Selasa, 16 Mei 2017

Bangkitnya Politik Identitas: Persepsi Terancam di Balik Aksi Lilin pro Ahok vs Demo Anti Ahok

Oleh: Denny JA
George S Patton oleh sejarahwan dianggap satu dari panglima perang paling sukses dalam sejarah. Ia memimpin tentara Amerika Serikat sukses memenangkan perang dunia kedua.
Ia membagi pengalamannya dalam perang. Ujarnya suatu ketika: rasa takut yang mengendap cukup dalam di hati seorang individu jusru bisa menjelma menjadi kekuatan ekstra untuk berjuang. Rasa takut yang dialami bersama oleh sebuah kelompok, karena merasa survival kelompoknya terancam, justru menjadi enerji luar biasa untuk melawan.
Saya menggunakan kutipan Geoge S Patton untuk memahami gerakan anti Ahok ataupun pro Ahok. Lama saya merenung, enerji apakah gerangan yang membuat pilkada Jakarta sedemikian semarak, baik sebelum kampanye dimulai, dan setelah pilkada selesai.
Tak pernah terjadi sebelumnya, gerakan pro kontra seorang kandidat sepanas, seheboh, dan se “wow” kasus Ahok di Pilkada Jakarta 2017. Tak pernah terjadi sebelumnya di aneka pilkada, begitu banyak massa terlibat bahkan dari luar teritori yang mempunyai hak memilih untuk pilkada.
Melalui renungan jenderal Patton di atas, saya menangkap adanya rasa takut, dan persepsi terancam baik di kubu pro Ahok ataupun Anti Ahok. Rasa takut dan terancam? Ya! Itu yang membuat gerakan pro dan kontra menjadi super heboh, melampaui rata rata.
Aksi 411, 212 yang kontra Ahok, begitu emosional dan melibatkan ratusan ribu bahkan mungkin jutaan massa. Hal yang sama, aksi lilin pro Ahok paska Ahok dipenjara juga emosional dan terjadi di banyak kota.
Ini fenomena bangkitnya politik identitas paska reformasi. Sentimen politik berdasarkan agama dan etnik kembali mengemuka. Apakah sebabnya? Bagaimana menciptakan sistem kelembagaan makro agar sentimen politik identitas itu justru akhirnya bersinerji positif.
-000-
Rasa takut dan persepsi terancam dialami oleh mereka yang pro Ahok ataupun anti Ahok. Memang belum ada abstraksi komprehensif menggambarkan jenis rasa takut di dua kubu yang bertentangan itu.
Saya cukup beruntung karena mendengar batin kelompok ini. Sejak maret 2016 hingga tulisan ini dibuat, Mei 2017, saya (LSI Denny JA) melakukan sebelas kali survei opini publik Jakarta, dan satu survei nasional. Saya aktif membaca puluhan berita setiap hari sebagai peneliti ataupun konsultan politik soal pilkada Jakarta.
Saya ikuti aneka sosial media: facebook, twitter dan WA grup dua kelompok yang bersebrangan pro dan kontra Ahok. Dari aktivitas saya menyelami batin pilkada Jakarta, tergambar jenis ketakutan dan persepsi terancam itu.
Pertama, Rasa Takut dan Persepsi Terancam di kubu Pro Ahok
Empat jenis rasa takut dan terancam ini berkombinasi. Setelah Ahok divonis penjara, di bulan Mei pula, membangkitkan sebagian akan memori Tragedi Mei 1998. Itu situasi ketika kekerasan menimpa etnis Tionghoa. Itu kondisi ketika etnis Tionghoa menjadi sasaran amuk massa.
Masih gelap hingga kini seberapa banyak korban yang sebenarnya, baik kurban nyawa terutama kurban kekerasan seksual. Banyak warga etnis Tionghoa yang migrasi ke luar negeri untuk sementara ataupun permanen.
Memori tersebut menjadi penambah enerji kekuatan pro Ahok. Harus dilakukan reaksi yang agak ekstra agar kasus Ahok tidak menimpa etnis minoritas pada umumnya. Demikian yang terbaca.
Tersingkirnya Ahok dalam pilkada Jakarta juga dikwatirkan menjadi presden yang akan diulang di tempat lain. Kesempatan minoritas untuk ikut menjadi pemimpin dalam sebuah teritori akan tertutup. Isu minoritas agama dan etnis ternyata ampuh dimobilisasi terlepas sebagus apapun kinerja kandidat minoritas itu.
Di balik itu, dikwatirkan pula berkuasanya aksi massa melampaui instrumen politik yang lebih tertata. Ada bayangan aksi massa ini yang berhasil menekan para hakim menjatuhkan vonis penjara buat Ahok melampaui tuntutan Jaksa. Ada kekwatiran aksi massa ini menuntun pada mobrokrasi, berkuasanya tokoh yang semata populer di mata aksi massa walau tidak kompeten.
Yang paling dikwatirkan tentu bangkitnya Islam Politik. Kekalahan Ahok dianggap buah karya signifikan dari politisasi isu agama. Pelan pelan Indonesia dikwatirkan menjelama menjadi NKRI bersyariah.
Karena itu, sebelum terlambat, hanya ada satu kata: Lawan! Jika perlu gunukan lobi internasional untuk menekan. Mereka juga khawatir pemerintahan Jokowi akhirnya tunduk pada sentimen massa dalam rangka pilpres 2019.
Isu kebangsaan, keberagaman, kebebasan sipil, kesetaraan warga negara terlepas apapun identitas sosialnya, dikwatirkan mengendur.
Kombinasi rasa takut dan persepi terancam di atas menjadi kekuatan luar biasa. Karena persepsi itu gerakan lilin, solidaritas Ahok, pawai kebhinekaan meluas ke banyak kota.
Kedua, Rasa Takut dan Persepsi Terancam Kubu Kontra Ahok.
Kubu kontra Ahok juga memiliki rasa ketakutan dan persepsinya sendiri. Ahok dianggap hanya fenomena dari ekonomi politik yang lebih besar.
Ada kekwatiran munculnya dominant minority. Ahok jika terpilih sebagai gubernur akan menjadi pintu masuk paling signifikan bagi dominant minority.
Istilah itu mengacu pada lahirnya kelompok etnis minoritas tapi sangat dominan. Mereka tak hanya menguasai dan dominan atas ekonomi sebuah negara. Namun mereka juga mulai mengarah berkuasa untuk jabatan politik dan budaya.
Sudah menjadi pengetahuan umum. Dari katakanlah 50 orang terkaya Indonesia, sangat dan sangat mayoritas datang dari warga etnis Tionghoa. Ada kekwatiran etnis Tionghoa tak hanya puas dengan dominasi bisnis, namun segera pula menguasai politik.
Bangunan sebuah bangsa akan rentan jika yang dominan justru yang minoritas. Ini akan menjadi rumput kering yang mudah disulut menjadi keresahan emosional.
Persepsi di atas bercampur pula dengan rasa kwatir mayoritas warga menjadi powerless majority. Mereka hanya banyak dalam jumlah, namun tak berdaya dalam ekonomi dan politik.
Kekhwatiran ini menghinggapi tak hanya massa, namun juga elit. Tak hanya mereka yang kuat dan keras sentimen Islamnya. Tapi juga itu menghantui mereka yang menyebut dengan bangga kaum pribumi.
Ketakutan ini semakin disulut oleh apa yang dipersepsikan dengan arogan minoritas. Di sinilah titik paling lemah dari Ahok. Bukan hanya ia minoritas secara etnik dan agama. Tapi ia tercatat dan dipersepsikan sebagai minoritas yang arogan.
Ia memaki seorang ibu dengan sebutan maling. Ia menyatakan bersedia membunuh 2000 orang demi 10 juta penduduk. Ibu yang menangis digusur dikatakannya bermain sinetron. Di TV enteng saja ia berulang menyebut taik taik.
Persepsi minoritas yang arogan itu menemui puncaknya ketika Ahok bicara soal Al Maidah. Akumulasi kemarahan sebelumnya menjadikan kasus Al Maidah sebagai titik temu.
Dibalik besarnya gelombang Al Maidah, itu tak hanya sentimen agama yang bekerja. Namun ia juga menjadi kanalisasi kemarahan publik luas atas “minoritas arogan” yang dipersepsikan ke Ahok.
Kasus minoritas yang arogan menjadi lebih tersulut oleh kisah yang menimpa gubernur NTB Tuan guru bajang. Ia dimaki juga oleh seseorang dengan sebutan “dasar pribumi, tiko!” Kebetulan steven yang memaki itu seorang minoritas pula.
Ada yang mengartikan tiko sebagai tikus kotor. Ada yang mengartikan babi dan anjing. Di era sosial media, segera kisah itu menyulut sensitivitas banyak orang muslim dan pribumi. Mereka semakin kwatir minoritas tak hanya berkuasa tapi juga arogan, dan enteng saja menghina. Mentang-mentang!
Bisa jadi kekhawatiran itu berlebihan. Namun dalam emosi massa, persepsi itu menyebar efektif. Kasus ini ikut pula menyumbangkan kekalahan telak Ahok.
Hal di atas sempat terekam dalam batin komunitas pro dan kontra Ahok. Sebagian faktual. Mungkin juga sebagian ilusi. Sebagian nyata. Mungkin pula sebagian hanya imajinasi. Sebagian murni. Sebagian mungkin rekayasa.
Namun semua itu bersinerji membentuk persepsi. Dan politik adalah persepsi.
Rasa takut dan persepsi di atas sangat nyata. Emosi itu ikut membangkitkan kembali dan menyulut politik identitas. Sistem politik ekonomi bagaimana yang harus kita kembangkan untuk mengakomodasi sentimen di atas? Lalu bagaimana kita bisa mengolahnya menjadi sinerji yang positif?
Politik identitas adalah pengelompokan politik berdasarkan sentimen identitas sosial (agama, etnis, ras, gender, orientasi seksual). Ini identitas paling tua dalam politik praktis. Kekuatan sentimen ini mengendur atau menguat sepanjang sejarah. Yang pasti ia tak pernah memudar hingga ke era digital dan post-modern.
Kalangan Marxis pernah mengecam munculnya politik identitas. Ia dianggap mengaburkan pengelompokkan politik yang seharusnya bersandar pada kelas saja: buruh verus pemodal.
Kalangan liberalis juga banyak mengecam tampilnya politik identitas. Bagi mereka sebaiknya pengelompokkan politik sudah bergeser hanya pada ideologi modern, partai politik, atau program kerja (public policy).
Namun politik identitas menunjukkan sumbangan yang positif bagi munculnya kesetaraan warga negara. Politik kulit hitam bergerak menuntut persamaan hak. Kaum feminis bersuara soal emansipasi. Agamawan berseru dihapusnya diskriminasi. Kini kaum gay lesbian meminta perlindungan hukum bagi hak sosialnya.
Rasa tak adil yang dialami sebuah grup identitas acapkali memicu lahirnya politik identitas. Kesetaraan warga negara apapun identitas sosialnya menjadi buah paling manis gerakan politik identitas. Suka atau tidak, kultur modern kesetaraan warga negara, apapun identitasnya, sumbangan gerakan ini, kini menjadi fondasi negara modern.
Umumnya politik identitas ini tumbuh di kalangan minoritas yang memang powerless. Lebih ironi lagi, sentimen itu kadang juga tumbuh di kalangan mayoritas yang powerless.
Jika minoritas yang powerless, itu jamak belaka. Tapi jika mayoritas yang powerless itu kasus khusus dan berbahaya. Contohnya kulit hitam di Afrika Selatan, melawan dominant minority kulit putih. Atau Kelompok Syiah di Irak melawan dominan minority Sunni. Atau suku Hutus melawan dominan minority suku Tutsi di Rwanda.
Namun jika politik identitas dimainkan berlebihan, disertai kekerasan, ia justru berpotensi merusak ruang publik sebuah negara yang beragam. Tantangan negara dan bangsa yang beragam membuat politik identitas itu tetap berada dalam porsi yang normal.
Tapi apakah ukuran porsi normal itu? Bisakah politik identitas itu diakomodasi tapi tetap memberikan sinerji yang postif?
Banyak yang bisa kita kerjakan bersama untuk Indonesia, termasuk proposal ini. Saya menyebutnya Demokrasi Pancasila yang diperbaharui.
Empat komponen di bawah ini saling melengkapi. Satu tak terpisahkan dari yang lain. Ada yang bersifat kelembagaan. Ada yang bersifat craftmanship peran aktor. Dan ada yang bersifat kultural.
Ini empat unsur Demokrasi Pancasila yang diperbaharui. Pertama, menegaskan persamaan hak warga negara dan mengakui semua jenis hak asasi yang sudah disetujui Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB).
Di era demokrasi, semua warga, apapun identitas sosialnya, memiliki hak yang sama, bahkan untuk memimpin. Mengadopsi aneka hak asasi yang diakui PBB membuat Indonesia mengakomodasi puncak peradaban.
Kedua, toleransi hadirnya peran agama di ruang publik. Berbeda dengan demokrasi liberal, demokrasi pancasila memiliki kementrian agama. Pemerintah ikut berperan menjaga harmoni agama warga.
Ada satu hal yang perlu ditambahkan: UU Perlindungan Umat Beragama. Justru karena dosis agama di negeri Pancasila itu lebih dibandingkan negara demokrasi liberal, perlu ada aturan hukum tingkat tinggi. Namun UU itu lebih diarahkan untuk menjamin keberagaman agama serta kepercayaan.
Ketiga, pemerintah diamanatkan bertindak tegas dan keras menjaga keberagaman itu. Seseorang tak boleh dipenjara hanya karena punya mimpi atau punya cita cita sosial, atau memiliki gagasan senorak atau selucu apapun. Bahkan tak ada paksaan dalam agama. Apalagi untuk paham yang sekuler, tiada paksaan pula.
Namun sekali individu atau kelompo melakukan kekerasan dan kriminal, mereka harus cepat ditindak negara. Bukan gagasan, tapi kekerasan yang membuat seseorang harus ditindak secara hukum.
Keempat, kultur politik yang sabar untuk mematangkan demokrasi. Walau secara hukum, minoritas memiliki hak untuk memimpin, namun dibutuhkan kematangan kultural agak lama untuk membuat minoritas bisa memimpin mayoritas secara damai dan diterima.
Amerika Serikat merdeka tahun 1776. Baru di tahun 1953, lebih 170 tahun kemudian bisa terpilih seorang presiden yang bukan protestan: John F Kennedy yang katolik. Baru di tahun 2008, lebih 230 tahun kemudian bisa terpilih yang bukan kulit putih: Obama yang kulit hitam. Dan kini 240 tahun kemudian, capres wanita di AS selalu kalah.
Semua diterima sebagai evolusi kultural yang lumrah belaka. Hukum sudah mengatur persamaan hak sosial mayoritas dan minoritas. Namun kematangan kultur menerima minoritas menjadi pemimpin itu sebuah proses yang lebih panjang. Itu juga membutuhkan jenis pemimpin minoritas yang tidak dianggap ancamam oleh mayoritas.
-000-
Demokrasi itu seperti bunga Lisianthus. Ia cantik dan sangat berharga. Namun butuh kesabaran merawatnya.
Merawat bunga Lisianthus memerlukan suhu yang pas, air yang cukup, dan tahapan perkembangan yang natural. Keinginan mempercepat mekarnya bunga Lisianthus justru bisa membuat bunga itu mati.
Hal yang sama dengan demokrasi. Tak bisa kita menyatakan “bim salabim” lalu demokrasi yang ideal langsung tumbuh di Indonesia.
Kasus pro dan kontra Ahok menjadi proses belajar yang berharga. Seperti yang dikatakan Jendral George S Patton, marilah kita mengenali rasa takut dan persepsi terancam di masing masing kubu. Marilah kita berdiri menggunakan sepatu pihak sana.
Demokrasi Pancasila yang diperbaharui bisa menjadi titik awal kita mencari solusi kelembagaan bersama untuk ruang publik Indonesia ke depan.***

Tidak ada komentar: