkan pilkada langsungnya. Demokrat dari awal mendahulukan cabang dan membuang batangnya," tutur Ray.

Mantan Koordiantor Wahana Lingkungan Hidup, Chalid Muhammad, menilai, SBY selaku presiden sebenarnya memiliki wewenang untuk mencabut usulan pilkada melalui DPRD. Usulan pilkada tak langsung tersebut berawal dari pemerintah. Chalid juga menilai keputusan Demokrat untuk walkout dari rapat paripurna tersebut memang sudah direncanakan sejak awal.

"Rommy katakan, 'Saya malah bingung kenapa PDI-P kaget wong kami sudah duga'. Koalisi Merah Putih itu tahu betul ke arah mana jangkar akan dibuang," ujar dia.

Mengenai peran Ibas, Ray menilai mustahil jika Sekretaris Jenderal Partai Demokrat yang juga anggota DPR ini tidak berkomunikasi dengan ayahnya selama rapat paripurna. Ray juga menilai Ketua Fraksi Demokrat Nurhayati Ali Assegaf berkomunikasi dengan SBY selama pengambilan keputusan dalam rapat paripurna meskipun SBY tengah berada di luar negeri.

"Mereka bisa pakai BBM untuk konsultasi apakah sikap kita tetap bertahan atau walkout karena harus diingat mayoritas anggota Demokrat tidak tahu keputusan walkout itu," ucap Ray.

Seperti diketahui, RUU Pilkada dengan model pemilihan melalui DPRD disahkan dalam forum rapat paripurna, Jumat dini hari tadi, melalui voting yang dimenangkan oleh Koalisi Merah Putih. Sebelum voting dilakukan, Demokrat walkout dengan dalih bahwa opsi ketiganya, yakni pilkada langsung dengan 10 syarat, tak diakomodasi secara penuh dalam draf RUU itu.

Ini Isu Krusial RUU Pilkada yang Dibawa ke Sidang Paripurna DPR

Kamis, 25 September 2014 | 06:47 WIB
Kompas.com/SABRINA ASRIL Komisi II DPR menggelar rapat kerja bersama Kementerian Dalam Negeri terkait RUU Pilkada, Rabu (24/9/2014).

JAKARTA, KOMPAS.com — Pembahasan Rancangan Undang-Undang Pemilu Kepala Daerah (RUU Pilkada) tidak menemukan kata sepakat dalam rapat Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat dengan pemerintah, Rabu (24/9/2014).

Proses pengambilan keputusan pun akan dilakukan lewat forum yang lebih besar, yakni sidang paripurna, Kamis (25/9/2014) pagi. Ada tujuh isu krusial dalam RUU inisiatif pemerintah sejak 2010 tersebut. Isu krusial ini telah melewati diskusi alot dan tetap tak mendapati titik temu.

Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi berharap proses pengambilan keputusan pada sidang paripurna bisa memberikan pilihan yang lebih mengerucut. "Semoga nantinya bisa hanya menyisakan (voting untuk) pilkada langsung dan tidak langsung saja," kata dia, kemarin.

Ketua Panitia Kerja RUU Pilkada Abdul Hakam Naja punya harapan serupa dengan Gamawan. Dia berkeinginan isu krusial selain mekanisme pemilihan kepala daerah bisa rampung dalam forum lobi sebelum pemungutan suara (voting) di rapat paripurna. Bila harapan ini tak terjadi, ujar dia, akan ada terlalu banyak varian pilihan dalam pemungutan suara.

Isu krusial RUU PilkadaPersoalan krusial dalam RUU Pilkada yang tak tuntas hingga harus dibawa ke sidang paripurna tersebut dapat dirinci sebagai berikut:

1. Pilkada langsung atau melalui DPRD Perdebatan paling panas terjadi pada isu mekanisme pelaksanaan pemilihan kepala daerah. Tarik ulur dukungan semakin intensif menjelang pelaksanaan sidang paripurna. Pada draf awal, pemerintah langsung mengajukan usul perbaikan atas mekanisme pilkada langsung seperti yang diamanatkan pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004.

Lantaran pilkada langsung dianggap penuh praktik politik uang hingga berujung pada banyaknya kepala daerah yang berperkara hukum, pemerintah pun mengajukan draf pemilihan gubernur dilakukan melalui DPRD, tidak lagi dipilih langsung oleh rakyat. Sementara itu, untuk pemilihan bupati dan wali kota, pemerintah mengajukan usulan pilkada langsung tetap dipertahankan.

Seiring waktu, sejumlah fraksi di parlemen menolak wacana pilkada melalui DPRD ini. Mereka yang menentang adalah Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Fraksi Partai Hanura, dan Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa. Mereka beralasan bahwa kedaulatan rakyat tetap tak bisa dicabut hanya karena ekses negatif pelaksanaan pilkada langsung.

Di sisi lain, kubu pendukung pilkada melalui DPRD masih lebih kuat, yakni Fraksi Partai Golkar, Fraksi Partai Amanat Nasional, Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, dan Fraksi Partai Gerindra.

Adapun Partai Demokrat belakangan memilih berada di wilayah abu-abu dengan menyatakan dukungan terhadap pilkada langsung, tetapi mengajukan 10 syarat. Tak hanya Partai Demokrat, Fraksi PKS juga ternyata berpaling dari yang semula mendukung pilkada langsung, tetapi berbalik menyerukan penolakan.

2. Pemilihan paket atau tunggal

Perdebatan antarfraksi tak hanya sebatas pelaksanaan pilkada langsung atau melalui DPRD, tetapi juga soal usulan pilkada satu paket—memilih kepala daerah dan wakilnya bersamaan—atau pemilihan wakil kepala daerah melalui penunjukan.

Untuk isu ini, lebih banyak fraksi yang mendukung pilkada dilakukan tidak paket atau hanya memilih kepala daerah. Argumentasi yang digunakan kubu ini berkaca dari pelaksanaan pilkada selama ini yang ternyata banyak terjadi pecah kongsi.

Pendukung opsi pemilihan tak sepaket adalah Fraksi Partai Demoktrat, Fraksi Partai Golkar, dan Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P). Pemerintah juga mendukung pelaksanaan pilkada tidak satu paket.

Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi mengklaim bahwa lebih dari 60 persen pasangan kepala daerah dan wakilnya pecah kongsi di tengah jalan sehingga mengganggu jalannya pemerintahan.

Karenanya, pemerintah mengajukan opsi wakil ditunjuk langsung oleh kepala daerah terpilih, dengan latar wakil itu dari pegawai negeri sipil, profesional, ataupun partai politik. Nama itu kemudian diserahkan kepada Menteri Dalam Negeri untuk disetujui.

Hanya ada dua fraksi yang tetap mendukung pilkada satu paket, yakni Fraksi PKS dan Fraksi PAN. Fraksi PKS berdalih ketidakharmonisan antara dua pimpinan daerah sudah seharusnya menjadi tugas partai politik untuk melakukan manajemen konflik. PKS menilai pecah kongsi kepala daerah dan wakilnya jangan dianggap berlebihan.

3. Pilkada serentak atau tidak

Pemerintah awalnya mengusulkan pelaksanaan pilkada dilakukan secara serentak pada 2015 dan 2018. Pada 2015, dilaksanakan pilkada serentak tahap pertama bagi seluruh gubernur, bupati, dan wali kota yang masa jabatannya berakhir pada tahun tersebut.

Pilkada serentak tahap kedua berlangsung 2018 untuk gubernur, bupati dan wali kota yang masa jabatannya berakhir tahun 2016, 2017, dan 2018. Pada 2016 dan 2017, diisi pejabat sampai dengan terpilih kepala daerah definitif pada tahun 2018. Penerapan pilkada serentak ini dinilai bisa menghemat biaya.

Dalam pandangan fraksi pada Rabu malam, hanya Partai Demokrat, Partai Golkar, PDI-P, PKB, dan PKS yang tegas menyatakan dukungan atas pelaksanaan pilkada serentak.

Menurut PKB, pilkada serentak menjadi jalan keluar dari keluhan kelompok penentang pilkada langsung yang dianggap berbiaya mahal, sementara Partai Hanura lebih menekankan pada perlunya pembatasan dana kampanye.

4. Politik dinasti

Pemerintah mengajukan usul agar pencalonan kepala daerah ataupun wakil kepala daerah dilakukan dengan membatasi hubungan kekeluargaan. Di dalam draf yang diajukan pemerintah, terdapat larangan agar istri atau suami, anak, hingga saudara petahana diangkat sebagai kepala daerah atau wakil kepala daerah.

Usulan ini mendapat persetujuan fraksi-fraksi di DPR, tetapi dengan sejumlah versi. Misalnya, Fraksi Partai Golkar, Fraksi PDI-P, dan Fraksi Partai Hanura berpandangan pelarangan cukup sebatas hubungan suami atau istri, sementara untuk anak ataupun saudara tidak boleh dilarang maju sebagai calon kepala daerah.

Usulan pemerintah hanya mendapat dukungan penuh dari Partai Keadilan Sejahtera. Fraksi PKS mendukung pelarangan hubungan kekeluargaan secara keseluruhannya dalam pengajuan nama calon kepala daerah.

5. Pilkada satu putaran

Pemerintah juga mengajukan usulan perlunya dilakukan pilkada satu putaran. Menurut pemerintah, hal ini bertujuan menekan biaya mahal pilkada.

Pada UU yang berlaku sekarang, pilkada dilakukan dua putaran apabila suara tertinggi pasangan calon yang berlaga tak mendapatkan minimal 30 persen suara.

Pemerintah mengusulkan pemenang pilkada adalah peraih suara terbanyak, berapa pun persentasenya, dalam satu kali putaran saja.

Hanya Fraksi PKB yang mendukung penuh pelaksanaan pilkada satu putaran ini dalam pandangan mini fraksi yang dibacakan Rabu petang. Fraksi lain tak terlalu menyoroti isu ini.

6. Uji publik

Uji publik adalah hal baru dalam RUU Pilkada ini. Uji publik dilakukan untuk menyeleksi calon kepala daerah sebelum diajukan oleh partai politik.

Pemerintah berpendapat uji publik ini bukan menentukan lolos atau tidaknya seorang calon, melainkan hanya untuk memenuhi prinsip keterbukaan.

Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi mengaku khawatir apabila uji materi ini dijadikan syarat lolosnya seorang bakal calon, maka akan membuka lagi ruang politik uang dan aksi suap terhadap penguji.

Sebagian besar fraksi pun menolak uji publik dijadikan syarat lolosnya seorang bakal calon. Sebagaimana Gamawan, mereka berpendapat hal itu bisa menjadi arena baru kampanye hitam untuk menjegal calon lain. Hanya Partai Demokrat yang bersikeras agar uji publik perlu dilakukan untuk menentukan lolos tidaknya seorang bakal calon.

7. Penghapusan PPS dan PPK

Wacana ini digulirkan oleh pemerintah untuk memotong jalur birokrasi rekapitulasi suara. Pemotongan prosedur rekapitulasi suara juga dilakukan untuk memangkas ruang-ruang transaksi manipulasi hasil perhitungan suara.

Usulan yang masuk dalam draf usulan pemerintah ini juga tak terlalu disinggung oleh fraksi-fraksi. Fraksi Partai Golkar meminta agar hal-hal yang belum disepakati sebaiknya dibicarakan di forum sidang paripurna.

Tidak ada komentar: