Minggu, 30 April 2017

Penerapan Hukuman Mati Dinilai Memburuk di Era Presiden Jokowi

Kristian Erdianto
Kompas.com - 27/04/2017, 12:41 WIB
Aksi solidaritas yang tergabung dalam Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat menyalakan 1000 lilin saat aksi damai di Depan Istana Negara, Jakarta, Kamis (28/7/2016). Aksi damai tersebut meminta agar pemerintah menghentikan pelaksanaan eksekusi mati terhadap ke empat belas terpidana mati dari berbagai negara.(KOMPAS.COM/ GARRY ANDREW LOTULUNG)
JAKARTA, KOMPAS.com - Wakil Direktur Imparsial Gufron Mabruri menilai kebijakan penerapan hukuman mati semakin memburuk di era pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Menurut Gufron, berdasarkan catatan Imparsial, jumlah eksekusi mati yang dilakukan Jokowi lebih banyak jika dibandingkan pada pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
"Memang kebijakan hukuman mati memburuk di era Presiden Jokowi. Jumlah yang dieksekusi lebih banyak dilakukan di era Presiden Jokowi jika dibandingkan pada era Presiden SBY," ujar Gufron saat ditemui di kawasan Wahid Hasyim, Jakarta Pusat, Kamis (27/4/2017).
Gufron menuturkan, tercatat selama 10 tahun pemerintahan SBY, telah terjadi 21 eksekusi mati. Sementara pada 2,5 tahun masa pemerintahannya, Presiden Jokowi telah melaksanakan 18 eksekusi mati.
"Sebagian besar yang dieksekusi terpidana mati kasus narkoba," tutur Gufron.
(Baca: Jaksa Agung: Eksekusi Mati Pasti, Hanya Waktu Belum Ditentukan)
Pada era kepemimpinan Presiden SBY, Indonesia pernah memoratorium penerapan hukuman mati. Moratoriun hukuman mati dilakukan dalam kurun waktu November 2008 hingga Maret 2013.
Setelah itu, hukuman mati kembali diberlakukan. Lima terpidana mati dieksekusi terkait kasus peredaran narkoba.
Situasi dinilai memburuk pada 2015. Presiden Joko Widodo menyatakan Indonesia dalam keadaan darurat narkoba.
Menurut Jokowi, jutaan orang terkena dampak dari penyalahgunaan narkoba dan merenggut nyawa 40 sampai 50 generasi muda setiap bulannya. Meski demikian, kata Gufron, penerapan hukuman mati tidak diikuti dengan pembenahan sistem hukum pidana.
"Kami masih menemukan banyak praktik unfair trial dan penyiksaan terhadap terpidana mati," kata Gufron.
(Baca: Kontras: Kejagung Ambisius Lakukan Eksekusi Mati, tapi Tak Ada Evaluasi)
Hal senada juga diungkapkan Wakil Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Puri Kencana Putri.
Puri mengatakan, isu hukuman mati selalu terkait dengan pelanggaran HAM sebab Kontras menemukan kecacatan hukum dalam setiap praktik eksekusi mati. Menurut dia, eksekusi mati mengandung elemen penyiksaan. Terpidana mati kerap mengalami penyiksaan sebelum hukuman dijalankan.
"Ketika terpidana mati mengalami proses pemidanaan tanpa kepastian kapan dieksekusi itu sudah masuk ke dalam kategori penyiksaan," tutur Puri.
(Baca: Kata Jaksa Agung, Ada Kepentingan Lebih Besar Dibanding Eksekusi Mati)
Di sisi lain, Kontras juga menemukan kesalahan prosedur hukum di pengadilan dalam menjatuhkan vonis mati. Salah satu contoh kasusnya, vonis mati terhadap seorang anak di bawah umur, Yusman Telambanua di Nias.
Yusman ditangkap pada 2012 atas tuduhan melakukan pembunuhan berencana terhadap tiga orang. Kemudian Kontras berhasil menemukan fakta bahwa Yusman masih di bawah umur dan menganulir putusan pengadilan.
"Hukuman mati juga menyasar anak di bawah umur. Bagaimana kemudian hukuman mati juga bisa menyasar anak. Kasus Yusman Telambanua misalnya," kata Puri.
Seskab Nyatakan Eksekusi Harus Dilakukan(Kompas TV)
PenulisKristian Erdianto
EditorSabrina Asril

Tidak ada komentar: