Republika/Yasin Habibi
REPUBLIKA.CO.ID, DENPASAR -- Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini
menyindir program kartu Indonesia sehat (KIS) yang digagas Pemerintahan
Joko Widodo (Jokowi).
Menurut Risma, tanpa menggunakan kartu, warga Kota Surabaya sudah bisa mendapatkan berobat gratis.
Untuk bisa mendapatkan fasilitas berobat gratis, kata dia, warga cukup menunjukkan KTP sebagai warga Surabaya dan melakukan scan sidik jari (finger print) di puskesmas tempat berobat.
"Di Surabaya untuk berobat gratis nggak perlu pake kartu-kartuan. Untuk mencetak jutaan kartu butuh berapa banyak anggaran," ujarnya di Denpasar, Bali, Jumat (14/11).
Untuk memudahkan layanan berobat gratis, terang Risma, pihaknya mendesain program berobat gratis elektronik menggunakan tiga bahasa, yaitu bahasa Indonesia, bahasa Jawa, dan bahasa Madura.
Presiden Joko Widodo di dampingi oleh Ibu Negara Iriana peluncuran
Kartu Indonesia Sehat (KIS) dan Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kantor Pos
Besar, Jakarta Pusat, Senin (3/11/2014). Peluncuran kartu yang di hadiri
oleh Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Puan
Maharani,Menteri Kesehatan Nila F. Moeloek dan menteri Kabinet Kerja
lainya tersebut sebagai pemenuhan janji Jokowi semasa kampanye dulu.
(Warta Kota/Henry Lopulalan)
JAKARTA, KOMPAS.com - Pengadaan "kartu-kartu sakti"
Presiden Joko Widodo--berupa Kartu Indonesia Sehat, Kartu Indonesia
Pintar, dan Kartu Keluarga Sejahtera--dinilai hanya akan jadi pemborosan
negara.
"Yang terpenting adalah programnya, bukan kartunya," tegas politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Ribka Tjiptaning, di Jakarta, Sabtu (15/11/2014). "Cukup satu kartu aja, di mana orang bisa sekolah ditanggung negara, kesehatan, raskin, satu aja. Kalau menurut saya pakai KTP aja juga bisa."
"Saya tidak sepakat dengan (pengadaan) semua kartu itu karena menghamburkan uang negara. Baru satu kartu untuk 400.000 (orang) saja sudah Rp 600-an juga, bagaimana kalau untuk seluruh Indonesia? Berapa miliar?" kecam Ribka.
Sebelumnya, politisi lain PDI-P, Eva Kusuma Sundari, mengatakan, pengadaan kartu sakti Jokowi menggunakan alokasi dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2015 yang telah dibuat pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Menurut Eva, Jokowi belum dapat menentukan postur anggaran karena APBN belum dapat dirombak hingga tahun anggaran berikutnya. "APBN yang kita pakai adalah yang buatan Pak SBY. Gunakan peta-peta yang dibuat Pak SBY, kemudian dimodifikasi," ujar dia.
Sementara itu, Menteri Sekretaris Negara Pratikno menyatakan penerbitan semua kartu itu sama sekali tidak memakan anggaran negara, tetapi memakai dana program tanggung jawab sosial (CSR) sejumlah Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Namun, Pratikno mengatakan penggunaan dana CSR BUMN ini hanya untuk sementara. Untuk tahun berikutnya, kata dia, pengadaan KIS, KIP, dan KKS akan dimasukkan ke dalam APBN. "Tentu saja untuk ke depan, ini akan terkait APBN. Tapi sekarang pakai CSR BUMN," ujar dia.
Menurut Risma, tanpa menggunakan kartu, warga Kota Surabaya sudah bisa mendapatkan berobat gratis.
Untuk bisa mendapatkan fasilitas berobat gratis, kata dia, warga cukup menunjukkan KTP sebagai warga Surabaya dan melakukan scan sidik jari (finger print) di puskesmas tempat berobat.
"Di Surabaya untuk berobat gratis nggak perlu pake kartu-kartuan. Untuk mencetak jutaan kartu butuh berapa banyak anggaran," ujarnya di Denpasar, Bali, Jumat (14/11).
Untuk memudahkan layanan berobat gratis, terang Risma, pihaknya mendesain program berobat gratis elektronik menggunakan tiga bahasa, yaitu bahasa Indonesia, bahasa Jawa, dan bahasa Madura.
Politisi PDI-P Ini Bilang Pengadaan "Kartu-kartu Sakti" Jokowi adalah Pemborosan
Sabtu, 15 November 2014 | 18:36 WIB
"Yang terpenting adalah programnya, bukan kartunya," tegas politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Ribka Tjiptaning, di Jakarta, Sabtu (15/11/2014). "Cukup satu kartu aja, di mana orang bisa sekolah ditanggung negara, kesehatan, raskin, satu aja. Kalau menurut saya pakai KTP aja juga bisa."
"Saya tidak sepakat dengan (pengadaan) semua kartu itu karena menghamburkan uang negara. Baru satu kartu untuk 400.000 (orang) saja sudah Rp 600-an juga, bagaimana kalau untuk seluruh Indonesia? Berapa miliar?" kecam Ribka.
Sebelumnya, politisi lain PDI-P, Eva Kusuma Sundari, mengatakan, pengadaan kartu sakti Jokowi menggunakan alokasi dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2015 yang telah dibuat pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Menurut Eva, Jokowi belum dapat menentukan postur anggaran karena APBN belum dapat dirombak hingga tahun anggaran berikutnya. "APBN yang kita pakai adalah yang buatan Pak SBY. Gunakan peta-peta yang dibuat Pak SBY, kemudian dimodifikasi," ujar dia.
Sementara itu, Menteri Sekretaris Negara Pratikno menyatakan penerbitan semua kartu itu sama sekali tidak memakan anggaran negara, tetapi memakai dana program tanggung jawab sosial (CSR) sejumlah Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Namun, Pratikno mengatakan penggunaan dana CSR BUMN ini hanya untuk sementara. Untuk tahun berikutnya, kata dia, pengadaan KIS, KIP, dan KKS akan dimasukkan ke dalam APBN. "Tentu saja untuk ke depan, ini akan terkait APBN. Tapi sekarang pakai CSR BUMN," ujar dia.
Penulis | : Ambaranie Nadia Kemala Movanita |
Editor | : Palupi Annisa Auliani |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar