Rabu, 31 Desember 2014

SUKSESI ANGKATAN BERSENJATA REPUPLIK INDONESIA (ABRI) dan POLRI era Jokowi ...Ini Suatu Skandal Politik Jokowi?

Petisi Dorong Jokowi Batalkan Pencalonan Budi Gunawan Mulai Bergulir

Minggu, 11 Januari 2015 | 07:44 WIB
KOMPAS.com/DIAN MAHARANI Kalemdikpol Komisaris Jenderal Budi Gunawan melaporkan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) ke Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jumat (26/7/2013).
JAKARTA, KOMPAS.com — Petisi yang mendorong Presiden Joko Widodo (Jokowi) menarik kembali pencalonan Budi Gunawan sebagai Kepala Kepolisian RI mulai bergulir. Petisi ini digagas Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch Emerson Yuntho melalui situs change.org.

Mulanya, Emerson membuat petisi yang mendorong Jokowi agar melibatkan Komisi Pemberantasan Korupsi serta Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dalam menyeleksi calon kepala Polri. Petisi ini dibuat pada Jumat (9/1/2015) sore.

Dalam petisi tersebut, Emerson menyampaikan adanya kerisauan publik mengenai nama-nama calon Kapolri yang diduga memiliki rekening gendut. Untuk itu, menurut dia, Presiden Jokowi perlu melibatkan KPK dan PPATK dalam memberi masukan mengenai rekam jejak para calon kepala Kepolisian RI.

"Sudah seharusnya Jokowi mengulang kesuksesan dalam menjaring calon menteri Kabinet Kerja dan mendapatkan figur berintegritas dengan melibatkan KPK dan PPATK. Sebaliknya, Jokowi juga tidak mengulang kesalahan ketika memilih calon Jaksa Agung tanpa melibatkan KPK dan PPATK," tulis petisi tersebut.

Menurut Emerson, pemilihan Kapolri sebaiknya tidak didasarkan pada politik dagang sapi atau politik balas budi. Penunjukan Kapolri harus didasari pada aspek kepemimpinan, integritas, rekam jejak, kapasitas, dan komitmen yang kuat dalam mendorong agenda antikorupsi.

Jokowi diminta memastikan Kapolri yang dipilihnya tidak bermasalah atau menimbulkan masalah. Hal ini dianggap penting agar pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla ke depannya tidak terganggu atau tercorong kredibilitas atau bahkan tersandera persoalan korupsi, HAM, pencucian uang, dan masalah hukum lainnya yang mungkin melibatkan Kapolri atau internal kepolisian.

"Meskipun pemilihan calon Kapolri adalah hak prerogatif Presiden, namun jika Jokowi salah memilih figur Kapolri maka akan berdampak rusaknya kepercayaan publik terhadap pemerintah," tulis petisi tersebut.

Petisi ini kemudian diperbarui setelah beredar surat penunjukan Budi Gunawan oleh Jokowi sebagai calon Kapolri yang akan diuji di DPR pada Jumat sore. Oleh karena itu, Emerson memperbarui isi petisinya. Dalam kolom update petisi, Emerson menyampaikan bahwa langkah Jokowi yang menunjuk Budi Gunawan mengecewakan. Dengan petisi tersebut, Emerson berharap Jokowi menarik kembali usulan pencalonan Budi Gunawan. Apalagi, KPK mengaku tidak dilibatkan dalam proses pencalonan Kapolri pengganti Jenderal Sutarman tersebut.

"Hal ini tentu mengecewakan dan dengan adanya petisi ini, kita masih tetap berharap Jokowi menarik kembali usulan calon Kapolri tersebut. Mestakung," tulis Emerson dalam petisinya.

Hingga Minggu (11/1/2015) pagi, petisi ini sudah didukung 252 orang. Saat dikonfirmasi, Emerson mengatakan bahwa petisi ini akan tetap dilanjutkan sebagai bentuk protes atas langkah Jokowi menunjuk Budi Gunawan.

Penulis: Icha Rastika
Editor : Farid Assifa

KontraS: Buat Saya Ini Suatu Skandal Politik Jokowi

Sabtu, 10 Januari 2015 | 16:10 WIB
KOMPAS.com/Sandro Gatra Koordinator Kontras Haris Azhar
JAKARTA, KOMPAS.com - Kabar pergantian kepala kepolisian RI, mendapat perhatian khusus dari sejumlah pihak. Waktu singkat yang digunakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam memilih calon kapolri, dinilai telah menimbulkan sebuah tanda tanya.

Bahkan, satu nama yang kuat disebut akan menduduki jabatan kapolri, diduga erat kaitannya dengan kepentingan politik.

"Buat saya ini suatu skandal politik Jokowi. Saya tidak percaya ada pergantian kapolri dalam waktu cepat, mendadak dan kemudian memotong semua rasionalitas," ujar Koordinator KontraS dan anggota Koalisi Masyarakat Sipil, Hariz Azhar, saat ditemui seusai bertemu pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), di Gedung Tipikor, Kuningan, Jakarta Selatan, Sabtu (10/1/2015).

Menurut informasi yang diperoleh, DPR kini telah menerima satu nama yang diajukan sebagai calon kapolri. Nama tersebut yaitu, Komisaris Jenderal Budi Gunawan. Meski demikian, Hariz mengatakan, saat ini tidak ada keadaan darurat yang mengharuskan Jokowi memilih kapolri dalam waktu cepat.

Hariz mengatakan, secara resmi, kapolri yang masih menjabat seharusnya menyampikan secara langsung, masukan mengenai nama calon kapolri.

Selain itu, Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) juga seharusnya terlebih dahulu meminta KPK, dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), untuk memberikan rekomendasi terhadap nama-nama calon kapolri.

Namun, kata Hariz, hal tersebut belum juga dilakukan. Sementara itu, terkait nama Budi Gunawan, Hariz menilai hal tersebut dapat menimbukan preseden buruk, baik bagi instansi Polri, maupun bagi Jokowi. [Baca: Calon Kapolri Mantan Ajudan Megawati]

Sebab, Budi diketahui pernah menjabat sebagai pengawal mantan Presiden RI Megawati Soekarnoputri, dan dikenal dekat dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P). Selain itu, sebut Hariz, nama Budi Gunawan juga termasuk dalam 25 pejabat tinggi Polri yang diduga memiliki jumlah keuangan yang cukup besar yang tersimpan dalam rekening pribadi.

"Kami meminta pertanggungjawaban Jokowi. Kalau Budi Gunawan benar-benar ditunjuk, ini benar-benar suatu preseden buruk," kata Hariz. [Baca: Komjen Budi Gunawan Bantah Punya Rekening Gendut]


Penulis: Abba Gabrillin
Editor : Desy Afrianti

Berani Lakukan Revolusi Mental, Harga Mati untuk Calon Kapolri

Rabu, 7 Januari 2015 | 6:02
[JAKARTA] Kandidat Kapolri yang akan menggantikan Jenderal Sutarman, harus berani melakukan program revolusi mental di tubuh Polri. Karena Polri harus berani mendukung penuh kampanye Presiden Joko Widodo (Jokowi). Selain itu, Kapolri baru juga harus mampu meningkatkan profesionalisme kepolisian, mampu mempertahankan indenpendensi Polri di bawah Presiden. "Revolusi mental di tubuh Polri harus dijalankan, demi meningkatkan citra kepolisian yang selama ini masih jelek di mata masyarakat," kata Prof Dr Subur Budhisantoso, pakar antropologi politik di Jakarta, Selasa (6/15) malam.

Mantan Ketua Umum Partai Demokrat 1 (2001-2005) itu mengungkapkan, revolusi mental di kepolisian ini sangat perlu agar dapat merubah mental atitude polisi. Kecenderungan selama ini, anggota polisi selalu mencari kesalahan-kesalahan orang, seperti menilang di jalan. "Juga jangan melakukan pembenaran, dengan kata lain tugas Babinsa yang diemban polisi. Jangan hanya bisa menerima pengaduan dari masyarakat akibat kemalingan baru mencari pelaku di wilayah itu. Babinsa seharusnya tahu ada orang baru atau lama, juga ada orang yang mencurigakan baru ditindak. Kan selama ini terkesan menunggu laporan masyarakat, tapi tidak melakukan antisipasi awal," kata Dosen S2 Kepolisian UI.

Selain itu, lanjut dia, warga yang lapor polisi akibat kehilangan sesuatu, malah mengalami kehilangan dua kali. Mengingat, warga yang laporan kehilangan barang maka wajib membayar ke petugas yang menerima laporan. "Ini kan nggak bener. Yang menyedihkan warga di daerah yang kehilangan mengelola lahan lantas lapor polisi, malah tak ditanggapi karena polisi jadi pelindung industri atau pengusaha yang ingin mencaplok lahan itu," katanya.

Revolusi mental lainnya, tambah dia, harus ada reward and punishmen terhadap anggota kepolisian untuk mencapai jenjang yang lebih baik. Nah selama ini, jenjang karier di kepolisian terutama pangkat AKBP, Kombes hingga bintang satu yang tidak jelas.
"Mereka yang punya koneksi apalagi dana banyak, cepat sekali kariernya. Meski orang itu tidak cakap. Sementara yang cakap tapi tak punya uang dan relasi jangan harap dapat tempat," ungkapnya.

Begitu juga banyak laporan anggota kepolisian yang mau sekolah Sespim, Sespati, ternyata susah naik pangkat dan jabatan dengan bermacam alasan. "Tidak ada jatah jabatan, menunggu giliran dan lain lain alasan," ucapnya.

Ia menambahkan, ini tugas calon Kapolri baru untuk memperbaiki. "Dan saya yakin calon Kapolri Komjen Budi Gunamawan mampu mengatasi kondisi itu. Karena Budi Gunawan mempunyai rekam jejak yang bagus dari sisi akademis," kata dia. Seperti alumnus PTIK (1986), lulusan terbaik Sespim Polri (1998) dan lulusan terbaik Lemhanas (2005) serta menyandang gelar M.Si. di bidang ilmu politik dan pemerintahan," katanya. [E-8/N-6]

 Laksda Ade Supandi, Kasum TNI yang Dipilih Jokowi Menjadi KSAL

Marsdya Agus Supriatna, Mantan Pangkoopsau II yang Dipilih Jokowi Menjadi KSAU

Presiden Jokowi Lantik KSAL Laksda Ade Supandi dan KSAU Marsdya Agus Supryatna

Rivki - detikNews,
Jakarta - Presiden Joko Widodo di hari terkahir tahun 2014, melantik Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) Laksdya Ade Supandi menggantikan Laksamana Marsetio.

Informasi agenda kepresidenan, Rabu (31/12/2014), pelantikan akan dilakukan di Istana Negara, Jl Medan Merdeka Utara, Jakarta. Pelantikan akan dihadiri sejumlah menteri, Panglima TNI dan Kapolri.

Selain KSAL, Jokowi pada jam yang sama akan melantik Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) pengganti Marsekal Ida Bagus Putu Dunia. KSAU yang baru yakni Marsda Agus Supriatna.

Kapuspen TNI, Mayjend Fuad Basya saat dikonfirmasi membenarkan soal pelantikan ini.

Sebelum melantik kedua pejabat TNI, presiden sedianya akan mengadakan sidang kabinet paripurna bersama sejumlah menteri kabinet kerja. Kegiatan itu akan dilakukan pada pukul 10.30 WIB.

Tidak ada komentar: