Oleh: Denny JA
George
S Patton oleh sejarahwan dianggap satu dari panglima perang paling
sukses dalam sejarah. Ia memimpin tentara Amerika Serikat sukses
memenangkan perang dunia kedua.
Ia
membagi pengalamannya dalam perang. Ujarnya suatu ketika: rasa takut
yang mengendap cukup dalam di hati seorang individu jusru bisa menjelma
menjadi kekuatan ekstra untuk berjuang. Rasa takut yang dialami bersama
oleh sebuah kelompok, karena merasa survival kelompoknya terancam,
justru menjadi enerji luar biasa untuk melawan.
Saya menggunakan
kutipan Geoge S Patton untuk memahami gerakan anti Ahok ataupun pro
Ahok. Lama saya merenung, enerji apakah gerangan yang membuat pilkada
Jakarta sedemikian semarak, baik sebelum kampanye dimulai, dan setelah
pilkada selesai.
Tak pernah terjadi sebelumnya, gerakan pro kontra
seorang kandidat sepanas, seheboh, dan se “wow” kasus Ahok di Pilkada
Jakarta 2017. Tak pernah terjadi sebelumnya di aneka pilkada, begitu
banyak massa terlibat bahkan dari luar teritori yang mempunyai hak
memilih untuk pilkada.
Melalui renungan jenderal Patton di atas,
saya menangkap adanya rasa takut, dan persepsi terancam baik di kubu pro
Ahok ataupun Anti Ahok. Rasa takut dan terancam? Ya! Itu yang membuat
gerakan pro dan kontra menjadi super heboh, melampaui rata rata.
Aksi
411, 212 yang kontra Ahok, begitu emosional dan melibatkan ratusan ribu
bahkan mungkin jutaan massa. Hal yang sama, aksi lilin pro Ahok paska
Ahok dipenjara juga emosional dan terjadi di banyak kota.
Ini
fenomena bangkitnya politik identitas paska reformasi. Sentimen politik
berdasarkan agama dan etnik kembali mengemuka. Apakah sebabnya?
Bagaimana menciptakan sistem kelembagaan makro agar sentimen politik
identitas itu justru akhirnya bersinerji positif.
-000-
Rasa
takut dan persepsi terancam dialami oleh mereka yang pro Ahok ataupun
anti Ahok. Memang belum ada abstraksi komprehensif menggambarkan jenis
rasa takut di dua kubu yang bertentangan itu.
Saya cukup
beruntung karena mendengar batin kelompok ini. Sejak maret 2016 hingga
tulisan ini dibuat, Mei 2017, saya (LSI Denny JA) melakukan sebelas kali
survei opini publik Jakarta, dan satu survei nasional. Saya aktif
membaca puluhan berita setiap hari sebagai peneliti ataupun konsultan
politik soal pilkada Jakarta.
Saya ikuti aneka sosial media:
facebook, twitter dan WA grup dua kelompok yang bersebrangan pro dan
kontra Ahok. Dari aktivitas saya menyelami batin pilkada Jakarta,
tergambar jenis ketakutan dan persepsi terancam itu.
Pertama, Rasa Takut dan Persepsi Terancam di kubu Pro Ahok
Empat
jenis rasa takut dan terancam ini berkombinasi. Setelah Ahok divonis
penjara, di bulan Mei pula, membangkitkan sebagian akan memori Tragedi
Mei 1998. Itu situasi ketika kekerasan menimpa etnis Tionghoa. Itu
kondisi ketika etnis Tionghoa menjadi sasaran amuk massa.
Masih
gelap hingga kini seberapa banyak korban yang sebenarnya, baik kurban
nyawa terutama kurban kekerasan seksual. Banyak warga etnis Tionghoa
yang migrasi ke luar negeri untuk sementara ataupun permanen.
Memori
tersebut menjadi penambah enerji kekuatan pro Ahok. Harus dilakukan
reaksi yang agak ekstra agar kasus Ahok tidak menimpa etnis minoritas
pada umumnya. Demikian yang terbaca.
Tersingkirnya Ahok dalam
pilkada Jakarta juga dikwatirkan menjadi presden yang akan diulang di
tempat lain. Kesempatan minoritas untuk ikut menjadi pemimpin dalam
sebuah teritori akan tertutup. Isu minoritas agama dan etnis ternyata
ampuh dimobilisasi terlepas sebagus apapun kinerja kandidat minoritas
itu.
Di balik itu, dikwatirkan pula berkuasanya aksi massa
melampaui instrumen politik yang lebih tertata. Ada bayangan aksi massa
ini yang berhasil menekan para hakim menjatuhkan vonis penjara buat Ahok
melampaui tuntutan Jaksa. Ada kekwatiran aksi massa ini menuntun pada
mobrokrasi, berkuasanya tokoh yang semata populer di mata aksi massa
walau tidak kompeten.
Yang paling dikwatirkan tentu bangkitnya
Islam Politik. Kekalahan Ahok dianggap buah karya signifikan dari
politisasi isu agama. Pelan pelan Indonesia dikwatirkan menjelama
menjadi NKRI bersyariah.
Karena itu, sebelum terlambat, hanya ada
satu kata: Lawan! Jika perlu gunukan lobi internasional untuk menekan.
Mereka juga khawatir pemerintahan Jokowi akhirnya tunduk pada sentimen
massa dalam rangka pilpres 2019.
Isu kebangsaan, keberagaman,
kebebasan sipil, kesetaraan warga negara terlepas apapun identitas
sosialnya, dikwatirkan mengendur.
Kombinasi rasa takut dan persepi
terancam di atas menjadi kekuatan luar biasa. Karena persepsi itu
gerakan lilin, solidaritas Ahok, pawai kebhinekaan meluas ke banyak
kota.
Kedua, Rasa Takut dan Persepsi Terancam Kubu Kontra Ahok.
Kubu
kontra Ahok juga memiliki rasa ketakutan dan persepsinya sendiri. Ahok
dianggap hanya fenomena dari ekonomi politik yang lebih besar.
Ada
kekwatiran munculnya dominant minority. Ahok jika terpilih sebagai
gubernur akan menjadi pintu masuk paling signifikan bagi dominant
minority.
Istilah itu mengacu pada lahirnya kelompok etnis
minoritas tapi sangat dominan. Mereka tak hanya menguasai dan dominan
atas ekonomi sebuah negara. Namun mereka juga mulai mengarah berkuasa
untuk jabatan politik dan budaya.
Sudah menjadi pengetahuan umum.
Dari katakanlah 50 orang terkaya Indonesia, sangat dan sangat mayoritas
datang dari warga etnis Tionghoa. Ada kekwatiran etnis Tionghoa tak
hanya puas dengan dominasi bisnis, namun segera pula menguasai politik.
Bangunan
sebuah bangsa akan rentan jika yang dominan justru yang minoritas. Ini
akan menjadi rumput kering yang mudah disulut menjadi keresahan
emosional.
Persepsi di atas bercampur pula dengan rasa kwatir
mayoritas warga menjadi powerless majority. Mereka hanya banyak dalam
jumlah, namun tak berdaya dalam ekonomi dan politik.
Kekhwatiran
ini menghinggapi tak hanya massa, namun juga elit. Tak hanya mereka yang
kuat dan keras sentimen Islamnya. Tapi juga itu menghantui mereka yang
menyebut dengan bangga kaum pribumi.
Ketakutan ini semakin disulut
oleh apa yang dipersepsikan dengan arogan minoritas. Di sinilah titik
paling lemah dari Ahok. Bukan hanya ia minoritas secara etnik dan agama.
Tapi ia tercatat dan dipersepsikan sebagai minoritas yang arogan.
Ia
memaki seorang ibu dengan sebutan maling. Ia menyatakan bersedia
membunuh 2000 orang demi 10 juta penduduk. Ibu yang menangis digusur
dikatakannya bermain sinetron. Di TV enteng saja ia berulang menyebut
taik taik.
Persepsi minoritas yang arogan itu menemui puncaknya
ketika Ahok bicara soal Al Maidah. Akumulasi kemarahan sebelumnya
menjadikan kasus Al Maidah sebagai titik temu.
Dibalik besarnya
gelombang Al Maidah, itu tak hanya sentimen agama yang bekerja. Namun ia
juga menjadi kanalisasi kemarahan publik luas atas “minoritas arogan”
yang dipersepsikan ke Ahok.
Kasus minoritas yang arogan menjadi
lebih tersulut oleh kisah yang menimpa gubernur NTB Tuan guru bajang. Ia
dimaki juga oleh seseorang dengan sebutan “dasar pribumi, tiko!”
Kebetulan steven yang memaki itu seorang minoritas pula.
Ada yang
mengartikan tiko sebagai tikus kotor. Ada yang mengartikan babi dan
anjing. Di era sosial media, segera kisah itu menyulut sensitivitas
banyak orang muslim dan pribumi. Mereka semakin kwatir minoritas tak
hanya berkuasa tapi juga arogan, dan enteng saja menghina.
Mentang-mentang!
Bisa jadi kekhawatiran itu berlebihan. Namun
dalam emosi massa, persepsi itu menyebar efektif. Kasus ini ikut pula
menyumbangkan kekalahan telak Ahok.
Hal di atas sempat terekam
dalam batin komunitas pro dan kontra Ahok. Sebagian faktual. Mungkin
juga sebagian ilusi. Sebagian nyata. Mungkin pula sebagian hanya
imajinasi. Sebagian murni. Sebagian mungkin rekayasa.
Namun semua itu bersinerji membentuk persepsi. Dan politik adalah persepsi.
Rasa
takut dan persepsi di atas sangat nyata. Emosi itu ikut membangkitkan
kembali dan menyulut politik identitas. Sistem politik ekonomi
bagaimana yang harus kita kembangkan untuk mengakomodasi sentimen di
atas? Lalu bagaimana kita bisa mengolahnya menjadi sinerji yang positif?
Politik
identitas adalah pengelompokan politik berdasarkan sentimen identitas
sosial (agama, etnis, ras, gender, orientasi seksual). Ini identitas
paling tua dalam politik praktis. Kekuatan sentimen ini mengendur atau
menguat sepanjang sejarah. Yang pasti ia tak pernah memudar hingga ke
era digital dan post-modern.
Kalangan Marxis pernah mengecam
munculnya politik identitas. Ia dianggap mengaburkan pengelompokkan
politik yang seharusnya bersandar pada kelas saja: buruh verus pemodal.
Kalangan
liberalis juga banyak mengecam tampilnya politik identitas. Bagi mereka
sebaiknya pengelompokkan politik sudah bergeser hanya pada ideologi
modern, partai politik, atau program kerja (public policy).
Namun
politik identitas menunjukkan sumbangan yang positif bagi munculnya
kesetaraan warga negara. Politik kulit hitam bergerak menuntut persamaan
hak. Kaum feminis bersuara soal emansipasi. Agamawan berseru dihapusnya
diskriminasi. Kini kaum gay lesbian meminta perlindungan hukum bagi hak
sosialnya.
Rasa tak adil yang dialami sebuah grup identitas
acapkali memicu lahirnya politik identitas. Kesetaraan warga negara
apapun identitas sosialnya menjadi buah paling manis gerakan politik
identitas. Suka atau tidak, kultur modern kesetaraan warga negara,
apapun identitasnya, sumbangan gerakan ini, kini menjadi fondasi negara
modern.
Umumnya politik identitas ini tumbuh di kalangan minoritas
yang memang powerless. Lebih ironi lagi, sentimen itu kadang juga
tumbuh di kalangan mayoritas yang powerless.
Jika minoritas yang
powerless, itu jamak belaka. Tapi jika mayoritas yang powerless itu
kasus khusus dan berbahaya. Contohnya kulit hitam di Afrika Selatan,
melawan dominant minority kulit putih. Atau Kelompok Syiah di Irak
melawan dominan minority Sunni. Atau suku Hutus melawan dominan minority
suku Tutsi di Rwanda.
Namun jika politik identitas dimainkan
berlebihan, disertai kekerasan, ia justru berpotensi merusak ruang
publik sebuah negara yang beragam. Tantangan negara dan bangsa yang
beragam membuat politik identitas itu tetap berada dalam porsi yang
normal.
Tapi apakah ukuran porsi normal itu? Bisakah politik identitas itu diakomodasi tapi tetap memberikan sinerji yang postif?
Banyak
yang bisa kita kerjakan bersama untuk Indonesia, termasuk proposal
ini. Saya menyebutnya Demokrasi Pancasila yang diperbaharui.
Empat
komponen di bawah ini saling melengkapi. Satu tak terpisahkan dari yang
lain. Ada yang bersifat kelembagaan. Ada yang bersifat craftmanship
peran aktor. Dan ada yang bersifat kultural.
Ini empat unsur
Demokrasi Pancasila yang diperbaharui. Pertama, menegaskan persamaan hak
warga negara dan mengakui semua jenis hak asasi yang sudah disetujui
Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB).
Di era demokrasi, semua warga,
apapun identitas sosialnya, memiliki hak yang sama, bahkan untuk
memimpin. Mengadopsi aneka hak asasi yang diakui PBB membuat Indonesia
mengakomodasi puncak peradaban.
Kedua, toleransi hadirnya peran
agama di ruang publik. Berbeda dengan demokrasi liberal, demokrasi
pancasila memiliki kementrian agama. Pemerintah ikut berperan menjaga
harmoni agama warga.
Ada satu hal yang perlu ditambahkan: UU
Perlindungan Umat Beragama. Justru karena dosis agama di negeri
Pancasila itu lebih dibandingkan negara demokrasi liberal, perlu ada
aturan hukum tingkat tinggi. Namun UU itu lebih diarahkan untuk
menjamin keberagaman agama serta kepercayaan.
Ketiga, pemerintah
diamanatkan bertindak tegas dan keras menjaga keberagaman itu. Seseorang
tak boleh dipenjara hanya karena punya mimpi atau punya cita cita
sosial, atau memiliki gagasan senorak atau selucu apapun. Bahkan tak ada
paksaan dalam agama. Apalagi untuk paham yang sekuler, tiada paksaan
pula.
Namun sekali individu atau kelompo melakukan kekerasan dan
kriminal, mereka harus cepat ditindak negara. Bukan gagasan, tapi
kekerasan yang membuat seseorang harus ditindak secara hukum.
Keempat,
kultur politik yang sabar untuk mematangkan demokrasi. Walau secara
hukum, minoritas memiliki hak untuk memimpin, namun dibutuhkan
kematangan kultural agak lama untuk membuat minoritas bisa memimpin
mayoritas secara damai dan diterima.
Amerika Serikat merdeka tahun
1776. Baru di tahun 1953, lebih 170 tahun kemudian bisa terpilih
seorang presiden yang bukan protestan: John F Kennedy yang katolik. Baru
di tahun 2008, lebih 230 tahun kemudian bisa terpilih yang bukan kulit
putih: Obama yang kulit hitam. Dan kini 240 tahun kemudian, capres
wanita di AS selalu kalah.
Semua diterima sebagai evolusi kultural
yang lumrah belaka. Hukum sudah mengatur persamaan hak sosial mayoritas
dan minoritas. Namun kematangan kultur menerima minoritas menjadi
pemimpin itu sebuah proses yang lebih panjang. Itu juga membutuhkan
jenis pemimpin minoritas yang tidak dianggap ancamam oleh mayoritas.
-000-
Demokrasi itu seperti bunga Lisianthus. Ia cantik dan sangat berharga. Namun butuh kesabaran merawatnya.
Merawat
bunga Lisianthus memerlukan suhu yang pas, air yang cukup, dan tahapan
perkembangan yang natural. Keinginan mempercepat mekarnya bunga
Lisianthus justru bisa membuat bunga itu mati.
Hal yang sama dengan demokrasi. Tak bisa kita menyatakan “bim salabim” lalu demokrasi yang ideal langsung tumbuh di Indonesia.
Kasus
pro dan kontra Ahok menjadi proses belajar yang berharga. Seperti yang
dikatakan Jendral George S Patton, marilah kita mengenali rasa takut dan
persepsi terancam di masing masing kubu. Marilah kita berdiri
menggunakan sepatu pihak sana.
Demokrasi Pancasila yang
diperbaharui bisa menjadi titik awal kita mencari solusi kelembagaan
bersama untuk ruang publik Indonesia ke depan.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar